Manfaat Mengingat Mati

“Perbanyaklah mengingat pemutus segala kelezatan (dunia), yakni kematian.” (HR. Ibnu Hibban dan Al-Baihaqi. Dan di-Hasan-kan oleh syeikh Al-Albani).

Keuatamaan Berinfaq Sadaqah

Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji.

Hati yang Bersih

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Lisan Cermin Seseorang

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Tathayyur

Jika mempercayai kupu2 yang masuk rumah itu akan ada tamu yang datang, atau ketika cicak berbunyi saat selesai berbicara artinya perkataannya benar, atau kepercayaan2 lain yang menyerupai hal di atas apakah digolongkan syirik ?.

Rabu, 26 Februari 2020

Macam-macam Sunanul Fitrah #3

Macam-macam Sunanul Fitrah #3

بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين أمَّا بعد

Ikhwah sekalian di grup whatsApp Belajar Islam yang dimuliakan oleh Allah subhanahu wa ta'ala kita lanjutkan kajian kitab Fiqih Muyassar, kali ini kita masih membahas Thaharah (bersuci), bab ke-4 tentang Macam-macam Sunanul Fitrah #4 dan #5 yakni memotong kuku dan mencabut/mencukur bulu ketiak.

Penulis berkata:

Keempat, adalah memotong kuku, ia menjadikan kuku lebih indah dan menghilangkan kotoran yang ada di bawahnya, sebagian kaum muslimin menyelisihi sunnah ini sehingga membiarkan kukunya panjang, atau membiarkan panjang kuku sebagian jari (seperti kelingking), perilaku seperti itu adalah bisikan setan[1] dan termasuk taklid (mengekor) kepada musuh-musuh Islam (orang-orang kafir) dan sebagaimana diketahui kita dilarang menyerupai orang-orang kafir[2].

Kelima, membersihkan bulu ketiak, disunnahkan menghilangkan bulu ketiak baik dengan dicukur maupun dicabut, dengannya kotoran dan bau menjadi hilang.

Ikhwah sekalian, demikianlah agama kita yang hanif, yang memerintahkan kita untuk melakukan perilaku-perilaku tersebut, yang bisa membersihkan, mensucikan juga memperindah, dan agar seorang muslim ada dalam keadaan paling indah, jauh dari sikap taklid kepada orang-orang kafir, demikian pula taklid kepada orang-orang bodoh.

Ikhwah sekalian seorang muslim harus bangga dengan agamanya, harus bangga dengan aturannya, dia taat kepada Rabnya, juga mengikuti sunnah Nabinya shallallahu 'alaihi wa sallam. Kemudian ikhwah sekalian disini saya berikan faidah terkait dengan waktu untuk mencukur kumis, memotong kuku, mencabut bulu ketiak dan membersihkan bulu kemaluan, yaitu hadits dari Anas bin malik radhiyallahu ta'ala 'anhu yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, beliau berkata:

وقت لنا في قص الشارب وتقليم الأظفار ونتف الإبط وحلق العانة أن لا نترك أكثر من أربعين ليلة 

“Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan waktu terkait mencukur kumis, memotong kuku, mencabut bulu ketiak, dan membersihkan bulu kemaluan, yakni tidak meninggalkannya lebih dari empat puluh hari empat puluh malam”

Demikianlah ikhwah sekalian materi yang bisa saya sampaikan, semoga apa yang saya sampaikan ini bisa dipahami dengan baik dan bermanfaat.

Akhukum fillah,
Abu Sumayyah Beni Sarbeni

______________________________

[1] وَلَا تَتَّبِعُواْ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيۡطَٰنِۚ إِنَّهُۥ لَكُمۡ عَدُوّٞ مُّبِينٌ 
“Dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu”. (QS. Al-Baqarah [2]: 168)

[2] مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
"Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka ia termasuk bagian dari mereka” (HR. Abu Dawud, hasan)

Sabtu, 08 Februari 2020

Tujuan Pendidikan Islam



بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين أمَّا بعد 
 
Saudara sekalian di grup Belajar Islam yang semoga diberkahi oleh Allah subhanahu wa ta'ala dimana saja berada, barokah artinya semakin hari semakin baik, semakin hari semakin dekat kepada Allah subhanahu wa ta'ala, semakin hari semakin dimudahkan dalam segala urusan. 
 
Berikut ini adalah materi pertama dari rangkaian materi-materi pendidikan yang akan saya sampaikan, harapan semoga materi ini memberikan tambahan ilmu bagi kita, dan kita pun mampu untuk mengamalkannya. Materi kali ini saya beri judul “Tujuan Pendidikan Islam”.
 
Secara umum ada dua hal yang akan saya jelaskan:
 
Pertama, penjelasan setiap kalimat dari judul di atas.
 
Kedua, jawaban atas sebuah pertanyaan, yakni “Apakah Tujuan Pendidikan Islam?”
 
Bagian pertama:
 
1. Tujuan, setiap program dan kegiatan mesti jelas tujuannya, karena tujuan tersebut mampu mengarahkan setiap langkah yang kita ayun, iapun merupakan pemicu sehingga kita memiliki tenaga kuat untuk melaksanakannya, 
 
Kemudian setiap tujuan di dalam Islam mesti memiliki nilai Ubudiyyah (penghambaan kita kepada Allah). Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam kitabnya al-Fawaid1 :
 
وقوله وإن إلى ربك المنتهى متضمن لكنز عظيم وهو أن كل مراد إن لم يرد لأجله ويتصل به فهو مضمحل منقطع فإنه ليس إليه المنتهى
 
"Dan firman Allah (yang artinya): 'Bahwasanya kepada Tuhanmulah kesudahan (segala sesuatu)', ayat tersebut mengandung simpanan yang sangat agung, yaitu bahwa segala capaian yang tidak ditujukan karena Allah, dan tidak dikaitkan kepada-Nya, makai pasti ia akan hancur dan terputus, karena 'ia tidak dikembalikan kepada-Nya'."
 
2. Pendidikan, yang dalam bahasa arab disebut Tarbiyah. Imam al-Baidhawi rahimahullah dalam tafsirnya ketika menjelaskan kata tarbiyah beliau berkata:
 
تبليغ الشيء إلى كماله شيئاً فشيئاً
 
“Mengantarkan sesuatu menuju kesempurnaanya sedikit demi sedikit”2 
 
Dari definisi di atas bisa kita ambil faidah bahwa, pendidikan itu harus mengandung beberapa komponen:
1). Proses, karena itu beliau mengatakan تبليغ (mengantarkan)
2). Harus memiliki target karena itu beliau mengatakan  إلى كماله menuju kesempurnaanya, yaitu menuju kesempurnaan manusia yang nisbi (terbatas).
3). Bahwa proses pendidikan harus dilakukan secara bertahap atau tadarruj (sediki-demi sedikit), karena itu beliau mengatakan شيئاً فشيئاً.
 
3. Islam, secara bahasa Islam itu adalah Istislam berserah diri, adapun secara istilah adalah sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Muhammad at-Tamimi dalam kitabnya Tsalatsatul Ushul:
 
الاستسلام لله بالتوحيد، والانقياد له بالطاعة، والبراءة من الشرك وأهله
 
“Berserah diri kepada Allah dengan mentauhidkan Allah, tunduk patuh kepada Allah dengan mentaati-Nya, dan berlepas diri dari kesyirikan juga pelakunya”.3 
 
Jika kita perhatikan definisi Islam sebagaimana diungkapkan di atas, maka bisa kita fahami bahwa inti dari agama Islam adalah at-Tauhid.
 
Inilah bagian pertama yang ingin saya jelaskan, yaitu penjelasan terkait kata yang menjadi penyusun judul yang saya sampaikan ini. Yaitu terkait dengan kata Tujuan, kata Pendidikan juga terkait kata Islam.
 
Bagian kedua, Apakah Tujuan Pendidikan Islam ? 
 
Saudara sekalian di grup whatsapp Belajar Islam yang semoga dimulyakan oleh Allah subhanahu wa ta'ala, secara umum tujuan Pendidikan Islam adalah mewujudkan penghambaan hanya untuk Allah subhanahu wa ta'ala, karena ialah tujuan penciptaan manusia, Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:
 
وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِيَعۡبُدُونِ  
 
“Dan tidaklah aku menciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka beribadah (mengabdi) kepada-Ku”. (QS. Ad-Dzariyat [51]: 56).
 
Doktor Majid Arsan al-Kailany dalam kitabnya Tathawwur Mafhum at-Tarbiyyah berkata:
 
Bahwa, diantara tujuan Pendidikan Islam (bahkan tujuan pokok dalam pendidikan Islam) adalah: “Mengenalkan manusia akan penciptanya, dan membangun hubungan diantara keduanya di atas pondasi Rabbaniyyatul Khaliq dan Ubudiyyatul Makhluk”.4
 
Jadi tujuan dari pada pendidikan islam adalah menancapkan nilai-nilai Tauhid Rububiyyah dan Tauhid Uluhiyyah, walaupun pada dasarnya Tauhid Rububiyyah itu sudah ada dalam fitrah setiap manusia. Keyakinan bahwa Allah sebagai Rabb, sebagai yang memiliki Alam semesta, yang mengatur alam semesta, yang menciptakan alam semesta itu sudah ada dalam fitrah setiap manusia.
 
Kemudian diantara tujuannya sebagaimana dikatakan oleh beliau adalah: Menjalin hubungan antara manusia dengan Allah di atas dasar Ubudiyyatul Makhluk artinya makhluk hanya beribadah kepada Allah, ini tujuan paling penting dalam pendidikan Islam dan itulah Tauhid. 
 
Kemudian beliau berkata:
 
“Dan untuk membangun hubungan tersebut di atas dasar Ubudiyyah yang tulus, maka segala tujuan (pendidikan) mesti diikat dengan niat karena Allah dalam setiap aktivitas yang dilakukannya”.
 
Kemudian beliau menjelaskan bahwa, untuk membangun hubungan tersebut yaitu hubungan Ubudiyatul makhlukdengan Khalik ini, maka setiap aktivitas yang dilakukan oleh seorang hamba harus di ikat dengan niat karena Allah subhanahu wa ta'ala, karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
 
إنَّمَا الأعمَال بالنِّيَّاتِ
 
"Setiap amal itu tergantung niat."
 
Maka setiap aktivitas peserta didik, setiap aktivitas anak-anak kita harus di ikat dengan niat tersebut, bahwa tidaklah aku belajar kecuali karena Allah, tidaklah aku makan kecuali karena Allah, tidaklah aku minum kecuali karena Allah, kenapa? karena sesungguhnya aku diciptakan oleh Allah hanya untuk ibadah kepada-Nya. 
 
Selanjutnya jika dirinci kembali maka Tujuan Pendidikan Islam itu bisa dibagi menjadi tiga5:

1) Membentuk Pribadi ideal dengan memperhatikan perkembangan jasmani, akal dan ruh.
 
Islam memandang manusia itu secara sempurna, bahwa manusia terdiri dari jasmani, terdiri dari akal, terdiri dari ruh.
 
oleh karena itu tujuan pendidikan Islam secara rincinya adalah membentuk pribadi ideal dengan memperhatikan perkembangan jasmani, jasmaninya harus sehat, berkembang dengan baik dan seterusnya, akalnya pun demikian harus diberikan nutrisi yang baik, ruh nya pun demikian, bahkan ruh ini sangat penting. 

2) Mengembangkan kemampuan ilmiyah, yakni dengan menggali kemampuan anak, mengembangkan dan mengajarkan kepadanya ilmu yang cocok untuknya (karena kemapuan tiap anak itu beragam), terutama ilmu-ilmu agama dan ilmu lain yang menjadi kecenderungannya, tentunya yang bermanfaat bagi umat.
 
Tujuan pendidikan dalam Islam, mengembangkan kemampuan ilmiah para peserta didik, diantara kewajiban orang tua sebagai pendidik pertama dalam sebuah bangunan keluarga adalah menggali kemampuan anak karena setiap anak itu beragam kemampuannya. Kemudian ketika dia sudah mendapatinya, maka diantara kewajibannya adalah mengembangkan dan menyampaikan kepadanya ilmu yang cocok untuknya, terutama ilmu agama, demikian pula ilmu-ilmu lain yang jadi kecendrungannya, tapi syaratnya bermanfaat. Karena Nabi  shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
 
  خَيْرُ الناسِ أَنْفَعُهُمْ لِلناسِ
 
"Sebaik-baik manusia adalah manusia yang paling bermanfaat untuk yang lainnya."

3) Membentuk umat Islam, yang saling memberikan nasihat juga membawa risalah Islam untuk seluruh alam.
 
Tujuan pendidikan Islam, adalah membentuk umat Islam yang saling tanasuh (memberikan nasehat) karena  الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ, agama adalah nasihat, juga membawa risalah Islam untuk seluruh alam, kenapa? karena diantara kewajiban kita agar kita keluar dari kerugian adalah:
 
وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ
 
"Saling berwasiat dengan kebenaran"
 
Maka dari ayat ini setiap muslim mesti memiliki peran dalam berda'wah, sesuai dengan kemampuannya masing-masing.
 
Saudara-saudara sekalian, demikianlah materi pertama yang bisa saya sampaikan, semoga apa yang saya sampaikan ini bisa dipahami dengan baik dan tentunya bermanfaat.
 
Akhukum fillah
Abu Sumayyah Beni Sarbeni
 

[1] Imam Ibnul Qayyim dalam al-Fawaid (Beirut, Darul Kutub al-Ilmiyyah, 1973 ), hal. 202
[2] Al-Baidhawi,  An-Warut Tanzil wa Asrarul Ta’wil, (Beirut: Dar  Ihyaut Turats al-Arabi, 1996), jilid 1, hal. 28
[3] Syaikh Muhammad at-Tamimi, Tsalatsul Ushul (KSA, Wizaratus Su’un al-Islamiyyah, 1999), hal. 14
[4] Majid arsan Kailani dalam Tathawwur Mafhum an-Nazhariyyah at-Tarbiyyah al-Islamiyyah (Beirut, Dar Ibni Katsir, 1985), hal. 34
[5] Tulisan Prof, Dr, Khalid bin Abdillah bin Abdil Aziz al-Qasim dengan sedkit perubahan, bisa dilihat dalam https://www.alukah.net/culture/0/18838/#_ftn5
 

Senin, 03 Februari 2020

Sebab-sebab Tazkiyatun Nufus (bag.2)


بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين أمَّا بعد

Ikhwah sekalian di grup whatsApp Belajar Islam yang semoga dimuliakan oleh Allah subhanahu wa ta'ala, kita lanjutkan kajian tazkiyatun nufus. Kali ini saya masih menyampaikan materi tentang sebab tazkiyatun nufus.

Sebab yang ketiga yakni mengetahui akibat buruk perbuatan dosa terhadap jiwa.

Penulis hafidzhahullah berkata, dalam mensucikan jiwa hendaknya seorang hamba mengenali betul keimanan, ia pun mengetahui sebab-sebab bertambah dan berkurangnya keimanan. Demikian pula mengetahui dosa juga pengaruhnya tehadap jiwa. Karena sungguh dosa itu berpengaruh terhadap jiwa.

Sayangnya sebagian manusia tidak mengetahui masalah ini, sehingga ketika jatuh ke dalam dosa, ia tidak mengetahui obatnya.

Perumpamaannya seperti orang yang sakit, tidak mengetahui pengobatan sehingga ketika sakit menimpa maka penyakit merusaknya bahkan bisa menyebabkan kematian. Adapun perumpamaan orang yang mengenali dosa dan sebab-sebab yang bisa menghapusnya adalah seperti seorang dokter, ketika sakit menimpanya maka ia segera mengobatinya.

Kemudian sebagaimana dimaklumi bahwa tidak ada seorangpun yang bisa terlepas dari dosa, orang awam bahkan seorang 'alim sekalipun, laki-laki maupun perempuan, pada malam hari maupun siang, semuanya hampir tidak selamat dari dosa, kecuali orang-orang yang dijaga oleh Allah subhanahu wa ta'ala.

Dan ikhwah sekalian, di antara kitab yang paling bagus membahas tentang efek buruk dari perbuatan dosa adalah Kitab ad-Daa’ wa ad-Dawaa' karya al-Imam Ibnul Qayyim al-Jauzi dan karena itu pula al-Imam Ibnul Qayyim al-Jauzi di juluki thabiibul qalbi (dokternya hati).

Selanjutnya penulis berkata, faidah tingkatan manusia ketika melakukan dosa.
Sungguh manusia itu bertingkat-tingkat ketika dia telah melakukan perbuatan dosa. Hal itu sesuai dengan tingkatan ilmunya terhadap syari'at demikian pula sesuai dengan tingkat pemahamannya terhadap takdir.

Tingkatan pertama atau golongan pertama, adalah orang yang ketika melakukan dosa maka ia menisbatkannya kepada Allah subhanahu wa ta'ala, menyandarkannya kepada Allah subhanahu wa ta'ala. Ia merasa bahwa ia dipaksa dalam melakukan hal itu (majbur), tidak ada kehendak baginya. Barangsiapa yang demikian keadaannya maka ia serupa dengan kaum musyrikin yang dikabarkan oleh Allah subhanahu wa ta'ala dalam firman-Nya,

سَيَقُولُ الَّذِينَ أَشْرَكُوا لَوْ شَاءَ اللهُ مَا أَشْرَكْنَا وَلَا آبَاؤُنَا

"Orang orang yang menyekutukan Allah mereka berkata, jika Allah menghendaki niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak akan menyekutukannya." (QS. Al-An'am : 148)

Jadi perbuatan-perbuatan syirik yang mereka lakukan mereka sandarkan kepada Allah rabbul 'alamin. Ini pula sikap kaum Jabriyyah dan orang yang terkena bid'ah juga kesesatannya, ketika salah seorang diantara mereka melakukan dosa, maka dia berkata, seandainya Allah menghendaki, maka Allah tidak akan mentakdirkan aku seperti ini.

Dan banyak kita dengar sebagian kaum muslimin mengatakan ucapan seperti itu. Mereka berhujjah dengan takdir atas perbuatan dosa yang mereka lakukan.

Selanjutnya syaikh mengatakan : ada yang mengatakan bahwa orang yang pertama kali berhujjah, berdalil dengan takdir atas perbuatan dosa adalah Iblis. Setelah bermaksiat ia berkata, "Ya Tuhanku oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat." Jadi menisbatkan kesesatan kepada Allah sebagaimana yang Allah jelaskan dalam surah Al-Hijr ayat 39. Iblis menisbatkan kesesatan kepada Allah subhanahu wa ta'ala.

Berbeda dengan Adam 'alaihis salam ketika dia bermaksiat kepada Allah, dia berkata, "Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami niscaya pastilah kami termasuk orang orang yang merugi." Jadi perbuatan maksiat yang dilakukan dinisbatkan kepada dirinya sendiri bukan kepada Allah Rabbul 'Alamin.

Adam bertaubat dan beristighfar, karena itulah Allah subhanahu wa ta'ala menerima taubatnya sementara iblis celaka karena dia terus menerus dalam kemaksiatan dan beralasan dengan takdir atas dosa yang dia lakukan.

Inilah golongan pertama orang yang berlaku dosa, yakni seorang hamba merasakan bahwa dia dalam keadaan terpaksa dan Allah lah yang mentakdirkan dia berbuat maksiat.

Allah lah yang mentakdirkan segala sesuatu akan tetapi tidak dibenarkan bagi seseorang berhujjah (berdalil) dengan takdir atas maksiat yang ia lakukan. Ia boleh berhujjah dengan takdir atas musibah yang menimpanya, bukan atas maksiat. Sebagaimana yang dikatakan oleh para ulama

لا يحتج بالقدر على المعايب و انما يحتج به على المصائب

"Tidak boleh berhujjah dengan takdir atas perbuatan dosa yang telah dilakukan oleh seseorang, ia hanyalah boleh berhujjah dengan takdir atas musibah yang menimpanya."

Ikhwah sekalian demikianlah materi yang bisa saya sampaikan mudah-mudahan bisa dipahami dengan baik.

Akhukum fillah,
Abu Sumayyah Beni Sarbeni

Bagaimana Nabi Menyampaikan Al Qur-an kepada Umatnya


بسم الله الرحمن الرحيم
والصلاة والسلام على نبينا محمد صلى عليه وسلم وعلى آله وصحبه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين، وبعد

Materi kita selanjutnya, berkaitan bagaimana Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menyampaikan Al Qur-an kepada umat.

Salah satu hal yang harus diyakini oleh kaum muslimin adalah bahwasanya Allah subhanahu wa ta'ala telah menjaga kitab-Nya dalam kondisi terjaga dari segala bentuk perubahan, pergantian, serta penambahan dan pengurangan. Al Qur-an ini tidak didatangi oleh kebathilan, baik dari depan maupun dari belakangnya hingga hari kiamat. Hal ini telah ditetapkan berdasarkan dalil-dalil yang jelas dan tegas.

Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:

وَلَقَدۡ وَصَّلۡنَا لَهُمُ ٱلۡقَوۡلَ لَعَلَّهُمۡ يَتَذَكَّرُونَ 

“Dan sesungguhnya telah Kami turunkan berturut-turut perkataan ini (Al Qur-an) kepada mereka agar mereka mendapat pelajaran.” (QS. Al Qashash [28]: 51)

Dalam ayat ini, Allah subhanahu wa ta'ala mengabarkan kepada kita bahwa Dia menjamin penyampaian Al Qur-an ini kepada manusia secara utuh sebagaimana yang diturunkan.

Allah subhanahu wa ta'ala  juga  berfirman:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلرَّسُولُ بَلِّغۡ مَآ أُنزِلَ إِلَيۡكَ مِن رَّبِّكَۖ وَإِن لَّمۡ تَفۡعَلۡ فَمَا بَلَّغۡتَ رِسَالَتَهُۥۚ وَٱللَّهُ يَعۡصِمُكَ مِنَ ٱلنَّاسِۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَهۡدِي ٱلۡقَوۡمَ ٱلۡكَٰفِرِينَ 

“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (QS. Al Maidah [5]: 67)

Salah satu syarat kenabian Rasulullah sallallahu 'alaihi wa sallam adalah kewajiban beliau untuk menyampaikan Al Qur-an secara utuh dan sempurna.

Allah subhanahu wa ta'ala juga berfirman:

كَمَآ أَرۡسَلۡنَا فِيكُمۡ رَسُولٗا مِّنكُمۡ يَتۡلُواْ عَلَيۡكُمۡ ءَايَٰتِنَا وَيُزَكِّيكُمۡ وَيُعَلِّمُكُمُ ٱلۡكِتَٰبَ وَٱلۡحِكۡمَةَ وَيُعَلِّمُكُم مَّا لَمۡ تَكُونُواْ تَعۡلَمُونَ 

“Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.” (QS. Al Baqarah [2]: 151)

Semua nash ini menunjukkan secara pasti bahwa Nabi sallallahu 'alaihi wa sallam telah menyampaikan Al Qur-an secara utuh, sebagaimana Al Qur-an diturunkan kepada beliau. Tidak ada yang berkurang dan bertambah darinya walaupun satu huruf. Setiap muslim wajib meyakini hal ini.

Pendengar sekalian yang semoga Allah subhanahu wa ta'ala muliakan, Nabi sallallahu 'alaihi wa sallam menyampaikan al Qur-an kepada umatnya melalui dua cara:

1. Secara lisan (periwayatan melalui suara)

2. Secara tulisan (ditulis didalam kitab)

SECARA LISAN (PENYAMPAIAN AL QUR-AN MELALUI SUARA)

Imam al Bukhari meriwayatkan di dalam shahihnya, dari Ibnu Abbas mengenai firman Allah subhanahu wa ta'ala:

لَا تُحَرِّكۡ بِهِۦ لِسَانَكَ لِتَعۡجَلَ بِهِۦٓ إِنَّ عَلَيۡنَا جَمۡعَهُۥ وَقُرۡءَانَهُۥ فَإِذَا قَرَأۡنَٰهُ فَٱتَّبِعۡ قُرۡءَانَهُۥ ثُمَّ إِنَّ عَلَيۡنَا بَيَانَهُۥ 

“Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Quran karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya. Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasannya.” (QS. Al Qiyamah [75]:16-19)

Dahulu, apabila Jibril datang kepada Rasulullah sallallahu 'alaihi wa sallam membawa wahyu, beliau berusaha menerima wahyu yang diturunkan kepadanya dengan susah payah. Hal itu membuat beliau menggerakkan lidah dan kedua bibirnya sehingga ia semakin sulit menerimanya, maka Allah subhanahu wa ta'ala pun menurunkan ayat ini (Lihat Shahih Bukhari (VII/680, no. 4927))

Penyampaian Al Qur-an melalui suara terdiri dari tiga tahapan:

1. Jibril 'alaihissalam turun membawa Al Qur-an kedalam hati Nabi sallallahu 'alaihi wa sallam dengan lafadz, makna, dan hal-hal terkait lainnya, Allah subhanahu wa ta'ala berfirman: 

نَزَلَ بِهِ ٱلرُّوحُ ٱلۡأَمِينُ  ١٩٣ عَلَىٰ قَلۡبِكَ لِتَكُونَ مِنَ ٱلۡمُنذِرِينَ  ١٩٤

“Dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan.” (QS. Asy Syu’ara [26]: 193-194)

Dan Surat yang pertama diturunkan kepada beliau adalah surat Al Alaq, adapun surat yang terakhir yang diturunkan kepada beliau adalah QS. Al Baqarah ayat 281

Allah subhanahu wa ta'ala berfirman: 

وَٱتَّقُواْ يَوۡمٗا تُرۡجَعُونَ فِيهِ إِلَى ٱللَّهِۖ ثُمَّ تُوَفَّىٰ كُلُّ نَفۡسٖ مَّا كَسَبَتۡ وَهُمۡ لَا يُظۡلَمُونَ  ٢٨١

Terkait ayat ini, malaikat Jibril  'alaihissalam  berkata kepada Nabi Muhammad sallallahu 'alaihi wa sallam: “Letakkan ayat tersebut setelah ayat ke 280 pada surat Al Baqarah”. Demikianlah Jibril 'alaihissalam mewahyukan Al Qur-an kepada Nabi Muhamad sallallahu 'alaihi wa sallam secara lisan.

2. Para Sahabat mempelajari Al Qur-an melalui mulut Nabi sallallahu 'alaihi wa sallam dan mereka membaca ulang dihadapan beliau sampai beliau akui bacaan mereka

3.Para Sahabat meriwayatkan Al Qur-an kepada generasi selanjutnya dengan cara yang sama, dan begitu seterusnya hingga sampai kepada kita.

SECARA TERTULIS

Adapun penyampaian Al Qur-an kepada umatnya secara tertulis, berikut secara ringkas saya sebutkan fase-fase pembukuannya:

1. Penulisan seluruh penggalan Al Qur-an di hadapan Nabi sallallahu 'alaihi wa sallam saat diturunkan dan pada saat wahyu itu datang. Zaid bin Tsabit radiyallahu ''anhu beliau berkata:

كُنْتُ أَكْتُبُ الْوَحْيَ عِنْدَ رَسُولِ اللَّـهِ صلى اللـه عليه وسلم وَهُوَ يُمْلِي عَلَيَّ فَإِذَا فَرَغْتُ قَالَ : اِقْرَأ، فَأَقْرَؤُهُ، فَإِن كَانَ فِيهِ سَقْطٌ أَقَامَهُ ، ثُمَّ أَخْرُجُ بِهِ إِلىَ النَّاسِ

“Aku mencatat wahyu di dekat Rasulullah sallallahu 'alaihi wa sallam ketika beliau mendiktekannya kepadaku. Setelah aku selesai (mencatat), beliau berkata, ‘Bacalah!', Aku pun membacanya. Jika (dalam bacaanku) ada yang kurang, maka beliau perbaiki. Lalu setelah itu aku sampaikan kepada manusia (kepada para Sahabat).”  (HR. Thabrani dengan sanad yang para perawinya tsiqah)

2. Tulisan tersebut selanjutnya disalin ke dalam lembaran-lembaran dan menjadi sebuah mushaf pada masa Abu Bakar Ash Shiddiq radiyallahu 'anhu

Sebagaimana kita ketahui didalam peperangan Riddah pada masa pemerintahan Abu Bakar Ash Shiddiq radiyallahu ''anhu, para huffadz, mereka saling berlomba didalam memerangi kaum murtad, namun banyak diantara mereka yang meninggal dunia. Sehingga Umar bin Khattab radiyallahu 'anhu merasa khawatir terhadap para pewaris Al Qur-an yang meninggal tersebut, kemudian beliau mengusulkan agar Al Qur-an dibukukan menjadi sebuah kitab induk sebagai referensi bagi kaum muslimin.

Alhamdulillah, Allah subhanahu wa ta'ala melapangkan dada Abu Bakar Shiddiq  radiyallahu 'anhu sehingga beliau berkenan memanggil penulis wahyu yang pada saat itu senantiasa berada disisi Nabi sallallahu 'alaihi wa sallam , yaitu Zaid bin Tsabit radiyallahu 'anhu.

Abu Bakar meminta kepadanya agar membukukan bagian-bagian Al Qur-an  yang dahulu pernah ditulis disisi Nabi sallallahu 'alaihi wa sallam. Alhamdulillah  Allah melapangkan hati Zaid ibnu Tsabit, maka mulailah Zaid bin Tsabit mengumpulkan bagian-bagian dari Al Qur-an tersebut dengan cara yang sangat hati-hati.

Dalam pengumpulannya  beliau menginformasikan kepada para Sahabat beliau dengan berkata “barangsiapa yang memiliki bagian-bagian dari Al Qur-an yang pernah ditulisnya ketika Rasulullah masih ada, maka berikanlah kepadaku!"

Maka para Sahabat pun mendatanginya dengan membawa bagian-bagian dari Al Qur-an tersebut. Ketika para Sahabat menyerahkan bagian-bagian dari Al Qur-an itu Zaid bin Tsabit  berkata: “Apakah ada saksi selain dirimu yang melihat bahwa engkau menulis bagian-bagian dari Al Qur-an ini disisi Nabi sallallahu 'alaihi wa sallam?"

Apabila ada saksi yang melihat dengan kepalanya sendiri maka Zaid bin Tsabit mengambilnya, namun apabila tidak, maka beliau tidak mengambilnya.

Demikianlah kehati-hatian Zaid bin Tsabit  didalam mengumpulkan Al Qur-an sehingga akhirnya menjadi mushaf yang utuh referensi bagi kaum muslimin. Mushaf tersebut diberi nama dengan Mushaf Ash Shiddiq.1 (Nisbat pada Abu Bakar Ash Shiddiq sebagai khalifah pada saat itu)

3. Menyalin sejumlah mushaf pada masa Utsman bin Affan radiyallahu 'anhu

Setelah Abu Bakar Ash Shiddiq radiyallahu 'anhu wafat, maka berpindahlah Mushaf Ash Shiddiq ini kepada Umar bin Khathab radiyallahu 'anhu selama 10 tahun, kemudian setelah beliau wafat, maka berpindahlah mushaf tersebut kepada anak perempuannya yaitu Ummul Mu’minin Hafshah binti Umar.

Pada saat khilafahnya Utsman meluaslah penaklukan-penaklukan beberapa negeri oleh tentara kaum muslimin, dan sampailah kaum muslimin ke Armenia atau wilayah soviet, dimana daerah tersebut terdapat pasukan besar muslimin yang datang dari Iraq dan dari Syam.

Didalamnya ada para Tabi’in dan beberapa Sahabat. Para tabi’in ini bertalaqqi kepada para Sahabat. Demikian pula pasukan besar kaum muslimin mereka saling mendengarkan bacaan mereka satu sama lainnya. Membacalah diantara mereka penggalan ayat:

واتم الحج و العمرة للبيت

Berkatalah orang kedua yang mendengarkan, bukan seperti itu, tapi Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:

واتم الحج و العمرة لله

Orang yang pertama berkata, bukan tapi lil bait, dan yang kedua mendebat yang pertama, sehingga timbullah perselisihan dan tersebarlah permasaahan ini.

Ditempat yang terdapat dua pasukan besar tersebut terdapatlah seorang sahabat yang mulia yang bernama Hudzaifah bin Yaman radiyallahu 'anhu. Ketika beliau mendengar permasalahan ini, maka beliau pulang ke Madinah dan berkata kepada Utsman bin Affan radiyallahu 'anhu “Pahamkanlah umat ini sebelum mereka berpecah sebagaimana berpecahnya yahudi dan nasrani.”

Maka Utsman bin Affan radiyallahu 'anhu memanggil Zaid bin Tsabit  radiyallahu 'anhu yang ketika itu masih hidup agar mengutus kepada Umul Mu’minin Hafsah putri Umar bin Khattab, supaya mengirimkan mushaf Ash shiddiq kepada Utsman bin Affan radiyallahu 'anhu

Setelah mengadakan rapat bersama lajnah, mereka berkata kepada Zaid bin Tsabit “Salinlah untuk kami dari kitab ini beberapa mushaf, sehingga kami bisa mengirimnya ke belahan bumi dan menjadikan mushaf ini menjadi referensi bagi manusia dalam qiraah."

Maka bergeraklah Zaid bin Tsabit menyalin beberapa mushaf dari mushaf Ash Shiddiqi tersebut, yang dimana sejatinya beliaulah sendiri yang menjadikan lembaran-lembaran Al Qur-an tersebut menjadi mushaf ketika di zaman Abu Bakar Ash Shiddiq radiyallahu 'anhu  dan beliau sendirilah yang menulis diantara lembaran-lembaran Al Qur-an  ketika zaman Nabi sallallahu 'alaihi wa sallam. Dari sini kita dapat melihat bahwa fase penjagaan Al Qur-an begitu kokoh dari satu generasi ke generasi lainnya.

Setelah Al Qur-an disalin, Utsman bin Affan radiyallahu 'anhu mengirim mushaf dari mushaf-mushaf yang sudah disalin tersebut ke beberapa kota-kota besar seperti ke Kufah, Bashrah, Syam, Mekah, Yaman, dan Bahrain dan juga mengutus bersama mushaf tersebut seorang qari yang mutqin untuk membacakan kepada mereka ayat-ayat Al Qur-an yang ada dalam mushaf tersebut.2

4. Kaum muslimin menyebar mushaf-mushaf tersebut ke dalam salinan-salinan yang tidak terhitung jumlahnya

5. Muncul sejumlah karya tulis yang mengatur penulisan al Qur-an (ilmu penulisan mushaf)

Didalam rangka menjaga kemurnian penulisan Al Qur-an, maka hadirlah para ulama yang menulis tentang ilmu penulisan Al Qur-an ini, seperti kitab Al Muqni’ yang ditulis oleh Abu Amr Ad Dhani, kemudian Mandzhumah Aqilati Atraab Al Qashaid fii Asnail Maqashid fii‘ilmi Rasm Al Mashahif yang ditulis oleh Imam Asy Syathibi. Dll.

Demikianlah para pendengar sekalian sedikit penjelasan mengenai bagaimana Nabi sallallahu 'alaihi wa sallam menyampaikan Al Qur-an kepada umatnya

Akhukum fillah

Abu Fauzan
[1]  Video Tadwinul Qur-an, Dr. Aiman Rusydi Suwaid dengan sedikit perubahan dan penambahan

[2] Video Tadwinul Qur-an, Dr. Aiman Rusydi Suwaid dengan sedikit perubahan dan penambahan

Definisi Al Qur-an


بسم الله الرحمن الرحيم
والصلاة والسلام على نبينا محمد صلى عليه وسلم وعلى آله وصحبه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين، وبعد

Para pendengar Belajar Islam dimanapun anda berada, pada pertemuan perdana kita kali ini, yaitu setelah mukadimah yang saya sampaikan, mari kita bahas materi demi materi yang ada di dalam buku Ringkasan Tajwid Dasar ini.

DEFINISI AL QUR-AN

Al Qur-an secara bahasa adalah mashdar dari قرأ - يقرأ, maknanya ada dua, yaitu:

1. Sesuatu yang dibaca, diartikan demikian dikarenakan Al Qur-an dibaca oleh lisan-lisan manusia.

2. Pengumpul, diartikan demikian dikarenkan Al Qur-an adalah mengumpulkan kabar dan hukum.

Adapun secara istilah syar’i, Al Qur-an adalah:

كَلاَمُ اللَّـهِ تَعَالَ، الْمُعْجِزُ، الْمُنَزَّلُ عَلَى خَاتَمِ الأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِينَ، سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صلى اللـه عليه وسلم  بِوَاسِطَةِ الأَمِيْنِ جِبْرِيلَ  عليه السلام  الْمَكْتُوبُ فِي الْمَصَاحِفِ، الْمَنْقُولُ إِلَيْنَا بِالتَّوَاتُرِ، الْمُتَعَبَّدُ بِتِلاَوَتِهِ، الْمَبْدُوُءُ بِسُوْرَةِ الْفَاتِحَةِ، الْمَخْتُومُ بِسُورَةِ النَّاسِ.

"Al Qur-an adalah Kalamullah subhanahu wa ta'ala, sebagai mu’jizat, yang diturunkan kepada penutup para Nabi dan Rasul, yaitu Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam dengan perantara Jibril 'alaihissalam. Yang ditulis dalam mushaf-mushaf, yang dinukil sampai kepada kita secara mutawatir, membacanya bernilai ibadah, kemudian dimulai dengan surah al Fatihah yang ditutup dengan surah an-Naas.”1

Al Qur-an disebut Kalamullah (firman Allah) maksudnya adalah: bahwa semua huruf, lafadz, dan makna Al Qur-an semua termasuk Kalamullah. Dalil bahwa Al Qur-an itu Kalamullah, yaitu firman Allah subhanahu wa ta'ala:

وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّىٰ يَسْمَعَ كَلَامَ اللَّهِ ثُمَّ أَبْلِغْهُ مَأْمَنَهُ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَعْلَمُونَ

“Dan jika seorang diantara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah (Al Qur-an), kemudian antarkanlah ia ketempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui.” (QS. At-Taubah [9]: 6)

Ahlus Sunnah wal Jama’ah menyatakan:

إن القرآن كلام الله، مُنَزَّل غير مخلوق، منه بدأ، و إليه يعود

“Al Qur-an adalah Kalamullah, yang diturunkan dan bukan diciptakan (baca: bukan makhluk), berasal hanya dari-Nya, dan kembali kepada-Nya”

Hadits Qudsi adalah Kalamullah juga, namun jika definisi dari Al Qur-an adalah “Kallamullahi Ta’ala al mu’jiz” maka tidak termasuk didalamnya hadits qudsi tersebut, kenapa?, karena hadits qudsi bukanlah mu’jizat.

MU’JIZAT

Kata mu’jizat [المعجزة] turunan dari kata al-Ajz [العَجْز] yang artinya tidak mampu untuk melakukan sesuatu. Sementara secara istilah syar’i, mu’jizat adalah kejadian luar biasa yang Allah subhanahu wa ta'ala berikan kepada para Nabi-Nya sebagai bukti status kenabian mereka. (ar-Rusul wa ar-Risalat, Umar al-Asyqar, hlm. 86)

Syaikh Abdurrahman As-Sa’diy menjelaskan:

“Mu’jizat adalah sesuatu yang Allah turunkan melalui para Rasul dan Nabi berupa kejadian-kejadian luar biasa (di luar hukum adat/sebab-akibat) sebagai bentuk tantangan bagi manusia. Merupakan berita dari Allah untuk membenarkan apa yang telah Allah utus untuk menguatkan para Rasul dan Nabi. Seperti terbelahnya bulan dan turunnya Al Qur-an.” (At-Tanbihaat Al-Lathiifah hal. 107)

Allah subhanahu wa ta'ala sendiri menantang orang Arab yang hidup di zaman Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, berkaitan dengan Al Qur-an ini. Dikatakan kepada mereka:

“Kalian mengatakan bahwa firman yang datang kepada Muhammad adalah buatan Muhammad sendiri? Jikalau demikian, buatlah sebuah kitab yang serupa seperti Al Qur-an,"

Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:

قُل لَّئِنِ ٱجۡتَمَعَتِ ٱلۡإِنسُ وَٱلۡجِنُّ عَلَىٰٓ أَن يَأۡتُواْ بِمِثۡلِ هَٰذَا ٱلۡقُرۡءَانِ لَا يَأۡتُونَ بِمِثۡلِهِۦ وَلَوۡ كَانَ بَعۡضُهُمۡ لِبَعۡضٖ ظَهِيرٗا  ٨٨

“Katakanlah: 'Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al Qur-an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain.'" (QS. Al Isra [17]: 88)

Terhadap Kalamullah ini, para ahli bahasa dikalangan orang Arab tidak bisa berkomentar mengenainya, karena Al Qur-an tidak sebanding dengan kalamul Arab yang beredar pada saat itu. Al Qur-an bukanlah Nasr ataupun Syair, oleh karena itu para ahli  bahasa berkata, Kalam Arab itu ada 3, yaitu: Nasr, Syair dan Al Qur-an. ketika Al Qur-an dilantunkan:

وَٱلضُّحَىٰ  ١ وَٱلَّيۡلِ إِذَا سَجَىٰ  ٢ مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَمَا قَلَىٰ  ٣ وَلَلۡأٓخِرَةُ خَيۡرٌ لَّكَ مِنَ ٱلۡأُولَىٰ  ٤

Apakah ini Nashr? Bukan, ini bukan nashr, karena nashr merupakan sebuah rangkaian kata yang memiliki alunan yang sudah ditentukan, ataukah Al Qur-an adalah Syair?, bukan juga, karena Al Qur-an tidak berlaku padanya bahr yang dimana orang arab menetapkan ketentuannya pada syair tersebut.2

YANG DITURUNKAN

Yang diturunkan kepada penutup para Nabi dan Rasul, yaitu Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, maka Suhuf Ibrahim, Zabur, Taurat, dan Injil tidak termasuk didalamnya, karena kitab-kitab tersebut diturunkan kepada Nabi yang lainnya sebelum beliau, adapun kaum muslimin hanya sebatas mengimani kitab-kitab yang telah turun tersebut tanpa menjalankan syari’atnya.

Para pendengar sekalian, sejatinya wahyu turun kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bukanlah kepada pendengarannya, akan tetapi wahyu turun kepada hati beliau, Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:

نَزَلَ بِهِ ٱلرُّوحُ ٱلۡأَمِينُ  ١٩٣ عَلَىٰ قَلۡبِكَ لِتَكُونَ مِنَ ٱلۡمُنذِرِينَ  ١٩٤

“Dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan.” (QS. Asy Syu’ara [26]: 193-194)

Kemudian, betapa beratnya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menerima wahyu ini, bahkan ketika dimalam hari yang dingin, keringat beliau bercucuran disebabkan beratnya wahyu yang diterima oleh beliau, Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:

إِنَّا سَنُلۡقِي عَلَيۡكَ قَوۡلٗا ثَقِيلًا  ٥

“Sesungguhnya Kami akan menurunkan kapadamu perkataan yang berat.” (QS. Al Muzammil [73]: 5)

Alhamdulillah Nabi kita Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam dengan kekuatan dari Allah subhanahu wa ta'ala mampu menerima wahyu yang diamanahkan kepadanya.

Kemudian apabila Jibril 'alaihissalam telah menyelesaikan urusannya dengan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau hafal wahyu yang telah diucapkan Jibril tersebut, mulai dari lafadznya sampai maknanya.

Kemudian beliau shallallahu 'alaihi wa sallam memanggil para Sahabatnya yang mampu dan mengetahui tentang penulisan kitab, dan mulailah mereka menulisnya didepan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau membacakan Al Qur-an dari mulutnya, dan mereka mendengarkannya, kemudian menulisnya, kemudian membacakannya lagi dihadapan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, apabila dalam bacaannya ada yang kurang, maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam meluruskanya, lalu setelah itu para sahabat menyampaikannya kepada manusia.

MUTAWATIR3

Kemudian pada definisi Al Qur-an diatas ada kata mutawatir, secara bahasa, mutawatir adalah isim fa’il dari at-tawatur yang artinya berurutan.

Sedangkan mutawatir menurut istilah adalah: apa yang diriwayatkan oleh sejumlah banyak orang yang menurut kebiasaan mereka terhindar dari melakukan dusta mulai dari awal hingga akhir sanad.

Atau: hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang banyak pada setiap tingkatan sanadnya, yang menurut akal tidak mungkin para perawi tersebut sepakat untuk berdusta dan memalsukan hadits, dan mereka bersandarkan dalam meriwayatkan pada sesuatu yang dapat diketahui dengan indera seperti pendengarannya atau semacamnya.

MEMBACANYA BERNILAI IBADAH

Seperti yang kita simak dalam definisi di atas bahwa Al Qur'an jika dibaca dia bernilai ibadah.

Sahabat Ibnu Mas’ud radiyallahu 'anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللهِ فَلَهُ حَسَنَةٌ وَالحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لاَ أَقُولُ الم حَرْفٌ وَلَكِن أَلِفٌ حَرْفُ وَلاَمٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ

“Barangsiapa yang membaca satu huruf dari Al Qur-an maka baginya satu pahala, dan satu pahala itu dilipatgandakan menjadi sepuluh pahala. Aku tidak mengatakan alif lam min itu satu huruf, tetapi alif satu huruf, lam satu huruf, dan mim satu huruf.” (HR At Tirmidzi dari Sahabat Abdullah bin Mas’ud radiyallahu 'anhu)

Al Qur-an terdiri dari 114 surat, dimulai dari surat Al Fatihah dan diakhiri oleh surat An Naas, adapun ayatnya, al-Hafidz Ibnu Katsir menyebutkannya sebagai berikut:

"Tentang jumlah ayat Al Qur-an ada 6000 ayat, kemudian ulama berbeda pendapat yang lebih dari angka itu. Diantara mereka berpendapat, tidak lebih dari 6 ribu ayat, ada yang mengatakan 6204 ayat, ada yang mengatakan 6014 ayat, ada juga yang mengatakan 6219 ayat, ada yang mengatakan 6225 ayat atau 6226 ayat. Dan ada yang mengatakan 6236 ayat. Pendapat terakhir ini disampaikan oleh Abu Amr ad-Dani dalam kitab al-Bayan." (Tafsir Ibn Katsir, 1/98)

Perbedaan jumlah ayat di atas, sama sekali bukan karena perbedaan Al Qur-an yang mereka miliki. Al Qur-an mereka sama persis seperti Mushaf al-Imam yang diterbitkan di zaman Khalilfah Utsman bin Affan radiyallahu 'anhu. Karena mengingkari satu huruf dalam Al Qur-an, sama dengan mengingkari seluruh isi Al Qur-an.

Ali bin Abi Thalib radiyallahu 'anhu mengatakan:

مَنْ كَفَرَ بِحَرْفٍ مِنَ الْقُرْآنِ ، أَوْ بِآيَةٍ مِنْهُ ، فَقَدْ كَفَرَ بِهِ كُلِّهِ

”Barangsiapa yang kufur terhadap satu huruf Al Qur-an atau salah satu ayat Al Qur-an berarti dia telah kufur terhadap seluruh isi Al Qur-an.” (Hikayatul Munadharah fiil Qur’ani ma’a ba’dhu Ahlil Bid’ati, Hal 33).

Perbedaan jumlah ayat ini terjadi disebabkan ketika para ulama menentukan titik-titik ayat dalam Al Qur-an. Terkadang ada dua ayat dalam mushaf, yang menurut ulama tertentu, dua ayat itu dihitung satu ayat. Terkadang ada juga satu ayat yang panjang, oleh ulama A masih dianggap satu ayat, sementara oleh ulama B dianggap dua ayat, dan demikian seterusnya sesuai dengan ijtihad mereka.

Demikianlah sedikit penjelasan mengenai definisi Al Qur-an yang bisa saya sampaikan pada kesempatan kali ini.

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
[1] Al Qur-an Ahkamuha wa Mashdaruhaa (hlm 11) Karya Dr. Sya’ban Muhammad Ismail

[2] Video Ta’riful Qur-anul Karim, Dr. Aiman Rusydi Suwaid dengan sedikit perubahan dan penambahan

[3] https://ahlulhadist.wordpress.com/2007/10/16/hadits-mutawatir/