Manfaat Mengingat Mati

“Perbanyaklah mengingat pemutus segala kelezatan (dunia), yakni kematian.” (HR. Ibnu Hibban dan Al-Baihaqi. Dan di-Hasan-kan oleh syeikh Al-Albani).

Keuatamaan Berinfaq Sadaqah

Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji.

Hati yang Bersih

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Lisan Cermin Seseorang

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Tathayyur

Jika mempercayai kupu2 yang masuk rumah itu akan ada tamu yang datang, atau ketika cicak berbunyi saat selesai berbicara artinya perkataannya benar, atau kepercayaan2 lain yang menyerupai hal di atas apakah digolongkan syirik ?.

Selasa, 10 Maret 2020

Ragbah, Rahbah, dan Khusyu adalah Ibadah #1

بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين أمَّا بعد

Ikhwah di grup whatsApp Belajar Islam yang semoga dimuliakan oleh Allah subhanahu wa ta'ala, kita lanjutkan kajian kitab Tsalatsatul Ushul, kajian kali ini saya beri judul “Ragbah, Rahbah, dan Khusyu adalah Ibadah bagian 1”

Penulis rahimahullah berkata:

ودليل الرغبة والرهبة والخشوع قوله تعالى : ( إنهم كانوا يسارعون في الخيرات ويدعوننا رغبا ورهبا وكانوا لنا خاشعين )
 
“Adapun dalil Ragbah, Rahbah dan Khusyu adalah firman Allah subhanahu wa ta'ala (yang artinya):  “Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu' kepada Kami”. (QS. Al-Anbiya [21] : 90)

Penjelasan:
Penulis masih membahas tentang dalil-dalil sebagian ibadah hati, yakni Ragbah, Rahbah, dan Khusyu.
Ada beberapa faidah yang ingin saya sampaikan dari perkataan penulis di atas:

Pertama, apa itu Ragbah?
Ragbah sebagaimana disebutkan oleh Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah:

فإنَّ الرغبةَ في الشيء هي ميلُ النفس إليه لاعتقاد نفعه ، فمن حصل له رغبةٌ في شيءٍ ، حملته تلك الرغبة على طلب ذلك الشيء من كل وجه يَظُنُّه موصلاً إليه
 
“Ragbah terhadap sesuatu adalah kecenderungan jiwa kepadanya karena meyakini kemanfaatannya, dan jika ada ragbah dalam diri seseorang, maka ragbah itu mendorongnya agar berusaha untuk mendapatkannya dengan berbagai cara yang dia duga bisa mewujudkannya”.1
 
Lalu apa bedanya Ragbah (harapan) dengan Raja (harapan)?, jawabannya adalah sebagaimana dikatakan oleh Imam Ibnul Qayyim rahimahullah:

أن الرجاء طمع و الرغبة طلب فإذا قوي الطمع صار طلبا
 
“Raja itu keinginan sementara Ragbah adalah usaha (untuk mendapatkan apa yang diinginkan), ketika keinginan itu kuat, maka dia berubah menjadi usaha”.2
 
Kedua, apa itu Rahbah?
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:

وأما الرهبة فهي الإمعان في الهرب من المكروه
 
“Rahbah itu adalah fokus untuk menghindari sesuatu yang dibenci”.3
 
Jadi Rahbah itu adalah rasa takut yang mendorong seseorang meninggalkan apa yang ia takuti, ia adalah rasa takut yang disertai dengan amal (usaha).
 
Ketiga, apa itu Khusyu?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:

والخشوع:الخضوع لله تعالى,والسكون والطمأنينة إليه بالقلب والجوارح
 
“Yang dimaksud dengan khusyu adalah ketundukan kepada Allah, ketenangan di hadapan Allah dengan hati dan anggota badan”.4

Jadi khusyu itu tempatnya ada dalam hati yang buahnya tampak dalam anggota badan.
Ikhwan sekalian demikian materi yang bisa saya sampaikan, semoga bermanfaat.

Akhukum fillah,

Abu Sumayyah Beni Sarbeni
_________________________

[1] Ibnu Rajab, Abdurrahman bin Ahmad (Jamiul Ulum wal Hikam, Darul Ma’rifah, Beirut), hal. 147
[2] Ibnul Qayyim (Madarijus Salikin, Darul Kitab al-Arabi, 1973), jilid 2, hal. 56
[3] Ibnul Qayyim (Madarijus Salikin, Darul Kitab al-Arabi, 1973), jilid 1, hal. 512
[4] Syaikhul Islam, Ahmad Ibnu Abdil Halim (Majmuul Fatawa, Darul Wafa, 2005), jilid. 28, hal. 31

Tawakkal adalah Ibadah #2

بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين أمَّا بعد
Ikhwah di grup whatsApp Belajar Islam yang semoga dimuliakan oleh Allah subhanahu wa ta'ala, kita lanjutkan kajian kitab Tsalatsatul Ushul, kajian kali ini saya beri judul “Tawakkal adalah Ibadah” bagian ke-2

Pada pertemuan sebelumnya sudah saya sampaikan tentang definisi Tawakkal, adapun kali ini saya akan sampaikan macam-macam Tawakkal demikian dalil bahwasannya tawakkal adalah ibadah.


Kedua, macam-macam Tawakkal
Syaikh Utsaimin Rahimahullah dalam kitabnya Syarah Tsalatsatul Ushul berkata:

Dan ketahuilah bahwa, Tawakkal itu bermacam-macam;

(1) Bertawakkal kepada Allah subhanahu wa ta'ala, bersandar hati kepada Allah subhanahu wa ta'ala, ini merupakan kesempurnaan iman, dan tanda sidqul iman (benarnya iman), hukumnya wajib dan iman tidak sempurna kecuali dengannya.

(2) Tawakkal Sir, yakni bersanda hati kepada mayit untuk mendapatkan sesuatu yang bermanfaat atau menolak sesuatu yang buruk, ini termasuk syirik akbar (bisa mengakibatkan pelakunya keluar dari islam), karena Tawakkal seperti ini tidak akan muncul kecuali dari orang yang meyakini bahwa, mayit itu memiliki kemampuan untuk mengatur alam semesta, tidak ada bedanya apakah dia seorang Nabi, wali atau bahkan Thagut musuh Allah.

(3) Bertawakkal kepada orang lain dalam perkara yang mampu dilakukan oleh nya, akan tetapi dengan merasakan ketinggian martabat orang lain dan merasakan rendahnya martabat orang yang bertawakkal kepadanya, misalnya orang yang bersandar hati  dalam kebutuhan hidup kepada yang lainnya, ini termasuk syirik ashgar, karena kuatnya sikap bersandar hati kepada yang lain, adapun jika ia hanya bersandar dengan merasakan ia sebatas sebab, sedangkan yang mentakdirkannya adalah Allah, maka ini tidak mengapa1.

Ketiga, dalil Tawakkal merupakan Ibadah:
Penulis membawakan firman Allah subhanahu wa ta'ala berikut ini sebagai dalilnya:

وَعَلَى ٱللَّهِ فَتَوَكَّلُوٓاْ إِن كُنتُم مُّؤۡمِنِينَ

“Dan hanya kepada Allah hendaknya kalian bertawakkal, jika kalian benar-benar orang yang beriman”. (Al-Maidah [5]: 23).

Ayat di atas merupakan dalil yang menunjukan bahwa, tawakkal adalah ibadah, yakni :

(1) karena Allah subhanahu wa ta'ala memerintahkan kita untuk bertawakkal, jika perintahnya pasti tawakkal itu dicintai dan diridhai oleh Allah subhanahu wa ta'ala,

(2) karena Allah subhanahu wa ta'ala menyatakan bahwa, tawakkal itu merupakan syarat keimanan.


Dalil lainnya adalah firman Allah subhanahu wa ta'ala:

وَمَن يَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱللَّهِ فَهُوَ حَسۡبُهُۥٓۚ إِنَّ ٱللَّهَ بَٰلِغُ أَمۡرِهِۦۚ قَدۡ جَعَلَ ٱللَّهُ لِكُلِّ شَيۡءٖ قَدۡرٗا

“Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu”. (Ath-Thalaq [65]: 3)

Kalimat “niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya”, jaminan seperti ini tidak ada dalam ibadah-ibadah lainnya, maka hal itu menunjukan agungnya kedudukan Tawakkal, dan ia merupakan semulia-mulianya ibadah, maka melakukannya untuk selain Allah subhanahu wa ta'ala merupakan kesyirikan2.

Ikhwan sekalian demikian materi yang bisa saya sampaikan pada kesempatan pagi hari ini ini, semoga bermanfaat.

Akhukum fillah,
Abu Sumayyah Beni Sarbeni

______________________

 [1] Al-Utsaimin, Muhammad bin Shalih (Syarah Tsalatsatul Ushul, Dar at-Tsurayya, 2004), hal. 58-59
 [2] Ibnu Qasim, Abdurrahman bin Muhammad Al-Ashimi (Hasyiyah Tsalatsatul Ushul, Dar Azzahim, 2002), hal. 62

Wudhu

بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين أمَّا بعد

Ikhwah sekalian di grup whatsApp Belajar Islam yang semoga dimuliakan oleh Allah subhanahu wa ta'ala, kita lanjutkan kajian kitab Fiqih Muyassar, kali ini kita masih membahas Thaharah (bersuci), bab ke-5 tentang Wudhu #1, yakni tentang definisi dan hukum Wudhu, demikian pula tentang dalil diwajibkannya Wudhu, kepada siapa diwajibkannya Wudhu dan kapan diwajibkannya Wudhu?

Penulis berkata:
Masalah pertama, Definisi dan hukum Wudhu.

Wudhu secara bahasa diambil dari kata al-Wadha’ah, yang artinya indah dan bersih.
Adapun secara istilah adalah:

استعمال الماء في الأعضاء الأربعة -وهي الوجه واليدان والرأس والرجلان على صفة مخصوصة في الشرع، على وجه التعبد لله تعالى.

“Menggunakan air untuk empat anggota (wudhu), yakni wajah, kedua tangan, kepala dan kedua kaki dengan cara yang khusus di dalam syariat, dan dengan niat ibadah untuk Allah subhanahu wa ta'ala”.

Hukum wudhu adalah wajib bagi orang yang berhadats ketika dia hendak shalat dan hendak melakukan amalan yang hukumnya serupa dengan shalat, seperti Thawaf dan menyentuh mushaf. Maksudnya adalah sama sama disyariatkan untuk berwudhu terlebih dahulu.

Masalah kedua, dalil diwajibkannya Wudhu, kepada siapa diwajibkannya Wudhu dan kapan diwajibkannya Wudhu?

Diantara dalilnya adalah firman Allah subhanahu wa ta'ala:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا قُمۡتُمۡ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ فَٱغۡسِلُواْ وُجُوهَكُمۡ وَأَيۡدِيَكُمۡ إِلَى ٱلۡمَرَافِقِ وَٱمۡسَحُواْ بِرُءُوسِكُمۡ وَأَرۡجُلَكُمۡ إِلَى ٱلۡكَعۡبَيۡنِۚ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah muka kalian dan tangan kalian sampai dengan siku, dan sapulah kepala kalian dan (basuh) kaki kalian sampai dengan kedua mata kaki”. (Al-Maidah [5]: 6)

Disini Allah menggunakan kalimat perintah "apabila kalian hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah wajah kalian dan tangan kalian sampai dengan siku" dan seterusnya, dan hukum asal perintah menunjukan wajib".

Demikian pula sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam:

لا يقبل الله صلاةً بغير طُهُور، ولا صدقة من غُلُول

 “Allah subhanahu wa ta'ala tidak menerima shalat tanpa bersuci terlebih dahulu, dan Allah pun tidak menerima shadaqah dari Gulul”.1

Kemudian sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam:

لا يقبل الله صلاة من أحدث حتى يتوضأ

 “Allah subhanahu wa ta'ala tidak menerima shalat orang yang berhadats sehingga dia berwudhu terlebih dahulu”.2

Tidak dinukil adanya khilaf (perbedaan pendapat) dalam masalah di atas dari seorang muslim pun, maka disyariatkannya wudhu itu berdasarkan al-Qur’an, Sunnah, demikian pula Ijma (kesepakatan).

Kepada siapakah Wudhu itu diwajibkan? wudhu diwajibkan kepada muslim, yang balig lagi berakal ketika dia hendak melakukan shalat atau amalan yang sama hukumnya dengan shalat (amalan yang diwajibkan sebelumnya ber wudhu terlebih dahulu).

Kapan wudhu diwajibkan? Wudhu diwajibkan ketika masuk waktu shalat atau ketika ia hendak melakukan amalan yang disyariatkan wudhu untuknya, walaupun hal itu tidak berkaitan dengan waktu, seperti Thawaf dan menyentuh mushaf.

Baiklah ikhwah sekalian inilah materi yang bisa saya sampaikan semoga bisa difahami dengan baik dan bermanfaat.

Akhukum fillah,
Abu Sumayyah Beni Sarbeni
__________________________

 [1] Diriwayatkan oleh Muslim (224), Gulul adalah harta curian dari harta Ganimah.
 [2] Diriwayatkan oleh Muslim (223)

Macam-macam Sunanul Fitrah #4

بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين أمَّا بعد

Ikhwah sekalian di grup whatsApp Belajar Islam yang dimuliakan oleh Allah subhanahu wa ta'ala kita lanjutkan kajian kitab Fiqih Muyassar, kali ini kita masih membahas Thaharah (bersuci), bab ke-4 tentang Macam-macam Sunanul Fitrah bagian ke-4.

Ikhwah sekalian, pada kesempatan sebelumnya sudah saya sampaikan lima perkara yang termasuk Sunanul Fitrah dan saya kembali ingatkan bahwa yang termasuk dengan Sunanul Fitrah adalah beberapa perkara yang dicintai oleh Allah subhanahu wa ta'ala sehingga seorang muslim ada pada keadaan dan rupa yang paling indah.

Jadi sebelumnya sudah saya sampaikan lima perkara yang termasuk Sunanul Fitrah :
1. Istihdad (mencukur bulu kemaluan)
2. Khitan
3. Mencukur Kumis dan Memelihara Jenggot
4. Memotong Kuku
5. Membersihkan Bulu Ketiak

Selanjutnya penulis berkata :
"Selain lima Sunanul Fitrah di atas adalah bersiwak, menghirup air dalam hidung ketika berwudhu, berkumur-kumur dan membasuh barojim (kotoran yang ada di sela-sela jari) demikian pula isjtinja. Hal itu berdasarkan hadits Aisyah radhiyallahu ta'ala anha, beliau berkata : Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ : قَالَ رَسُوْلُاللهِ  صَلَّى اللّٰـهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : عَشْرٌ مِنَ الفِطْرَةِ : قَصُّ الشَّارِبِ، وَإعْفَاءُ اللِّحْيَةِ، وَالسِّوَاكُ، وَاسْتِنْشَاقُ الْمَاءِ، وَقَصُّ الْأظْفَارِ، وَغَسْلُ الْبَرَاجِمِ، وَنَتْفُ الْإِبْطِ، وَحَلْقُ الْعَانَةِ، وَانْتِقَاصُ الْمَاءِ  قَالَ الرَّاوِيْ : وَنَسِيْتُ الْعَاشِرَةَ ،إِلاَّ أنْ تَكُوْنَ الْمَضْمَضَةُ

"Sepuluh perkara yang termasuk fitrah: (1) mencukur kumis, (2) memelihara jenggot, (3) bersiwak, (4) menghirup air ke hidung (ketika wudhu), (5) memotong kuku, (6) membasuh kotoran yang ada pada jari jemari, (7) mencukur bulu ketiak, (8) mencukur bulu kemaluan, dan (9) istinja.’” Salah seorang perawi hadits (Mush'ab bin Syaibah) berkata, “Dan aku lupa yang kesepuluh, mungkin berkumur-kumur.” (HR. Muslim)

Ikhwah sekalian demikianlah materi yang bisa saya sampaikan.

Akhukum fillah,
Abu Sumayyah Beni Sarbeni

Rabu, 04 Maret 2020

Tawakkal adalah Ibadah #1

بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين أمَّا بعد

Ikhwah di grup whatsApp Belajar Islam yang semoga dimuliakan oleh Allah subhanahu wa ta'ala, kita lanjutkan kajian kitab Tsalatsatul Ushul, kajian kali ini saya beri judul “Tawakkal adalah Ibadah”. Penulis rahimahullahu ta'ala berkata:

ودليل التوكل قوله تعالى: {وَعَلَى اللهِ فَتَوَكَّلُوا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ}. وقال: وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ فَهُوَ حَسْبُهُ

Dalil Tawakkal adalah firman Allah subhanahu wa ta'ala (yang artinya): “Dan hanya kepada Allah hendaknya kalian bertawakkal, jika kalian benar-benar orang yang beriman”, demikian pula firman Allah subhanahu wa ta'ala (yang artinya): “Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya”.

Ikhwah sekalian, ada beberapa faidah yang ingin saya sampaikan dari perkataan penulis di atas:

Pertama, Apa itu Tawakkal ?

Tawakkal adalah sebagaimana disebutkan oleh Imam Ibnu Rajab rahimahullah:

صدقُ اعتماد القلب على الله - عز وجل - في استجلاب المصالح، ودفعِ المضارِّ من أمور الدنيا والآخرة كُلِّها

“Hati yang bersandar dengan jujur kepada Allah azza wa jalla, dalam mendapatkan kemaslahatan dan menolak keburukan, baik pada urusan dunia dan akhirat secara keseluruhan”.

Tawakkal disebut demikian jika menggabungkan dua perkara;
(1) Tafwidh (menyerahkan) seluruh urusan kepada Allah,
(2) Tidak melihat sebab setelah melakukannya.

Tafwidh dan tidak melihat sebab adalah dua amalan hati, ketika seorang mukmin telah melakukan sebab, yang merupakan bagian dari tawakkal, maka dia tidak melihatnya, hal itu karena dia tahu bahwa sebab saja tidak bisa mewujudkan apa yang ia inginkan.

Terwujudnya apa yang diinginkan itu dengan beberapa perkara, yakni
(1) Sebab,
(2) Tempat dalam diri kita yang layak,
(3) Tidak adanya perkara yang menghalangi,
(4) Adanya izin dari Allah.

Contohnya adalah obat, obat itu merupakan sebab sebagaimana diperintahkan oleh baginda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, sebab ini tidak menimbulkan kesembuhan dengan sendirinya, dia membutuhkan hal lain, yakni kondisi badan yang layak untuk menerima obat tersebut, dan tidak ada zat lain yang kontradiksi dengan obat tersebut, bahkan ada perkara lain yang lebih penting, yaitu adanya izin dari Allah subhanahu wa ta'ala bahwa obat tersebut bisa memberikan pengaruh.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:

الِالْتِفَاتُ إلَى الْأَسْبَابِ شِرْكٌ فِي التَّوْحِيدِ وَمَحْوُ الْأَسْبَابِ أَنْ تَكُونَ أَسْبَابًا نَقْصٌ فِي الْعَقْلِ وَالْإِعْرَاضُ عَنْ الْأَسْبَابِ بِالْكُلِّيَّةِ قَدْحٌ فِي الشَّرْعِ

“Melihat kepada sebab adalah syirik dalam Tauhid, menafikan sebab sebagai sebab adalah cacat dalam akal, dan berpaling dari sebab secara keseluruhan adalah cacat dalam syariat”.

Beliau pun berkata, sebagian ulama salaf berkata:

من سره أن يكون أقوى الناس فليتوكل على الله

“Barang siapa yang ingin menjadi manusia paling kuat, maka bertawakkallah kepada Allah”.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:
“Tidak akan lurus Tawakkal seorang hamba sehingga sah Tauhidnya, bahkan hakikat Tawakkal adalah hati yang bertauhid, selama dalam dirinya masih ada ikatan-ikatan yang mengandung kesyirikan maka tawakkalnya itu rusak, dan tawakkal itu sesuai dengan kadar Tauhid dalam dirinya, karena ketika seorang hamba fokus kepada selain Allah, maka sikapnya itu akan mengambil tempat dalam hati, akhirnya nilai Tawakkal itu berkurang seluas tempat yang telah diambilnya, dari sinilah sebagian orang menduga bahwa, Tawakkal itu tidak sah kecuali dengan menolak sebab. Ini benar, akan tetapi menolaknya dengan hati bukan dengan anggota badan, Tawakkal itu tidak sempurna kecuali dengan hati yang menolak sebab sementara anggota badan tetap melakukannya”. 

Tangan kita tetap bekerja tapi hati kita hanya bersandar kepada Allah rabbul 'alamin, tidak meletakan sebab sedikitpun pada hati kita yang bekerja hanyalah tangan, kaki kita, mata kita dan seterusnya, adapun hati kita kita betul-betul serahkan kepada rabbul 'alamin secara keseluruhan.

Ikhwah sekalian, demikianlah faidah pertama terkait dengan masalah tawakkal, InsyaAllah masih kita lanjutkan bahasan tentang tawakkal. Mudah-mudahan apa yang saya sampaikan bisa dipahami dengan baik.

Akhukum fillah,
Abu Sumayyah Beni Sarbeni

Roja adalah Ibadah

بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين أمَّا بعد

Ikhwah di grup whatsApp Belajar Islam yang semoga dimuliakan oleh Allah subhanahu wa ta'ala, kita lanjutkan kajian kitab Tsalatsatul Ushul, kajian kali ini saya beri judul “Roja (rasa harap) adalah Ibadah”

Penulis rahimahullah berkata:

ودليل الرجاء قوله تعالى: فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحاً وَلا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَداً

“Adapun dalil Roja adalah firman Allah subhanahu wa ta'ala: “Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabnya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada Rabnya". (QS. Al-Kahfi [18]: 110)

Penjelasan:

Roja adalah ibadah hati, hakikatnya adalah menginginkan sesuatu yang diharapkan

الطمع و الرغبة في الحصول على شيء مرجو

Harapan (roja) ini terbagi menjadi dua:
1. Jika harapan itu untuk sesuatu yang dimiliki oleh orang lain, maka ini adalah roja yang sesuai dengan tabiat, contoh: "Saya berharap anda mendengarkan apa yang saya sampaikan dengan baik". Berarti saya mengharapkan sesuatu yang mungkin anda lakukan. Ini tabiat dan tidak termasuk daripada ibadah.
2. Roja yang termasuk ibadah yaitu ketika seseorang mengharapkan dari orang lain perkara yang tidak dimiliki kecuali oleh Allah. Misalnya seseorang berharap dari yang lain kesembuhan penyakitnya padahal yang menyembuhkan penyakit hanyalah Allah, seperti yang dikatakan oleh Nabi Ibrahim 'alaihis salam :

وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ

“Dan apabila aku sakit. Dialah (Allah) yang menyembuhkanku” (QS. As Syu’araa: 80)

atau seseorang berharap dari kawannya agar kawannya memasukkan dia ke dalam surga, maka ini harapan dari seseorang pada perkara yang tidak dimiliki kecuali oleh Allah. Selanjutnya ikhwah sekalian, penulis membawakan QS. Al-Kahfi [18]: 110, sebagai dalil bahwasannya Roja merupakan bagian daripada ibadah. Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:

 فَمَن كَانَ يَرۡجُواْ لِقَآءَ رَبِّهِۦ فَلۡيَعۡمَلۡ عَمَلٗا صَٰلِحٗا وَلَا يُشۡرِكۡ بِعِبَادَةِ رَبِّهِۦٓ أَحَدَۢا 

Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabnya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Rabnya”. (QS. Al-Kahfi [18]: 110).

Jadi ayat ini merupakan pujian bagi orang yang berharap ingin berjumpa dengan Allah, karena itulah Allah subhanahu wa ta'ala setelahnya berfirman فَلۡيَعۡمَلۡ عَمَلٗا صَٰلِحٗا وَلَا يُشۡرِكۡ بِعِبَادَةِ رَبِّهِۦٓ أَحَدَۢا  maka hendaknya ia melakukan amal shalih, amal shalih adalah amal yang memenuhi dua syarat (1) Dilakukan secara ikhlash (2) Dilakukan sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.

Jadi berharap kepada Allah subhanahu wa ta'ala adalah amalan yang dicintai oleh Allah, maka ia adalah ibadah. Berharap itu bukan sebatas Tamanni (angan-angan), ia adalah keinginan yang disertai dengan amal.

Imam Ibnul Qayyim berkata:
“Pasal, diantara perkara yang mesti diketahui bahwa, orang yang mengharapkan sesuatu, maka harapannya itu harus memenuhi tiga perkara; pertama: Cinta terhadap apa yang ia harapkan, kedua: Khawatir apa yang diharapkannya itu hilang, ketiga: Berusaha untuk mendapatkannya semaksimal mungkin.

Adapun Roja (harapan) yang tidak disertai dengan tiga perkara di atas, maka itu hanyalah Amani (angan-angan), tentunya Roja (berharap) dan Amani (angan-angan) adalah dua perkara yang berbeda, setiap orang yang berharap pasti memiliki rasa takut atau khawatir, dan orang yang berjalan dengan rasa takut niscaya akan mempercepat langkahnya karena khawatir apa yang diharapkannya hilang.

Ikhwah sekalian, demikianlah materi yang bisa saya sampaikan, semoga apa yang saya sampaikan semoga apa yang saya sampaikan dipahami dengan baik dan bermanfaat.

Akhukum fillah,
Abu Sumayyah Beni Sarbeni

Hukum Mengamalkan Ilmu Tajwid

بسم الله الرحمن الرحيم
ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ ٱلَّذِيٓ أَنزَلَ عَلَىٰ عَبۡدِهِ ٱلۡكِتَٰبَ وَلَمۡ يَجۡعَل لَّهُۥ عِوَجَاۜ، والصلاة والسلام على سيدنا محمد وعلى آله وصحَابَتِه أجمعين، والتابعين لهم بإحسان إلى يوم الدين. أما بعد

Hukum Mengamalkan Ilmu Tajwid1

Para pendengar Belajar Islam di manapun anda sedang mendengarkan, seperti yang sudah saya sampaikan diakhir pembahasan mengenai lahn, pada kesempatan ini, saya akan menyampaikan mengenai hukum mengamalkan ilmu tajwid yang dimana penjelasan hukumnya sama dengan hukum lahn khafiy yang para ulama berbeda pendapat didalamnya.

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum beriltizam (komitmen dan konsisten) dengan tajwid, mereka membaginya menjadi tiga:

Pertama, hukumnya wajib.

Beberapa ulama berpendapat bahwa mengamalkan seluruh hukum tajwid adalah wajib bagi orang yang membaca Al Qur-anul Karim. Sehingga orang yang meningalkannya berdosa.

Berdasarkan perintah Allah subhanahu wa ta'ala: 

 وَرَتِّلِ ٱلۡقُرۡءَانَ تَرۡتِيلًا  ٤

“Dan bacalah Al Quran itu dengan perlahan-lahan.” (QS. Al Muzammil [73]: 4)

Yaitu maksudnya dengan tajwidnya.

Kedua, hukumnya tidak wajib.

Para ulama lainnya berpendapat bahwa tidak wajib mengamalkan hukum-hukum tajwid ketika membaca Al Qur-anul Karim. Alasannya adalah hal tersebut sangat memberatkan kaum muslimin, sedangkan Allah subhanahu wa ta'ala  berfirman

 وَمَا جَعَلَ عَلَيۡكُمۡ فِي ٱلدِّينِ مِنۡ حَرَجٖۚ   ٧٨

“Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan” (QS Al Hajj [22]: 78)

Ketiga, hukumnya antara dua pendapat di atas.

Sebagian ulama memiliki pendapat yang pertengahan dalam hal ini. Mereka memperinci hukum-hukum tajwid sebagai berikut:

1. Dari sisi makharijul huruf (tempat keluarnya huruf)

Beriltizam dengannya wajib sehingga melalaikan dan meninggalkannya haram secara mutlak. Seperti mengubah bacaan huruf ha (ح) dengan huruf (ه) atau (خ) pada  الحَمْدُ

2. Dari sisi shifatul huruf, dibagi menjadi dua:

- Sifat wajib

Apabila sifat ini berubah maka ia akan mengeluarkan huruf dari hakikatnya. Hukum beriltizam dengannya wajib, dan meninggalkannya haram secara mutlak. Seperti menebalkan huruf  ta (ت)  pada (الْمُسْتَقِيم) menjadi huruf (ط) yaitu (الْمُسْطَقِيم) . Ini tidak boleh, sehingga hukumnya wajib berkaitan dengan sifat ini.

- Sifat penghias

Adapun sifat penghias, seperti menipiskan huruf ra yang berharakat fathah dan dhammah, contohnya: (الرَّحْمَنِ الرَّحِيم) maka hukumnya terbagi menjadi dua, yaitu:

a. Apabila qiraahnya dalam rangka talaqqi (belajar langsung dari guru), maka hukumnya wajib menghindari lahn khafiy dan tidak boleh (haram) secara mutlak sengaja melakukannya walaupun tidak merusak makna, karena maqam (kedudukannya) di sini adalah maqam riwayat, sedangkan lahn khafiy merupakan kedustaan dalam riwayat.

b. Apabila qiraahnya dalam rangka tilawah biasa, maka hukumnya tidak wajib. Namun dalam hal ini terbagi menjadi dua, yaitu:

- Jika seorang qari adalah orang yang mutqin (mahir) dan mengerti hukum tajwid, maka tercela bagi dirinya membaca Al Qur-an dengan tidak memakai hukum-hukumnya.

- Jika seorang qari adalah orang awam, maka in Syaa Allah tidak mengapa, karena dia meninggalkan sifat-sifat hiasan (tazyiniyah tahsiniyyah) yang tidak mengeluarkan huruf dari tempatnya serta tidak merusak makna. Wallahu a’lam.

Demikian yang bisa disampaikan.

Akhukum fillah

Abu Fauzan

Ilmu Tajwid #2 (Lahn)

بسم الله الرحمن الرحيم

ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ ٱلَّذِيٓ أَنزَلَ عَلَىٰ عَبۡدِهِ ٱلۡكِتَٰبَ وَلَمۡ يَجۡعَل لَّهُۥ عِوَجَاۜ ، والصلاة والسلام على سيدنا محمد وعلى آله وصحَابَتِه أجمعين ، والتابعين لهم بإحسان إلى يوم الدين. أما بعد

Para pendengar Belajar Islam yang semoga Allah subhanahu wa ta’ala muliakan, setelah kemarin kita mengenal difinisi ilmu tajwid, ada pembahasan tertunda yang belum kita jelaskan secara rinci, yaitu tentang lahn.

Tidak dipungkiri ketika seseorang membaca Al Qur-an, terkadang tampak pada bacaannya, bacaan yang tidak sesuai dengan yang dicontohkan oleh para Imam ahli qiraat yang bersambung bacaannya kepada Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam.

Kesalahan seseorang ketika membaca al Qur-an itu para ulama menyebutnya dengan Lahn. Dan arti lahn secara bahasa adalah:

الْخَطَأُ وَالْمَيْلُ عَنِ الصَّوَابِ فِي الْقِرَاءَةِ

“Kesalahan dan penyimpangan dari kebenaran dalam qiraah.” (Hidayatul Qari (I/53))

Adapun menurut istilah, lahn adalah:

الْخَطَأُ يَعْرِضُ فِي تِلاَوَةِ الْقُرْآنِ فَيُخِلُّ بِقَوَاعِدِ التِّلاَوَةِ

“Kesalahan yang masuk pada tilawah Al Qur-an, sehingga merusak kaidah-kaidah tilawah.” (Hilyatut Tilawah (hlm. 152))

Lahn dibagi menjadi dua yaitu, Lahn Jaliy (kesalahan yang jelas) dan Lahn Khafiy (kesalahan yang tersembunyi),

Lahn jaliy menurut istilah adalah:

خَلَلٌ يَطْرَأُ عَلَى الأَلْفَاظِ فَيُخِلُّ بِعُرْفِ القِرَاءَةِ سَوَاءٌ أَخَلَّ بِالْمَعْنَى أَمْ لَمْ يُخِلّ

“Kesalahan yang masuk pada lafadz-lafadz sehingga merusak aturan qiraah, sama saja apakah kesalahan tersebut dapat mengubah makna atau tidak mengubahnya.”

Lahn jaliy ini kesalahannya dapat diketahui oleh kaum muslimin secara umum, dan seandainya bacaan yang salah ini diperdengarkan kepada seorang anak kecil saja maka mereka akan mengkoreksi bacaan tersebut, Contoh:

Bentuk Lafadz Arti Surat
 Merubah harakat أَنْعَمْتَ —> أَنْعَمْتُ Engkau → Aku Al Fatihah : 7
 Mengubah huruf عَسَى  —> عَصَى Harapan → Menyelisihi
 Al Fatihah : 6

Lahn ketika membaca Al Qur-an merupakan aib yang harus dihindari karena kemungkinan dapat merubah arti. Oleh karena itu, Imam al-Qurthubi dalam muqadimah tafsir-nya menyebutkan beberapa keterangan pentingnya i’rab untuk menjauhi kesalahan ketika membaca lafadz-lafadz Al Qur-an, dan berhati-hati terhadap lahn yang bisa mengubah makna ayat.

Lahn jaliy hukumnya haram secara mutlak, karena ia mengubah lafadz Al Qur-an yang dapat mengubah makna. Adapun yang awam, wajib baginya belajar. Sedangkan orang yang tidak sanggup belajar hendaknya membaca bacaan yang shalatnya sah dengannya, tidak menjadi imam, dan tidak menjahr bacaannya di majelis kaum muslimin. (Lihat Hilyatut Tilawah (hal. 153))


Syaikh Mahmud Al Hushari berkata :

“Lahn jaliy haram menurut kesepakatan kaum muslimin, pelakunya mendapat dosa apabila melakukannya dengan sengaja. Namun jika dilakukan karena lupa atau tidak tahu, maka itu tidak haram. (Ahkamu Qiraatil Qur-an (hal. 35))

Lalu, bagaimana cara memperbaiki kesalahan dari lahn jaliy tersebut? cara memperbaikinya dilakukan dengan 5 cara yaitu:

1. Mengenal makharijul huruf
2. Mengenal Sifat huruf
3. Mengenal kaifiyah (tata cara) pengucapan berharakat dan sukun
4. Mengenal kaidah-kaidah bahasa Arab
5. Talaqqi.1 (belajar langsung dari guru)

In syaa Allah pada pertemuan-pertemuan selanjutnya kita akan bahas berkaitan dengan ha-hal tersebut diatas secara rinci.

Lahn Khafiy menurut istilah adalah

خَلَلٌ يَطْرَأُ عَلَى الأَلْفَاظِ فَيُخِلُّ بِالْعُرْفِ دُونَ الْمَعْنَى

“Sebuah kesalahan yang masuk pada lafadz-lafadz sehingga merusak ‘urf (kaidah qiraah) tanpa merusak makna."

Lahn ini karena tersembunyi maka bisa diketahui hanya oleh qari yang mahir

Contoh:

Bentuk Lafadz Lahn Surah
 Tidak memanjangkan mad مِنَ السَّمَاءِ مَاءً Dibaca pendek Al Baqarah : 22
 Tidak mengikhfakan أَنْفُسَكُمْ Dibaca idzhar Al Baqarah : 44

Apabila  مِنَ السَّمَاءِ مَاءً di baca pendek, apakah akan merubah makna? Tidak akan merubah makna, demikian juga tidak akan merubah lafadz, hanya saja cara membaca yang benarnya tidak sesuai dengan para Imam qari yang bacaannya telah diakui, yaitu harus dibaca panjang.

Contoh lain, Jika seseorang membaca tanpa di ikhfakan أَنْفُسَكُمْ apakah merubah makna? Tidak, bahkan tidak merubah i’rab, akan tetapi bacaan tersebut tidak sesuai dengan kaidah tajwid yang  telah ditetapkan. Oleh Karena itu obat dari lahn khafiy ini adalah talaqqi dan musyafahah.

Tentang hukum lahn khafiy ini terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama, yakni antara yang memakruhkannya dan mengharamkannya.

Perbedaan pendapat ini kita akan bahas secara rinci didalam pembahasan hukum mengamalkan tajwid pada pertemuan yang akan datang. In Syaa Allah
Demikian yang bisa disampaikan

Akhukum fillah

Abu Fauzan

Ilmu Tajwid #1

بسم الله الرحمن الرحيم

ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ ٱلَّذِيٓ أَنزَلَ عَلَىٰ عَبۡدِهِ ٱلۡكِتَٰبَ وَلَمۡ يَجۡعَل لَّهُۥ عِوَجَاۜ، والصلاة والسلام على سيدنا محمد وعلى آله وصحَابَتِه أجمعين، والتابعين لهم بإحسان إلى يوم الدين. أما بعد

Para pendengar Belajar Islam di manapun anda berada, pada kesempatan ini kita akan memulai membahas materi kita yang utama, yaitu Ilmu Tajwid.

Menurut bahasa, tajwid sama dengan tahsin, yang berarti memperbaiki atau memperindah. Adapun
(Lihat Hidayatul Qari (I/45))

Maksud Haq huruf adalah sifat-sifat huruf yang tsabit (tetap melekat) padanya, yang tidak akan terpisah darinya. Di antaranya sifat jahr, syiddah, isti’la, ithbaq dan qalqalah.

Adapun mustahaq huruf adalah sifat-sifat huruf yang tidak tsabit padanya yang sekali-kali ada dan sekali-kali tidak ada karena sebab tertentu. Di antaranya sifat tarqiq yang muncul dari sifat istifal. Atau sifat tafkhim, yang muncul dari sifat isti’la, ikhfa, mad, qash dan lain-lain, yang dimana kesemua istilah tersebut  in Syaa Allah akan pelajari secara bertahap.

Pendengar sekalian, dari sisi ‘amaliyah (praktek), peletak dasar ilmu ini (ilmu tajwid) adalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam karena Al Qur-an turun kepada beliau dari Allah  subhanahu wa ta'ala dengan tajwid, dan sandaran dari ilmu ini adalah firman Allah subhanahu wa ta'ala:

 وَرَتِّلِ ٱلۡقُرۡءَانَ تَرۡتِيلًا  ٤

“Dan bacalah Al Quran itu dengan perlahan-lahan.” (QS. Al Muzammil [73]: 4)

Maksud ayat tersebut adalah: Hendaknya kita membaca Al Qur-an sebagaimana Allah menurunkannya yakni dengan mengeluarkan setiap huruf dari makhrajnya (tempat keluarnya) dan menyempurnakan harakatnya secara perlahan.

Tata cara membaca tersebut dapat menunjang kita untuk dapat memahami dan mentadaburi Al Qur-an, serta menguatkan hati dalam mengamalkan hukum-hukumnya. Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:

ٱلَّذِينَ ءَاتَيۡنَٰهُمُ ٱلۡكِتَٰبَ يَتۡلُونَهُۥ حَقَّ تِلَاوَتِهِۦٓ أُوْلَٰٓئِكَ يُؤۡمِنُونَ بِهِۦۗ   ١٢١

“Orang-orang yang telah Kami berikan Al Kitab kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya, mereka itu beriman kepadanya.“ (QS. Al Baqarah [2]: 121)

Imam Ibnu Katsir berkata:

“Abul Aliyah menukil perkataan Ibnu Mas’ud radiyallahu 'anhu: ‘Demi zat yang  jiwaku berada di tangan-Nya! Sesungguhnya makna haqqu tilawah adalah menghalalkan apa yang dihalalkan dalam  Al Qur-an, mengharamkan apa yang diharamkan dalam Al Qur-an, dan membaca Al Qur-an sesuai dengan apa yang diturunkan Allah subhanahu wa ta'ala yaitu dengan tajwidnya." (Tafsir Ibnu Katsir (I/243))

Kemudian dari sisi nadzhariah (teori), para ulama menjelaskan bahwa ulama yang pertama kali menulis kitab tajwid adalah Musa bin Ubaidullah bin Yahya bin Khaqan atau yang dikenal dengan nama Abu Muzahim al-Khaqani (w  325 H).

Imam Ibnul Jazari berkata:

هُوَ أَوَّلُ مَنْ صَنَّفَ فِي التَّجْوِيدِ

“Dialah orang yang pertama kali menulis tentang tajwid”

Bahkan Al Khatib berkata tentangnya:

“Abu Muzahim adalah seorang  yang  tsiqah, taat, dan berasal dari kalangan Ahlus Sunnah." (Lihat Abhats fi ‘Ilmit Tajwid (hal. 23))

Tulisannya dikenal juga dengan nama Al Qashidah Al Khaqaniyah. Pada bait ke 5 dari kashidahnya beliau berkata:

أَيَا قَارِئَ القُرْآنِ أَحْسِنْ أَدَاءَهُ       -       يُضَاعِفْ لَكَ الله ُالْجَزِيلَ مِنَ الأَجْرِ

“Wahai qari Al Qur-an, baguskanlah bacaannya, niscaya Allah melipatgandakan untukmu pahala yang banyak”

Tulisan Abu Muzahim ini sangat berpengaruh bagi perkembangan ilmu tajwid pada masanya dan masa-masa berikutnya. Terbukti setelah itu, bermunculanlah para ulama yang menulis kitab-kitab serupa seperti Abu Amr Utsman bin Sa’id ad-Dani (w  444 H), beliau menulis kitab At-Tahdid fil Itqan wat Tajwid.

Pendengar yang semoga Allah subhanahu wa ta'ala muliakan, Ilmu Tajwid memiliki Keutamaan, ia merupakan ilmu yang mulia karena berhubungan dengan Kalamullah (Al Qur-an) yang dimana pokok bahasannya adalah lafadz-lafadz Al Qur-an.

Adapun manfaat mempelajari ilmu Tajwid adalah agar qari dapat menjaga lidahnya dari lahn (kesalahan) ketika membaca Al Qur-an.
Apa itu lahn? Secara bahasa, lahn memiliki beberapa arti, tetapi yang dimaksud disini adalah:

الْخَطَأُ وَالْمَيْلُ عَنِ الصَّوَابِ فِي الْقِرَاءَةِ

“Kesalahan dan penyimpangan dari kebenaran dalam qiraah.” (Hidayatul Qari (I/53))

in Syaa Allah akan kita bahas secara panjang lebar pada pertemuan berikutnya.

Demikian yang bisa disampaikan

Akhukum fillah

Abu Fauzan