Manfaat Mengingat Mati

“Perbanyaklah mengingat pemutus segala kelezatan (dunia), yakni kematian.” (HR. Ibnu Hibban dan Al-Baihaqi. Dan di-Hasan-kan oleh syeikh Al-Albani).

Keuatamaan Berinfaq Sadaqah

Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji.

Hati yang Bersih

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Lisan Cermin Seseorang

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Tathayyur

Jika mempercayai kupu2 yang masuk rumah itu akan ada tamu yang datang, atau ketika cicak berbunyi saat selesai berbicara artinya perkataannya benar, atau kepercayaan2 lain yang menyerupai hal di atas apakah digolongkan syirik ?.

Senin, 15 Agustus 2022

Sifat dan Akhlaq Imam Abu Hanifah

 بسم الله الرحمن الرحيم

Sifat dan Akhlaq Imam Abu Hanifah

Sebelum menjelaskan sifat dan akhlaq beliau, termasuk yang sangat penting adalah mengetahui guru-guru beliau juga murid-muridnya.

Imam Abu Hanifah berguru kepada banyak ulama bahkan ada yang mengatakan sampai empat ribu guru. Imam Abu Hanifah pun berjumpa dengan beberapa shahabat, dan karena itulah beliau dimasukan pada generasi Tabiin, hanya saja para ulama berbeda pendapat apakah dalam perjumpaannya itu beliau meriwayatkan hadits dari mereka atau tidak ? diantara shahabat yang pernah beliau jumpai adalah Anas bin Malik dan Abdullah bin Harits bin Jaz’u az-Zubaidi.

Diantara guru-guru beliau adalah Ibrahim an-Nakhai, Hammad bin Abi Sulaiman, Atha bin Abi Rabah, Ikrimah, Amir as-Sya’bi, dan yang lainnya.


Selanjutnya tentang murid-muridnya:

Al-Khatib al-Bagdadi menyebutkan dalam kitab Tarikhnya dengan sanadnya sampai kepada Abu Karomah, beliau berkata: Pernah aku berada di majlis Waqi bin Jarrah (guru Imam asy-Syafii), lalu seseorang berkata: ‘Abu Hanifah keliru’, lalu Waqi berkata: “Bagaimana Abu Hanifah keliru bersalah sementara bersamanya ada orang seperti Abu Yusuf , Muhammad Ibnul Hasan, dan Zufar dalam Qiyas dan Ijtihadnya, bersamanya ada Yahya bin Zakaria Ibni Abi Zaidah, Hafhs bin Gayyats, juga Hibban dan Mandal keduanya putra Ali dalam masalah hadits, bersamanya adalah al-Qasim bin Ma’an bin Abdirrahman  bin Abdillah bin Mas’ud yang ahli dalam ilmu bahasa dan Nahwu, bersamanya ada Dawud ath-Thai dan Fudhail bin Iyad dalam masalah kewara’an, bersamanya ada Abdullah Ibnul Mubarak dalam masalah Tafsir, hadits dan sejarah. Bagaimana beliau keliru sementara orang-orang seperti mereka ada di sekelilingnya, mereka semuanya memujinya, dan kalau lah keliru niscaya mereka akan meluruskannya”[1].

Imam Abu Hanifah kulitnya coklat keputih-putihan, badannya kurus dan agak tinggi dengan wajahnya yang tampan. Berbicara sangat baik dan fasih, pilih-pilih dalam berpakain dan senang memakai minyak wangi, diketahui ketika dia datang dan pergi.

Hammad putra Imam Abu Hanifah berkata: “Sungguh Abu Hanifah rahimahullah, orangnya tinggi, berkulit coklat, bagus pakaiannya[2], tampan wajahnya, indah penampilannya, banyak pakai minyak wangi yang diketahui ketika dia datang dan keluar dari rumah sebelum terlihat orangnya”[3].

Adapun terkait dengan akhlaq beliau, maka sungguh akhlaq adalah cerminan hati dan akidah seseorang. Beliau seorang ulama besar yang pernah berjumpa dengan beberapa shahabat, juga belajar dari ulama-ulama besar dari kalangan Tabiin, murid senior beliau, yakni Abu Yusuf pernah ditanya oleh Khalifah ar-Rasyid tentang akhlaq Abu Hanifah, beliau menjawab:

“Demi Allah, beliau orang yang sangat membela aturan-aturan Allah, menjauhi Ahli Dunia, sering diam banyak berfikir, dan bukan orang yang banyak ngomong. Jika beliau ditanya dan bersamanya ilmu maka beliau jawab. Aku tidak mengetahuinya – wahai Amirul Mu’minin – kecuali orang yang sangat menjaga diri dan agamanya, sibuk dengan dirinya sendiri daripada orang lain, beliau tidak pernah menyebut seseorang kecuali kebaikan”.


Lalu ar-Rasiyd berkata: “Itulah Akhlaq orang-orang shalih”[4].


Al-Muwaffaq membawakan riwayat dengan sanadnya sampai kepada Imam Ahmad bin Hanbal, al-Muwaffaq berkata, “Nama Abu Hanifah di sebutkan di hadapan Ahmad bin Hanbal, lalu beliau berkata: ‘Semoga Allah merahmatinya, beliau adalah orang yang sangat wara, dipaksa untuk menjadi hakim sampai dicampuk sebanyak 21 kali, akan tetapi beliau tetap menolaknya'"[5].


 

---------------------------------

[1] Tarikh Bagdad (14/ 250)

[2] Yakni pakaiannya bagus dan mahal, demikianlah jika kita mampu untuk membelinya maka lakukanlah.

[3] Qalaid Uqudid Durar (27-29)

[4] lihat kitab Abu Hanifah an-Nu’man Imamul Aimmah al-Fuqaha karya Wahby Sulaiman Gawiji, hal. 82

[5] Manaqib al-Muwaffaq al-Makki (2/ 148)

Manhaj dan Aqidah Imam Abu Hanifah

 بسم الله الرحمن الرحيم


Manhaj dan Akidah Imam Abu Hanifah


Bahasan tentang Manhaj dan Akidah adalah bahasan paling penting dalam sejarah hidup seorang Imam, karena dia adalah panutan para pengikut dan murid-muridnya.


Sebagaimana disampaikan sebelumnya Imam Abu Hanifah adalah seorang Imam dari para Imam Ahlus Sunnah wal Jama’ah, dan beliau meninggalkan Ilmu Kalam juga melarangnya, oleh karena itu Muhammad Ibnul Hasan – salah seorang murid beliau – pernah berkata: “Abu Hanifah senantiasa mendorong kami untuk mempelajari Fiqih dan melarang kami dari Ilmu kalam”[1].


Ibnu Abdil Barr meriwayatkan dalam kitabnya al-Intiqa, bahwa Imam Abu Hanifah berkata:


آخذ بِكِتَاب الله فمالم أَجِدْ فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عَلَيْهِ وَسلم فَمَا لَمْ أَجِدْ فِي كِتَابِ اللَّهِ ولافى سُنَّةُ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عَلَيْهِ وَسلم أَخَذْتُ بِقَوْلِ أَصْحَابِهِ آخُذُ بِقَوْلِ مَنْ شِئْتُ مِنْهُمْ وَأَدَعُ مَنْ شِئْتُ مِنْهُمْ وَلا أَخْرُجُ مِنْ قَوْلِهِمْ إِلَى قَوْلِ غَيْرِهِمْ


“Aku mengambil dari Kitabullah, jika tidak aku dapatkan maka dari Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, jika aku tidak mendapatkannya dalam Kitabullah dan Sunnah Rasulullah maka aku ambil dari perkataan shahabatnya, aku mengambil perkataan siapa saja yang aku mau diantara mereka, dan aku meninggalkan perkataan siapa saja yang aku mau diantara mereka, aku tidak keluar dari perkataan mereka menuju perkataan selain mereka”[2].


Demikianlah manhaj (cara beragama) Imam Abu Hanifah yang sangat jelas. Adapun perkataan bahwa Imam Abu Hanifah mendahulukan Qiyas daripada Nash, maka itu adalah tuduhan yang tidak disertai bukti, bahkan beliau sendiri berkata:


كذب والله وافترى علينا من يقول إننا نقدم القياس على النص وهل يحتاج بعد النص إلى القياس


“Demi Allah, dia berdusta dan mengatakan sesuatu atas nama kami tanpa bukti. Siapa yang mengatakan bahwa kami mendahulukan Qiyas di atas nash? dan apakah seseorang butuh Qiyas setelah adanya Nash?”[3].


Beliau pun berkata:


ليس لأحد أن يقول برأيه مع كتاب الله تعالى ولا مع سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم ولا مع ما أجمع عليه الصحابة


“Tidak seorang pun berbicara dengan pendapatnya sendiri sementara masalah tersebut ada dalam al-Qur’an, tidak pula sementara ada dalam Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, tidak pula sementara ada dalam kesepakatan para shahabat”[4]. 


Diantara perkara yang menunjukan akidah beliau adalah sebagai berikut:


لا ينبغي لأحد أن يدعو الله إلا به والدعاء المأذون فيه ، المأمور به ما استفيد من قوله تعالى : ولله الأسماء الحسنى فادعوه بها وذروا الذين يلحدون في أسمائه سيجزون ما كانوا يعملون


“Tidak dibenarkan bagi seseorang berdo’a kepada Allah kecuali dengan menyebut-Nya, dan do’a yang diizinkan bahkan diperintah adalah yang diambil dari firman-Nya (Hanya milik Allah asmaa-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan)”[5].


Ini masuk dalam bahasan Tauhid Uluhiyyah, yakni bahwa berdo’a hanya dibenarkan dengan menyebut nama-Nya bukan nama mahluk seperti sebagian orang yang bertawassul dengan yang sudah meninggal.


Beliau pun berkata:


لا يوصف الله تعالى بصفات المخلوقين ، وغضبه ورضاه صفتان من صفاته بلا كيف ، وهو قول أهل السنة والجماعة ، وهو يغضب ويرضى ، ولا يقال : غضبه عقوبته ، ورضاه ثوابه ، ونصفه كما وصف نفسه


“Allah ta’ala tidak disifati dengan sifat mahluk. Marah dan ridho-Nya adalah dua sifat diantara sifat-sifat-Nya tanpa kita harus menetapkan Kaifiyyah (wujud nyatanya bagi Allah), inilah pendapat Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Allah marah dan ridha, dan tidak boleh dikatakan bahwa yang dimaksud dengan marah adalah hukuman-Nya dan yang dimaksud dengan ridha adalah pahala dari-Nya, kita hanya mensifati-Nya sebagaimana Allah mensifati diri-Nya”[6].


Perkataan di atas menunjukan akidah beliau dalam masalah asma was sifat, yakni mensifati Allah sebagaimana yang Allah dan Rasul-Nya sifati tanpa mentakwil, tanpa mentasybih, tanpa menentukan kaifiyyah (wujud nyatanya bagi Allah), juga tanpa menta’thil.


Bahkan beliau pun berkata:


من قال لا أعرف ربي في السماء أم في الأرض فقد كفر ، وكذا من قال إنه على العرش ولا أدري العرش أفي السماء أم في الأرض


“Barang siapa mengatakan, aku tidak tahu Rabku apakah dia di langit atau di bumi, maka sungguh dia telah kafir. Demikian pula orang yang berkata, Allah ada di atas arasy akan tetapi aku tidak tahu dimana Arasy, apakah di langit atau di bumi”[7].


 


-----------------------------------


[1] Dzammul Kalam karya Imam al-Harawi ( 5/221)


[2] Al-Intiqa karya Imam Ibnu abdil Barr (hal. 142)


[3] Al-Mizanul Kubra karya as-Sya’rani (1/ 65)


[4] Ukudul Juman Fi Manakibil Imam al-A’zham karya Muhammad ash-Shalihi (hal. 175)


[5] Ad-Durrul Mukhtar (6/ 396)


[6] Al-Fiqhul Absath (hal 56)


[7] Al-Fiqhul Absath (46), disebutkan pula oleh ad-Dzahabi dalam kitabnya al-Uluw (101-102)


1. Muhammad Ibnul Hasan – salah seorang murid Abu Hanifah – pernah berkata: “Abu Hanifah senantiasa mendorong kami untuk mempelajari Fiqih dan melarang kami dari ..........” (Dzammul Kalam karya Imam al-Harawi, 5/221)

A. Ilmu debat

B. Ilmu aqidah

C Ilmu kalam 

D. Ilmu ushul fiqih


2. Abu Hanifah pernah berkata:

“Tidak dibenarkan bagi seseorang berdo’a kepada Allah kecuali dengan menyebut-Nya." (Ukudul Juman Fi Manakibil Imam al-A’zham karya Muhammad ash-Shalihi, hal. 175)

Perkataan beliau menjelaskan bahwa berdo’a hanya dibenarkan dengan menyebut nama Allah, bukan nama mahluk seperti sebagian orang yang bertawassul dengan orang yang sudah meninggal. Perkataan ini masuk dalam bahasan .........

A. Tauhid Rububiyyah

B Tauhid Uluhiyyah 

C. Tauhid Asma' wa Sifat

D. Semua jawaban salah


3. Abu Hanifah pernah berkata:

“Allah ta’ala tidak disifati dengan sifat mahluk. Marah dan ridho-Nya adalah dua sifat diantara sifat-sifat-Nya tanpa kita harus menetapkan Kaifiyyah (wujud nyatanya bagi Allah), inilah pendapat Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Allah marah dan ridha, dan tidak boleh dikatakan bahwa yang dimaksud dengan marah adalah hukuman-Nya dan yang dimaksud dengan ridha adalah pahala dari-Nya, kita hanya mensifati-Nya sebagaimana Allah mensifati diri-Nya” (Al-Fiqhul Absath, hal 56)

A. Tauhid Rububiyyah

B. Tauhid Uluhiyyah

C Tauhid Asma' wa Sifat 

D. Semua jawaban salah


4. Kita wajib mensifati Allah sebagaimana yang Allah dan Rasul-Nya sifati tanpa mentakwil, tanpa mentasybih, tanpa mentakyif, juga tanpa menta’thil.

Kita dilarang menta'thil sifat Allah, makna dari ta'thil adalah .........

A Meniadakan 

B. Merubah maknanya

C. Menyerupakan dengan makhluk

D. Menentukan wujud nyatanya


5. Abu Hanifah berkata:

“Barang siapa mengatakan, aku tidak tahu Rabku apakah dia di langit atau di bumi, maka sungguh dia telah ........." (Al-Fiqhul Absath, hal. 46, disebutkan pula oleh ad-Dzahabi dalam kitabnya al-Uluw, hal. 101-102)

A. Beriman

B. Bertambah imannya

C. Berkurang imannya

D Kafir