Manfaat Mengingat Mati

“Perbanyaklah mengingat pemutus segala kelezatan (dunia), yakni kematian.” (HR. Ibnu Hibban dan Al-Baihaqi. Dan di-Hasan-kan oleh syeikh Al-Albani).

Keuatamaan Berinfaq Sadaqah

Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji.

Hati yang Bersih

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Lisan Cermin Seseorang

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Tathayyur

Jika mempercayai kupu2 yang masuk rumah itu akan ada tamu yang datang, atau ketika cicak berbunyi saat selesai berbicara artinya perkataannya benar, atau kepercayaan2 lain yang menyerupai hal di atas apakah digolongkan syirik ?.

Sabtu, 26 November 2022

Muroja'ah Kitab Tsalatsatul Ushul

 Mari berlatih ! Bacalah soal-soal berikut dan jawablah dengan melihat catatan (sesuai isi pelajaran dalam audio rekaman). Kemudian tutuplah buku, dan jawablah soal-soal tersebut dari ingatan anda ! Selamat beribadah thalabul ilmi !

1. Sebutkan 4 perkara yg merupakan jalan keselamatan dan dalilnya !

2. Sebutkan "dengan ringkas" 3 perkara yg wajib diketahui dan diamalkan !

3. Apa itu hanifiyyah?

4. Apa itu tauhid? Sebutkan 2 perkara yg tidaklah terwujud tauhid kecuali dengannya! Apa itu syirik?

5. Sebutkan 3 pondasi dasar islam yg wajib diketahui, dan dalilnya apa?

6. Apa itu Rabb? Siapa Rabb anda? Apa dalilnya?

7. Bagaimana cara mengenal Allah?

8. Apa itu ibadah?

9. Apa hukum orang yg beribadah kepada selain Allah?

10. Sebutkan dengan ringkas, bagaimana hukumnya orang yg beribadah kepada selain Allah karena dia tidak tahu?

11. Sebutkan rincian meminta kepada selain Allah !

12. Sebutkan rincian takut kpd selain Allah !

13. Sebutkan hakikat agama islam dalam 3 poin !

14. "Tunduk kepada Allah dengan ketaatan" tidak akan terwujud kecuali dengan 2 perkara, sebutkan !

15. Sebutkan 3 tingkatan dalam agama islam.

Selasa, 13 September 2022

Mitslain Mutaqaribain dan Mutajanisain #3

Mitslain Mutaqaribain dan Mutajanisain #3




الحمد لله والصلاة والسلام على سيدنا محمد وعلى آله وصحَابَتِه أجمعين، والتابعين لهم بإحسان إلى يوم الدين. أما بعد
 
Para Pendengar Belajar Islam, sahabat Al Qur’an yang semoga Allah subhanahu wa ta'ala muliakan, Alhamdulillah pada pertemuan kemarin kita telah mengenal dan mempelajari tentang bab mutaqaribain. Adapun pada kesempatan kali ini biidznillahi ta’ala kita akan menuntaskan sesisa pelajaran kita, yaitu mutajanisain.
 
Penulis rahimahullah berkata:
 
أَوْ يَكــُونَا اتَّفَقَـــا فِي مَخْرَجٍ دُونَ الصَّفَــاتِ حُقِّقَا
 
“Dan apabila dua huruf bertemu, sama makhraj tetapi berbeda sifatnya.”
 
بالمُتَجَانِسَيْــنِ 
 
“Maka dinamakan mutajanisain."
 
Penjelasan:
 
Idgham mutajanisain adalah:
 
هُمَا الْحَرْفَانِ اللَّذَانِ اتَّفَقَا مَخْرَجًا وَ اخْتَلَفَا صِفَةً
 
“Dua huruf yang sama makhrajnya namun berbeda sifatnya.”1    
 
Diantara huruf-huruf yang sama makhrajnya namun berbeda sifatnya yang terdapat pada idgham mutajanisain, terbagi kedalam 3 makhraj, yaitu:
 
1. Ta (ت), Dal (د), & Tha (ط)
2. Tsa (ث), Dzal  (ذ), & Dzha (ظ)
3. Ba (ب) & Mim (م)
 
Makhraj Pertama
 
Huruf ta, dal dan tha keluar dari makhraj yang sama, yaitu punggung ujung lidah bertemu dengan pangkal gigi seri atas, akan tetapi sifat ketiganya berbeda. Berikut perbedaan sifat ketiga huruf tersebut:
 
ت   Hams, Syiddah, Istifal, Infitah
د   Jahr, Syiddah, Istifal, Infitah, qalqalah
ط   Jahr, Syiddah, Isti’la, Ithbaq, qalqalah

Untuk makhraj Ta (ت), Dal (د), & Tha (ط) idghamnya pada 4 hal. Yaitu:

1. Idgham ta (ت) pada dal (د)
 
        2أَثْقَلَت دَّعَوَا اللهَ     قَالَ قَدْ أُجِيبَت دَّعْوَتُكُمَا3
 
Untuk idgham ta ke dal hanya ada pada 2 contoh diatas4 
 
2. Idgham ta (ت) pada tha (ط)
 
5إِذْهَمَّت طَّآئِفَتَانِ     6وَدَّت طَّآئِفَةٌ   

3. Idgham dal (د) pada ta (ت)
 
    7وَمَهَّدتُّ     8قَد تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ
 
4. Idgham  tha (ط) pada ta (ت)
 
         9أَحَطتُ         10لَئِن بَسَطتَ إِلَىَّ يَدَكَ
 
Catatan:  Untuk contoh no 1,2 & 3 idghamnya kamil (sempurna) adapun no 4 idghamnya naqis (tidak sempurna).
 
Makhraj Kedua
 
Huruf tsa, dzal, dan dzha keluar dari makhraj yang sama, yaitu ujung lidah bertemu dengan ujung gigi seri atas, tetapi sifat ketiganya berbeda. Berikut perbedaan sifat ketiga huruf tersebut:
 
ث   Hams, rakhawah, istifal, infitah
ذ   Jahr, rakhawah, istifal, infitah
ظ   Jahr, rakhawah, isti’la, ithbaq


Untuk makhraj tsa (ث), dzal (ذ), & dzha (ظ) idghamnya pada 2 hal. Yaitu:

1. Idgham  tsa (ث) pada dzal (ذ)
 
11يَلْهَث ذَّلِكَ
 
2. Idgham  dzal (ذ) pada dzha (ظ)
 
12إِذظَّلَمْتُمْ

Makhraj Ketiga

Huruf mim dan ba keluar dari makhraj yang sama, yaitu asy syafatain (dua bibir), tetapi sifat keduanya berbeda. Berikut perbedaan sifat dari kedua huruf tersebut:
 
ب   Jahr, syiddah, istifal, infitah, qalqalah
م   Jahr, tawassuth, istifal, infitah


Untuk makhraj mim dan ba. Idghamnya ada pada satu hal, yaitu:

1.Idgham ba (ب) pada mim (م)
 
13ارْكَب مَّعَنَا 
 
Catatan
 
-Idgham ba pada mim dibaca ghunnah.
-Idgham ini menurut Riwayat Hafs dari jalur Syathibiyyah, Adapun menurut Riwayat Hafsh dari jalur Thayyibatun Nashr, diperbolehkan dua hal, yaitu idgham dan idzhar14
 
Kemudian, Penulis rahimahullah berkata:
 
ثُــمَّ إنْ سَكَـــنْ أَوَّلُ كّــلًّ فَالصَّغِيرَ سَمَّيَـــنْ
 
“Kemudian jika  awal semua jenis ini (Mitslain, Mutaqaribain, Mutajanisain) hurufnya sukun, maka disebut dengan Shaghir”
 
أَوْ حُــرَّكَ الحـــرَفَانِ فِي كُلًّ فَقُلْ كُــلٌّ كَبِيرٌ وَاْفْهَمَنْهُ بِالُمثُــلْ
 
“Dan jika kedua hurufnya berharakat pada semua jenis (Mitslain, Mutaqariain, Mutajanisain) maka disebut dengan Kabir dan fahamilah yang kabir itu dengan mengambil contoh (talaqqy)”
 
Sahabat Al-Qur’an sekalian, sebagaimana kita ketahui bahwa Idgham shaghir adalah:
 
أَنْ يَكُوْنَ الْحَرْفُ الأَوَّلُ مِنْهُمَا سَاكِنًا وَ الثَّانِي مُتَحَرِّكًا
 
“Huruf pertama sukun dan huruf kedua berharakat”
 
Maka contoh dari Idgham mutajanisain shaghir ini adalah:
 
15إِذْهَمَّت طَّآئِفَتَانِ  16قَد تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ 

Adapun Idgham Kabir pada Riwayat hafsh dari jalur Syathibiyyah tidak ada periwayatannya.

Demikianlah akhir penjelasan singkat mengenai bab mitslain, mutaqaribain dan mutajanisain dari matan tuhfatul athfal ini.

Akhukum fillah
Abu Fauzan


[1] Shafaatu min ‘Ulumil Qur’an wa Tajwid (hal. 280) dan Tajwid lengkap (hal. 304)
[2] QS. Al A’raf 7 : 189
[3] QS. Yunus 10 : 89
[4] Taisir Ilmit Tajwid (hal 71) & Tajwid Lengkap (hal. 302)
[5] QS. Ali Imran 3 : 122
[6] QS. Ali Imran 3 : 69
[7] QS. Al Mudatstsir 74 : 14
[8] QS. Al Baqarah 2 : 256
[9] QS. An Naml 27 : 22
[10] QS. Al Maidah 5 : 28
[11] QS. Al A’raf 7 : 176
[12] QS. Az Zukhruf 43 : 39
[13] QS. Hud 11 : 42
[14] Lihat Taisir Ilmit Tajwid (hal. 72) & Tajwid Lengkap (hal. 303)
[15] QS. Ali Imran 3 : 122
[16] QS. Al Baqarah 2 : 256

 

Bilangan Shalat Wajib dan Syarat Wajib Shalat

 Bilangan Shalat Wajib dan Syarat Wajib Shalat


السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه وَمَنْ وَالاَهُ. أمَّا بعد
 
Saudara sekalian di grup whatsapp Belajar Islam yang semoga dimuliakan oleh Allah rabbul 'alamin, kita lanjutkan kembali kajian kitab Al Fiqhul Muyassar. Kali ini kita akan membahas tentang dua perkara, yaitu bilangan shalat wajib dan syarat wajib shalat.
 
Pembahasan Pertama: Bilangan shalat wajib
 
Shalat wajib dalam sehari semalam itu ada lima: Shalat Fajar (Subuh), Zuhur, Ashar, Magrib dan Isya. Ini adalah perkara yang disepakati.
 
Diantara dalilnya adalah hadits Thalhah bin Ubaidillah, dalam hadits tersebut diceritakan bahwa seorang Arab Baduy bertanya kepada baginda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam: “Wahai Rasulullah shalat apa saja yang diwajibkan atasku?” jawaban Nabi:
 
خَمْسُ صَلَوَاتٍ فِي الْيَوْمِ وَاللَّيْلَةِ
 
“Lima kali shalat dalam sehari semalam” (Shahih, HR. Muslim)
 
Demikian diantara dalilnya adalah hadits yang bersumber dari Shahabat Anas bin Malik radhiallahu ta'ala anhu tentang kisah orang pedalaman dan perkataannya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam:
 
“'Utusanmu mengatakan bahwa, wajib atas kami melakukan shalat dalam sehari semalam sebanyak 5 kali ?' jawaban Nabi: 'Benar apa yang dikatakannya'.” (HR. Muslim)
 
Pembahasan kedua: Kepada siapakah shalat itu diwajibkan?1
 
Shalat itu wajib atas setiap muslim yang balig lagi berakal, demikian pula bukan seorang wanita yang sedang haid atau nifas.
 
Jika seorang anak telah mencapai usia tujuh tahun maka dia diperintahkan untuk melakukan shalat, dan jika mencapai usia sepuluh tahun maka dipukul (sehingga dia shalat), hal itu berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam:
 
مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ لِسَبْعٍ، وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا لِعَشْرٍ، وفَرِّقوا بَيْنَهُمْ فيِ الْمَضَاجِعِ
 
“Perintahkanlah anak-anak kalian untuk melakukan shalat setelah usia tujuh tahun, dan pukullah mereka agar melakukan shalat setelah usia sepuluh tahun, dan pisahkanlah mereka di tempat tidur”2
 
Jadi, setelah anak berusia sepuluh tahun, jangan campur ketika di tempat tidur.
 
Adapun dalil tentang syarat wajib tadi, adalah sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam:
 
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ
 
"Qalam itu diangkat dari tiga orang (tidak ada kewajiban),"
 
Lalu disebutkan diantaranya:
 
وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ
 
"Dan dari anak kecil sehingga dia balig."
 
Selanjutnya ada sedikit faidah dari hadits yang memerintahkan agar orang tua memukul anaknya setelah memasuki usia sepuluh tahun, hadits ini diriwayatkan oleh imam Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi dan hadits ini hasan. Sedikit catatan terkait dengan ilmu pendidikan.
 
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah dalam kitabnya Syarah Riyadus Shalihin, beliu berkata:
 
وفي هذا الحديث إشارة إلى أن ما ذهب إليه بعض المتأخرين ممن يدّعون أنهم أصحاب تربية من أن الصغار لا يضربون في المدارس إذا أهملوا، ففي هذا الحديث الرد عليهم، وهو دليل على بطلان فكرتهم، وأنها غير صحيحة؛ لأن بعض الصغار لا ينفعهم الكلام في الغالب، لكن الضرب ينفعهم أكثر، فلو أنهم تركوا بدون ضرب؛ لضيّعوا الواجب عليهم، وفرّطوا في الدروس وأهملوا، فلابد من ضربهم ليعتادوا النظام، ويقوموا بما ينبغي أن يقوموا به، وإلا لصارت المسألة فوضى
 
"Dalam hadits di atas ada isyarat, bahwa pendapat sebagian mutaakhhirin (orang-orang terakhir) dari kalangan orang yang mengaku sebagai ahli pendidikan, yakni pendapat mereka bahwa anak kecil ketika lalai di sekolah itu tidak boleh dipukul."
 
"Maka hadits ini merupakan bantahan bagi mereka dan bukti atas kebatilan pendapat mereka, karena anak kecil biasanya jika sebatas ucapan itu tidak bermanfaat bagi mereka, akan tetapi pukulan itu lebih bermanfaat bagi mereka (menjadikan mereka jera dan menurut)."
 
"Seandainya mereka ditinggalkan begitu saja tanpa dipukul, niscaya mereka akan melalaikan kewajiban-kewajiban atas mereka. Mereka lalai dalam pelajaran, maka hendaklah mereka juga dipukul agar terbiasa dengan aturan dan mereka menuanaikan kewajiban dengan semestinya, jika tidak demikian masalahnya akan kacau."
 
Tapi tentunya pukulan tersebut ada syarat-syaratnya diantaranya adalah: jangan memukul wajah, kemudian pukulannya tidak menjadikan badan memar dan seterusnya.
 
Intinya dalam haidts yang memerintahkan orang tua untuk memukul anak anaknya setelah usia sepuluh tahun ada isyarat tentang batilnya perkataan sebagian ahli pendidikan yang mengatakan bahwa "Anak tidak boleh dipukul secara mutlak".
 
Para pendengar yang dimuliakan Allah rabbul 'alamin, semoga materi yang saya sampaikan ini bermanfaat.

Akhukum filllah
Abu Sumayyah Beni Sarbeni

وَالسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

[1] Dalam istilah ulama fiqih hal ini disebut dengan Syarat Wajib Shalat, dimana jika perkara-perkara tersebut terpenuhi pada seorang hamba maka wajib atasnya melakukan shalat.

[2] Diriwayatkan oleh Ahmad (3/ 201), Abu Dawud (494), at-Tirmidzi (407), dan beliau berkata: “Hadits Hasan”, dishahihkan oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak (1/ 201) dan dishahihkan oleh al-Albani (al-Irwa no. 247).

 

Waktu-Waktu Shalat #3

 Waktu-Waktu Shalat #3


السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه وَمَنْ وَالاَهُ. أمَّا بعد
 
Saudara sekalian di grup whatsapp Belajar Islam yang semoga dimuliakan oleh Allah rabbul 'alamin, kita lanjutkan kajian kitab Al Fiqhul Muyassar), masih membahas tentang waktu-waktu shalat.
 
Sebelumnya sudah saya sampaikan waktu shalat dzuhur dan ashar, kali ini bagian yang ketiga adalah waktu shalat maghrib.
 
3. Waktu shalat maghrib
 
Adapun waktu shalat Magrib adalah dari terbenamnya matahari sampai hilangnya warna kemerahan (mega) di Ufuk barat, hal itu berdasarkan sabda Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam:
 
وَوَقْتُ صَلاَةِ الْمَغْرِبِ مَا لَمْ يَغِبِ الشَّفَقُ
 
“Dan waktu shalat magrib adalah selama mega merah belum terbenam.”
 
Artinya jika sudah terbenam maka berakhirlah waktu shalat maghrib.
 
Faidah selanjutnya, untuk shalat maghrib ini ditekankan secara khusus untuk dilakukan di awal waktu.
 
Penulis berkata: Dan disunnahkan melakukannya di awal waktu (walaupun secara umum shalat fardu ini pada asalnya diutamakan di awal waktu). Hal itu berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
 
لاَ تَزَالُ أُمَّتَي بِخَيْرٍ مَا لَمْ يُؤَخِّرُوا الْمَغْرِبَ حَتَّى تَشْتَبِكَ النُّجُوْمُ
 
“Ummatku senantiasa ada dalam kebaikan selama mereka tidak mengakhirkan shalat magrib, yakni sehingga bintang-bintang yang banyak bermunculan.”1
 
Ini menunjukkan anjuran untuk melakukan shalat maghrib di awal waktu.
 
Kecuali pada malam di Muzdalifah bagi orang yang menunaikan haji, disunnahkan baginya untuk mengakhirkan shalat maghrib bahkan dijamak dengan Isya (Jamak ta’khir).
 
4. Waktu shalat Isya
 
Adapun shalat Isya, maka waktunya dimulai semenjak hilangnya mega merah di ufuk sampai pertengahan malam, hal itu berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
 
وَوَقْتُ صَلاَةِ الْعِشَاءِ إِلَى نِصْفِ اللَّيْلِ الْأَوْسَطِ
 
“Dan waktu shalat Isya hingga separuh malam yang tengah” 2  
 
Dianjurkan mengakhirkan shalat isya sampai akhir waktu (yakni pertengahan malam) selama tidak menyulitkan, dimakruhkan tidur sebelum Isya juga dimakrukan berbincang-bincang setelah Isya tanpa ada kebutuhan, hal itu berdasarkan hadits Abu Barzah radhiallahu ta'ala anhu:
 
أَنَّ رَسُوْلَ الله - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - كَانَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَ الْعِشَاءِ، وَالْحَدِيْثَ بَعْدَهَا
 
“Sungguh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci tidur sebelum Isya dan bincang-bincang setelahnya.” (HR. al-Bukhari no.568, dan Muslim no.647)
 
5. Waktu shalat subuh
Adapun waktu shalat subuh (fajar) adalah dari terbit fajar yang kedua (fajar shadiq), sampai terbit matahari dan dianjurkan menyegerakan shalat subuh jika diyakini bahwa fajar shadiq telah terbit.
 
Saudara sekalian yang dimuliakan oleh Allah rabbul 'alamin, inilah waktu-waktu yang disyariatkan untuk menunaikan shalat fardhu yang lima, maka wajib bagi setiap muslim untuk menjaganya jangan sampai seseorang melakukan shalat di luar waktu, karena Allah subhanahu wa ta’ala mengancam orang demikian, Allah rabbul 'alamin menegaskan:
 
فَوَيۡلُ لِّلۡمُصَلِّينَ ٱلَّذِينَ هُمۡ عَن صَلَاتِهِمۡ سَاهُونَ  
 
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.” (QS. Al-Maun [107]: 4-5)
 
Dalam ayat lainnya Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:
 
فَخَلَفَ مِنۢ بَعۡدِهِمۡ خَلۡفٌ أَضَاعُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَٱتَّبَعُواْ ٱلشَّهَوَٰتِۖ فَسَوۡفَ يَلۡقَوۡنَ غَيًّا  
 
“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan mengikuti hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan.” (QS. Maryam [19]: 59)
 
Al-Gayy yang ada pada ayat di atas maksudnya adzab yang pedih lagi berlipat-lipat dan keburukan dalam neraka Jahannam, hanya kepada Allah kita memohon perlindungan.
 
Selanjutnya fadidah yang juga sangat penting, bahwa melakukan shalat di awal waktu adalah amal yang paling utama dan paling dicintai, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah ditanya: “Amal apakah yang paling dicintai Allah? lalu beliau menjawab: “Shalat di awal waktu.”3
 
Jadi, seutama-utama amal adalah shalat di awal waktu, dikecualikan dari hadits ini adalah shalat dzuhur ketika sangat panas maka dianjurkan untuk diakhirkan sampai teduh yaitu menjelang ashar, demikia pula shalat isya jika tidak masyaqqah (ada kesulitan) untuk diakhirkan.
 
Saudara sekalian yang dimuliakan oleh Allah rabbuh 'alamin, demikianlah bahawan tentang waktu-waktu shalat fardhu. Semoga apa yang saya sampaikan dipahami dengan baik dan tentunya bermanfaat.

Akhukum fillah,
Abu Sumayyah Beni Sarbeni

وَالسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

[1] Diriwayatkan oleh Ahmad (4/ 174), Abu Dawud (no. 418), dan al-Hakim (1/ 190-191), beliau menshahihkannya dengan syarat Muslim, dan disepakati oleh ad-Dzahabi.

[2] Kalimat al-Ausath (yang tengah), maksudnya malam yang pertengahan,panjangnya malam kadang berbeda-beda, maka panjang malam  yang pertengahan itu sekitar 12 jam. Oleh karena itu pertengahan malam yang dimaksud adalah 6 jam setelah masuknya waktu magrib.

[3] Muttafaq alaihi, diriwayatkan oleh al-Bukhari (527), dan Muslim (139)

Waktu-Waktu Shalat #2

 Waktu-Waktu Shalat #2


السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه وَمَنْ وَالاَهُ. أمَّا بعد
 
Saudara sekalian yang dimuliakan oleh Allah rabbul 'alamin, kita lanjutkan kajian kitab Al Fiqhul Muyassar (fiqih praktis), yang kali ini kita akan membahas tentang waktu-waktu shalat (shalat fardu).
 
Bab Ketiga : Tentang Waktu-waktu Shalat

Shalat yang wajib itu sebanyak lima kali dalam sehari semalam, masing-masing dari shalat tersebut memiliki waktu yang telah ditentukan didalam syariat, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
 
إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ كَانَتۡ عَلَى ٱلۡمُؤۡمِنِينَ كِتَٰبًا مَّوۡقُوتًا  ١٠٣

“Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisa [4]: 103)
 
Maksudnya shalat itu merupakan kefardhuan (kewajiban) yang telah ditetapkan waktu-waktunya, maka tidak sah dilakukan sebelum masuk waktunya.
 
Di antara dalil yang paling utama membahas tentang waktu-waktu shalat, yaitu hadits yang dibawakan oleh Shahabat yang mulia Abdullah bin Umar radhiallahu anhu, kata beliau:

Sungguh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
 
وَقْتُ الظُّهْرِ إِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ وَكَانَ ظِلُّ الرَّجُلِ كَطُوْلِهِ مَا لَمْ يَحْضُرِ الْعَصْرُ، وَوَقْتُ الْعَصْرِ مَا لَمْ تَصْفَرِ الشَّمْسُ، وَوَقْتُ صَلاَةِ الْمَغْرِبِ مَا لَمْ يَغِبِ الشَّفَقُ، وَوَقْتُ صَلاَةِ الْعِشَاءِ إِلَى نِصْفِ اللَّيْلِ الْأَوْسَطِ، وَوَقْتُ صَلاَةِ الصُّبْحِ مِنْ طُلُوْعِ الْفَجْرِ مَا لَمْ تَطْلُعِ الشَّمْسُ
 
“Waktu shalat zuhur adalah ketika matahari tergelincir sampai bayangan benda seperti tingginya, yakni selama belum masuk waktu shalat ashar, waktu shalat ashar adalah selama matahari belum menguning, waktu shalat magrib adalah selama mega merah belum terbenam, waktu shalat Isya hingga separuh malam yang tengah, dan waktu shalah subuh dari mulia terbitnya fajar sampai sebelum matahari terbit.” (HR. Muslim no. 216)
 
Saudara sekalian yang dimuliakan Allah rabbul 'alamin, mari kita rinci satu-persatu.
 
1. Waktu shalat dzuhur

Jadi, waktu shalat zuhur dimulai dengan Zawalus Syamsi, artinya tergelincirnya matahari dari tengah-tengah langit ke arah barat, dan berlangsung sampai bayangan benda setinggi aslinya,
 
Kemudian dianjurkan melakukan shalat dzuhur di awal waktu kecuali jika cuaca sangat panas, maka dianjurkan mengakhirkannya sehingga cuaca lebih teduh yang disebut dengan Ibrad sehingga cuaca teduh yakni menjelang ashar,
 
Hal itu berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
 
إِذَا اشْتَدَّ الْحَرُّ فَأَبْرِدُوا بِالصَّلاَةِ فَإِنَّ شِدَّة الْحَرِّ مِنْ فَيْحِ جَهَنَّمَ
 
“Jika cuaca sangat panas, maka akhirkanlah shalat zuhur (sampai cuacanya teduh), karena sungguh keadaan yang sangat panas adalah semburan panas neraka Jahannam” (HR. Bukhari no. 615, dan Muslim no. 533-534)
 
2. Waktu shalat ashar
 
Adapun waktu shalat Ashar dimulai dari berakhirnya waktu shalat Zuhur, yakni ketika bayangan benda sama dengan tinggi aslinya, dan berakhir dengan terbenamnya matahari, atau berakhir dengan berakhirnya  Isfirar (menguningnya matahari),
 

Dalam madzhab syafi'iyyah waktu shalat ashar itu terbagi menjadi dua, ada waktu ikhtiar, ada waktu idtirar.
 
Waktu ikhtiar, waktu yang seseorang diperbolehkan untuk melakukan shalat ashar, adapun waktu idtirar yaitu waktu darurat seseorang melakukan shalat ashar.
 
Waktu ikhtiar diawali dari berakhirnya waktu shalat dzuhur yaitu bayangan sesuai dengan tinggi bendanya sampai awal wakti isfirar (menguningnya matahari).1
 
Adapun ketika matahari sudah menguning seperti itu sampai terbenamnya matahari, itu disebut waktu idtirar (darurat), yang asalnya tidak boleh seseorang melakukan shalat ashar diwaktu tersebut kecuali dalam keadaan darurat.
 
Kemudain dianjurkan melakukan shalat ashar di awal waktu, ialah yang dimaksud dengan Shalat Wustha yang sangat ditegaskan di dalam Al-Qur’an untuk dijaga, Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:
 
حَٰفِظُواْ عَلَى ٱلصَّلَوَٰتِ وَٱلصَّلَوٰةِ ٱلۡوُسۡطَىٰ وَقُومُواْ لِلَّهِ قَٰنِتِينَ  
 
“Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu." (QS. Al-Baqarah [2]: 238)
 
Baginda Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam pun memerintahkan kita untuk menjaga shalat ashar ini, beliau bersabda:
 
مَنْ فَاتَتْهُ صَلاَةُ الْعَصْرِ فَكَأَنَّمَا وُترَ أَهْلُهُ وَمَالُهُ

“Barang siapa yang tertinggal menunaikan shalat Ashar, maka seolah-olah berkurang keluarga dan hartanya” (HR.  al-Bukhari (552), dan Muslim (626) dengan lafazh dalam riwayat Muslim)
 
Dalam hadits lainnya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
 
مَنْ تَرَكَ صَلاَةَ الْعَصْرِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ
 
“Barang siapa meninggalkan shalat Ashar maka hancurlah amalnya.” (HR.  al-Bukhari no.553)
 
Saudara sekalian yang dimuliakan oleh Allah rabbul 'alamin demikianlah bahasan pertama tentang waktu-waktu shalat, dan besok kita masih membahas tentang waktu-waktu shalat.

Semoga bisa dipahami dengan baik dan tentunya bermanfaat.
 
Akhukum fillah
Abu Sumayyah Beni Sarbeni

[1] Yakni waktu dimana warna matahari mulai berubah tidak capek dilihat mata, dan terlihat ada warna kuning di bumi dan dinding-dinding, ia adalah waktu dimana matahari hendak terbenam.

 

Waktu-Waktu Shalat #1

 Waktu-Waktu Shalat #1


السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
الحمد لله حمدا كثيرا طيبا مباركا فيه  كما يحب ربنا ويرضى، أشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له و أشهد وأن محمدا عبده ورسوله
 
Saudara sekalian di grup whatsapp Belajar Islam, yang semoga dimuliakan oleh Allah rabbul 'alamin, kita lanjutkan kajian kitab Al Fiqhul Muyassar, kali ini saya membahas tentang waktu-waktu shalat #1.
 
Penulis berkata: Bab Ketiga; Tentang Waktu-waktu Shalat.
 
Saudara sekalian, shalat wajib dalam sehari semalam itu ada lima kali1, dan masing-masing dari shalat tersebut memiliki waktu yang telah ditentukan oleh syariat, Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
 
إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ كَانَتۡ عَلَى ٱلۡمُؤۡمِنِينَ كِتَٰبًا مَّوۡقُوتًا  ١٠٣
 
“Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu (kewajiban) yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisa [4]: 103)
 
Maksudnya shalat itu adalah kefardhuan (kewajiban) yang telah ditetapkan waktu-waktunya, maka tidak sah dilakukan sebelum masuk waktunya atau setelah waktu itu berlalu.
 
Dalil waktu-waktu tersebut, paling utama adalah hadits Abdullah ibnu Umar radhiallahu ta'ala anhuma, sungguh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
 
وَقْتُ الظُّهْرِ إِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ وَكَانَ ظِلُّ الرَّجُلِ كَطُوْلِهِ مَا لَمْ يَحْضُرِ الْعَصْرُ، وَوَقْتُ الْعَصْرِ مَا لَمْ تَصْفَرِ الشَّمْسُ، وَوَقْتُ صَلاَةِ الْمَغْرِبِ مَا لَمْ يَغِبِ الشَّفَقُ، وَوَقْتُ صَلاَةِ الْعِشَاءِ إِلَى نِصْفِ اللَّيْلِ الْأَوْسَطِ، وَوَقْتُ صَلاَةِ الصُّبْحِ مِنْ طُلُوْعِ الْفَجْرِ مَا لَمْ تَطْلُعِ الشَّمْسُ

“Waktu shalat zuhur adalah ketika matahari tergelincir2 sampai bayangan benda seperti tingginya, yakni selama belum masuk waktu shalat ashar, waktu shalat ashar adalah selama matahari belum menguning, waktu shalat magrib adalah selama mega belum terbenam, waktu shalat Isya hingga separuh malam yang tengah, dan waktu shalah subuh dari mulia terbitnya fajar sampai sebelum matahari terbit.” (HR. Muslim no.216)

Yang dimaksud dengan separuh malam yang tengah adalah:

Kalau malam kita hitung dari jam 6 sampai jam 4, berarti ada 10 jam. Lalu kita bagi dua, jadi masuk jam 12 itu sudah berakhir waktu shalat Isya.

InsyaAllah waktu-waktu ini akan kita bahas secara rinci pada tempatnya.

Saudara sekalalian yang dimuliakan oleh Allah rabbul 'alamin, demikianlah materi pertama tentang waktu-waktu shalat.

Akhukum fillah
Abu Sumayyah Beni Sarbeni

[1] Shalat Dzuhur, Ashar, Maghrib, Isya dan Subuh
[2] Condong ke arah barat

 

Bacaan Bagi Orang yang Mendengarkan Adzan

 Bacaan Bagi Orang yang Mendengarkan Adzan


السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه وَمَنْ وَالاَهُ. أمَّا بعد
 
Saudara sekalian di grup whatsapp Belajar Islam, yang semoga dimuliakan oleh Allah rabbul 'alamin, kita lanjutkan kajian kitab Al Fiqhul Muyassar, kali ini saya akan membahas tentang bacaan orang yang mendengarkan adzan.
 
Penulis berkata:
 
Pembahasan kelima; Apa yang dibaca oleh orang yang mendengarkan adzan dan doa setelahnya?
 
Orang yang mendengarkan adzan dianjurkan untuk mengatakan apa yang dikatakan oleh seorang muadzin hal itu berdasarkan hadits Sa'id, sungguh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
 
إِذَا سَمِعْتُمُ النِّدَاءَ فَقُوْلُوْا مِثْلَ مَا يَقُوْلُ الْمُؤَذِّنُ
 
"Jika kalian mendengar adzan, maka ucapkanlah seperti yang diucapkan oleh seorang muadzin." (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim)
 
Kecuali dalam hay’alatain, yaitu ucapan:
 
حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ  dan  حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ
 
Pada ucapan tersebut dianjurkan untuk membaca:
 
لاَ حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ
 
Hal itu berdasarkan hadits Umar ibnul Khattab radhiallahu ta'ala 'anhu yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim.
 
Demikian pula pada shalat subuh, setelah seorang muadzin membaca:
 
اَلصَّلاَةُ خَيْرٌ مِّنَ النَّوْمِ
 
Maka yang mendengarnya pun membacakan kalimat tersebut (seperti yang dikatakan oleh muadzin).
 
Dan semua ini tidak disunnahkan dalam iqamat (berlaku hanya pada adzan).
 
Kemudian setelah adzan, seseorang datang bershalawat pada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam :
 
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلٰى مُحَمَّدٍ وَعَلٰى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلٰى إِبْرَاهِيْمَ  إِنَّكَ حَمِيْدُ مَجِيْدٌ. وَ بَارِكْ عَلٰى مُحَمَّدٍ وَعَلٰى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلى  إِبْرَاهِيْمَ وَعَلى إِبْرَاهِيْمَ فِيْ الْعَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدُ مَجِيْدٌ
 
Bershalawat denga shalawat ibrahimiyah, seperti yang kita baca ketika tasyahud, kemudian setelah bershalawat membaca doa berikut:
 
اللُّهَمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ وَالصَّلاَةِ الْقَائِمَةِ، آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيْلَةَ وَالْفَضِيْلَةَ، وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُوْدًا الَّذِيْ وَعَدْتَهُ
 
"Ya Allah, pemilik seruan yang sempurna ini dan shalat yang ditegakkan, anugrahkanlah kepada Nabi Muhammad wasilah (kedudukan yang tinggi di surga), dan keutamaan melebihi seluruh makhluk, dan bangkitkanlah beliau dalam kedudukan terpuji (memberi syafaat) yang telah engkau janjikan."

Saudara sekalian yang dimuliakan oleh Allah rabbul 'alamin, demikianlah materi yang bisa saya sampaikan, semoga bermanfaat.

Akhukum fillah
Abu Sumayyah Beni Sarbeni

Lafadz Adzan & Iqamat

 Lafadz Adzan & Iqamat


السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه وَمَنْ وَالاَهُ. أمَّا بعد
 
Saudara sekalian di grup whatsapp Belajar Islam, yang semoga dimuliakan oleh Allah rabbul 'alamin, kita lanjutkan kajian kitab Al Fiqhul Muyassar, kali ini bahasan tentang kalimat atau lafadz Adzan dan Iqamat.
 
Penulis berkata:
 
Pembahasan keempat; Kalimat Adzan dan Iqamah.
 
Kalimat Adzan dan Iqamah memiliki beberapa cara sebagaimana dijelaskan dalam hadits-hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, diantaranya adalah yang dijelaskan dalam hadits Abi Mahdzurah,
 
Baginda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengajarkan adzan kepadanya secara langsung, kata Nabi:
 
“Ucapkanlah!
 
،الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر
،أشهد أن لا إله إلا الله، أشهد أن لا إله إلا الله
،أشهد أن محمداً رسول الله، أشهد أن محمداً رسول الله
،حَيَّ على الصلاة، حَيَّ على الصلاة
،حَيَّ على الفلاح، حَيَّ على الفلاح
1.الله أكبر، الله أكبر، لا إله إلا الله  
 
Itulah kalimat-kalimat adzan, jadi ungkapan:
 
.الله أكبر، الله أكبر
 
itu dianggap satu kali.
 
Sementara dalam adzan diungkapkan
 
.الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر

Nah itu dua kali atau genap.
 
Adapun kalimat Iqamah adalah sebagai berikut:
 
،الله أكبر، الله أكبر
،أشهد أن لا إله إلا الله
،أشهد أن محمداً رسول الله
،حَيَّ على الصلاة، حَيَّ على الفلاح
،قد قامت الصلاة، قد قامت الصلاة
.الله أكبر، الله أكبر، لا إله إلا الله
 
Hal itu berdasarkan hadits Anas radhiallahu ta'ala anhu, beliau berkata:
 
“Bilal memerintahkan agar adzan itu genap sementara Iqamah itu ganjil kecuali bacaan (قد قامت الصلاة).”2
 
Dalam Adzan
 
.الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر
 
Nah itu dua, jadi genap.
 
Sementara dalam Iqamat:
 
.الله أكبر، الله أكبر
 
Ini ganjil, jadi iqamat setengah dari adzan.
 
Dalam Iqamat ini satu kali atau ganjil kecuali bacaan  
 
قد قامت الصلاة قد قامت الصلاة

Walhasil kalimat adzan itu dua kali dua kali, sementara Iqamah satu kali satu kali, kecuali bacaan (قد قامت الصلاة) yang dibaca dua kali berdasarkan hadits di atas.
 
Saudara sekalian, inilah kalimat-kalimat adzan yang dianjurkan, hal itu karena Bilal membacanya ketika adzan baik dalam keadaan safar atau pun tidak bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sampai beliau wafat.
 
Dan jika seseorang melakukan Tarji3 dalam adzan atau menggenapkan Iqamah4 maka tidak masalah, karena hal itu termasuk perbedaan yang diperbolehkan.
 
Penulis mengatakan tidak mengapa melakukan hal itu, seperti dilakuakan dibeberapa negara, misalnya Turki (Iqamatnya seperti adzan).
 
Dan dianjurkan pada adzan subuh setelah kalimat (حَيَّ على الفلاح) untuk mengucapkan (الصلاة خير من النوم) sebanyak dua kali5, hal itu berdasarkan riwayat Abu Mahdzurah, sungguh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepadanya:
 
“Jika adzan subuh maka kamu mengucapkan (الصلاة خير من النوم).”6   
 
Sauara sekalian yang dimuliakan oleh Allah rabbul 'alamin, demikianlah materi yang bisa saya sampaikan, semoga bermanfaat.
 
Akhukum fillah
Abu Sumayyah Beni Sarbeni

[1] Diriwayatkan oleh Abu Dawud (503), dan Ibnu Majah (708), dishahihkan oleh al-Albani (Shahih Sunan Abi Dawud, no. 581)

[2] Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 605), dan Muslim (no. 378) dan ini adalah redaksi dalam riwayat al-Bukhari.

[3] Tarji secara bahasa artinya mengulang, maksudnya membaca dua kalimat syahadat dengan pelan terlebih dahulu, kemudian mengulangnya lagi dengan suara keras.

[4] Yakni membaca Iqamat seperti Adzan, ini adalah pendapat ulama-ulama Hanafiyyah.

[5] Para Ulama menyebutnya dengan Tatswib, secara Bahasa artinya berbalik, hal itu karena ketika seorang mudzin melafalkan kalimat tersebut maka seolah-olah dia kembali kepada perkataan yang mengandung anjuran untuk segera melakukan shalat.

[6] Diriwayatkan oleh an-Nasai (2/ 7, 8) dan dishahihkan oleh al-Albani (Shahih Sunan an-Nasai, no. 628)

Hal-Hal yang Dianjurkan Bagi Seorang Muadzin

 Hal-Hal yang Dianjurkan Bagi Seorang Muadzin


السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه وَمَنْ وَالاَهُ. أمَّا بعد
 
Saudara sekalian di grup whatsapp Belajar Islam, yang semoga dimuliakan oleh Allah rabbul 'alamin, kita lanjutkan kajian kitab Al Fiqhul Muyassar, kali ini saya akan membahas tentang hal-hal yang dianjurkan bagi seorang Muadzin demikian pula orang yang mengumandangkan Iqamat.
 
Penulis berkata:
 
Pembahasan Ketiga; Hal-hal yang dianjurkan bagi seorang Muadzin:
 
1. Muadzin adalah orang yang adil1 dan amanah, karena dia orang yang diberi kepercayaan terkait waktu shalat dan puasa, jika tidak demikian maka bagaimana kita bisa merasa tenang (dan percaya) dengan Adzannya.
 
2. Muadzin dianjurkan orang yang balig dan berakal, walaupun Adzan sah dilakuan oleh anak yang masuk usia tamyiz2.
 
3. Muadzin adalah orang yang mengetahui waktu-waktu shalat, agar Adzan dilakukan di awal waktu shalat. Jika tidak demikian maka bisa salah, misalnya Adzan diluar waktu shalat.
 
4. Muadzin adalah orang yang memiliki suara yang lantang (keras) agar bisa betul-betul diperdengarkan kepada banyak orang. Tentunya di zaman kita sekarang ini dibantu dengan alat pengeras suara.
 
5. Muadzin dalam keadaan suci, baik suci dari hadats ashgar maupun suci dari hadats akbar.3
 
6. Mengumandangkan Adzan dilakukan dengan berdiri dan menghadap kiblat.
 
7. Meletakan kedua jari telunjuknya di kedua telinganya, lalu memutar wajahnya (kepalanya) ke kanan ketika membaca (حَيَّ على الصلاة) dan ke kiri ketika membaca (حَيَّ على الفلاح)
 
8. Adzan dikumandangkan secara perlahan sementara Iqamah dikumandangkan dengan cepat.
 
Jadi inilah delapan perkara yang dianjurkan bagi seorang muadzin demikian pula orang yang iqamat.
 
Saudara sekalian yang dimuliakan oleh Allah rabbul 'alamin, demikianlah materi yang bisa saya sampaikan, semoga bermanfaat.
 
Akhukum fillah
Abu Sumayyah Beni Sarbeni

[1] Artinya orang shalih.
[2] Usia 7 tahun, belum balig.
 
[3] Bersuci dari hadatz asghar dengan berwudhu, bersuci dari hadats akbar dengan mandi besar.



Syarat Adzan dan Iqamat

 Syarat Adzan dan Iqamat


السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه وَمَنْ وَالاَهُ. أمَّا بعد
 
Saudara sekalian di grup whatsapp Belajar Islam, yang semoga dimuliakan oleh Allah rabbul 'alamin, kita lanjutkan kajian Al Fiqhul Muyassar, masih membahas tentang al-adzan wal iqamah.
 
Pembahasan kedua, syarat sah adzan dan iqamah.
 
Syarat sahnya adzan dan iqamah adalah sebagai berikut:
 
1. Islam, maka tidak sah dilakukan oleh seorang kafir, karena adzan dam iqamah adalah ibadah.
 
2. Berakal, maka tidak sah dilakukan oleh orang gila, orang mabuk, bahkan anak yang belum Tamyiz1 sebagaimana ibadah-ibadah lainnya.
 
3. Dilakukan oleh laki-laki, maka al-adzan wal iqamah tidak sah dilakukan oleh wanita karena suaranya adalah fitnah.
 
Kecuali jika dia shalat sendiri, maka dia bisa Iqamah sendiri atau ketika shalat diantara wanita, demikian pula Adzan.
 
Umar bin Khattab pernah ditanya:
 
“Apakah wanita juga mengumandangkan Adzan?”
 
Beliau marah lalu berkata:
 
“Pantaskah bagiku melarang seseorang berdzikir?”2
 
Wanita pada asalnya tidak mengumandangkan adzan juga iqamah, kecuali jika dia shalat sendirian atau dikalangan wanita.
 
Tidak pula sah dilakukan oleh seorang banci karena tidak diketahui jelas sebagai laki-laki.
 
4. Adzan dilakukan setelah masuk waktu shalat, maka tidak sah dilakukan sebelum masuk waktu shalat kecuali adzan awal shalat subuh demikian pula adzan awal shalat jum’at, adapun iqamah dilakukan ketika hendak melakukan shalat.
 
5. Bacaan adzan dilakukan secara tertib3 dan terus-menerus sebagaimana dijelaskan di dalam hadits, demikian pula Iqamah. Dan sebagaimana akan dijelaskan pada bahasan selanjutnya tentang tata cara adzan dan iqamah.

6. Adzan dan Iqamah dilakukan dengan bahasa arab, dan dengan bacaan yang disebutkan dalam hadits.

Demikianlah saudara sekalian 6 syarat sah nya adzan dan iqamah, semoga apa yang saya sampaikan bisa dipahami dengan baik dan tentunya bermanfaat.

Akhukum fillah
Abu Sumayyah Beni Sarbeni

[1] Penulis pernah membahas bahwa usia tamyiz itu adalah sekitar 7 tahun

[2] Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah 1/ 223, lihat Shahih Fiqih Sunnah 1/ 275

[3] Urutannya harus sesuai dengan yang diajarkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam

Dalil Rukun Agama Islam dalam Hadits #2

 Dalil Rukun Agama Islam dalam Hadits #2


السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه وَمَنْ وَالاَهُ. أمَّا بعد
 
Saudara sekalian di grup whatsapp Belajar Islam yang semoga dimuliakan oleh Allah rabbul 'alamin, kita lanjutkan kajian kitab Tsalatsatul Ushul, maish membahas hadits Jibril, yakn hadits yang mengabarkan pada kita tentang tingkatan agama, meliputi Islam, Iman dan Ihsan.
 
Sebelumnya sudah saya bacakan  bagian hadits yang membahas tentang Islam.
 
Shahabat yang mulia Umar ibnu Khattab radhiallahu ta'ala 'anhu beliau berkata:
 
قَالَ: أَخْبِرْنِي عَنِ الإِيمَانِ. قَالَ: (أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ، وَمَلائِكَتِهِ، وَكُتُبِهِ، وَرُسُلِهِ، وَالْيَوْمِ الآخِرِ، وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ ). قَالَ: صَدَقْتَ. قَالَ: أَخْبِرْنِي عَنِ الإِحْسَانِ. قَالَ: (أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ).
 
"Jibril berkata: 'Kabarkanlah kepadaku tentang Iman', jawab Nabi: 'Kamu beriman kepada Allah, kepada Malaikat-Nya, kepada kitab-kitab-Nya, kepada para Rasul-Nya, kepada hari akhir, dan kamu beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk'. Jibril berkata: 'Benar apa yang kau katakan'. Jibril berkata: 'Kabarkan kepadaku tentang Ihsan', jawab Nabi: “Kamu beribadah kepada Allah seolah-olah kamu melihat-Nya, lalu jika kamu tidak melihat-Nya maka Sungguh Dia melihatmu'."
 
قَالَ: أَخْبِرْنِي عَنِ السَّاعَةِ. قَالَ: (مَا الْمَسْؤُولُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ ). قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنْ أَمَارَاتِهَا. قَالَ: ( أَنْ تَلِدَ الأَمَةُ رَبَّتَهَا، وَأَنْ تَرَى الْحُفَاةَ الْعُرَاةَ الْعَالَةَ رِعَاءَ الشَّاءِ يَتَطَاوَلُونَ فِي الْبُنْيَانِ). قَالَ: فَمَضَى، فَلَبِثْنَا مَلِيَّا، فَقَالَ: (يَا عُمَرُ أَتَدْرُونَ مَنِ السَّائِلِ؟). قُلْنَا: اللهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ، قَالَ: ( هَذَا جِبْرِيلُ أَتَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ أَمْرَ دِينِكُم ).
 
Jibril berkata: 'Kabarkan kepadaku tentang kiamat', kata Nabi: 'Tidaklah yang ditanya lebih tahu tentangnya daripada penanya'. Jibril berkata: 'Kabarkan kepadaku tentang tanda-tandanya', Nabi menjawab: 'Seorang budak melahirkan tuannya, kamu melihat orang tidak beralas kaki, telanjang, miskin, pengembala kambing, mereka berloma-lomba dalam bangunan'."
 
"Umar berkata: dia pun pergi dan kami pun diam lama, lalu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya: 'Wahai Umar, tahukah kamu siapakah penanya itu?' jawab kami: 'Allah dan Rasul-Nya lebih tahu', beliau berkata: 'Dia adalah Jibril datang kepada kalian untuk mengajarkan kepada kalian urusan agama kalian'." (HR. Muslim)
 
Diantara faidah penting dari potongan hadits di atas adalah sebagai berikut:
 
Pertama, Hadits di atas menjelaskan rukun Iman, Ihsan dan tanda-tanda kiamat.
 
Kedua, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ditanya tentang hari kiamat, kapan ia terjadi? lalu jawaban beliau: 'Tidaklah yang ditanya lebih tahu tentangnya daripada penanya', hal itu karena tidak seorang tahu kapan kiamat itu terjadi, Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:
 
يَسْأَلُونَكَ عَنِ ٱلسَّاعَةِ أَيَّانَ مُرۡسَىٰهَاۖ قُلۡ إِنَّمَا عِلۡمُهَا عِندَ رَبِّيۖ لَا يُجَلِّيهَا لِوَقۡتِهَآ إِلَّا هُوَۚ
 
“Mereka menanyakan kepadamu tentang kiamat: 'Bilakah terjadinya?', Katakanlah: 'Sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu adalah pada sisi Tuhanku; tidak seorangpun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia'." (Al-A’raf [7]: 187)
 
Jadi jika ada orang, siapa saja dia, apkah ustadz, kiyai atau sebutan lainnya menentukan tahun terjadinya kiamat maka sungguh dia adalah Pendusta!
 
Ketiga, Kalimat: “Seorang budak melahirkan tuannya”.
 
Yakni seorang budak wanita digauli oleh tuannya, kemudian ia melahirkan anak dari tuannya itu, maka anak tersebut kedudukannya seperti tuannya.
 
Ada beberapa penafsiran tentang kalimat di atas, diantaranya bahwa kalimat di atas menunjukan rusaknya keadaan di akhir zaman, yang diantara bentuknya yaitu banyaknya anak-anak yang durhaka kepada orang tua, dimana seorang anak memperlakukan ibunya sendiri seperti seorang budak, ia yang memerintah ibunya, ia pula yang melarangnya ibunya.
 
Inilah pendapat yang dipilih oleh Al-Imam Ibnu hajar al-asqalani dalam Fathul Bari.1
 
Keempat, Kalimat: “Kamu melihat orang tidak beralas kaki, telanjang, miskin, pengembala kambing, mereka berloma-lomba dalam bangunan”.
 
Maksudnya rakyat jelata dan orang-orang bodoh yang berubah keadaannya menjadi orang-orang kaya yang berlomba-lomba dalam membuat bangunan,
 
Disebutkan oleh Syaikh Abdul Karim Al-Khudhaif dalam Syarah Arbain:
 
"Ini telah banyak didapati di Jazirah Arab, bisa kita dapatkan seseorang yang dua puluh tahun sebelumnya seorang pengembala kambing, kemudian terjun dalam perdagangan, lalu membuat bangunan-bangunan yang tinggi."2
 
Kelima, kalimat: “Dia adalah Jibril datang kepada kalian untuk mengajarkan kepada kalian urusan agama kalian”.
 

Kalimat di atas menunjukan bahwa para shahabat radhiallahu anhum belajar agama, belajar masalah Islam, maslah Iman, juga Ihsan. Mereka sebagai generasi paling baik tetap belajar, maka tidak mungkin ada orang setelahnya yang mengatakan berilmu tanpa belajar terlebih dahulu.

Disini Nabi menegaskan:

هَذَا جِبْرِيلُ أَتَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ أَمْرَ دِينِكُم

"Dia adalah Jibril, datang kepada kalian mengajarkan kepada kalian urusan agama kalian."

Saudara sekalian yang dimuliakan oleh Allah rabbul 'alamin, demikianlah materi yang bisa saya sampaikan dan selesailah bahasan tentang hadits Jibril yang mengabarkan kepada kita tentang tingkatan-tingkatan agama meliputi Islam, Iman dan Ihsan juga diakhiri dengan penjelasan diantara tanda-tanda kiamat, semoga bermanfaat.

Akhukum fillah
Abu Sumayyah Beni Sarbeni

والسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

[1] Fathul Baari (1/ 122), lihat pula ar-Riyadhul Zakiyyah Syarah al-Arbain an-Nawawiyyah (hal. 83)

[2] Lihat ar-Riyadhul Zakiyyah Syarah al-Arbain an-Nawawiyyah (hal. 84)

Dalil Rukun Agama Islam dalam Hadits #1

 Dalil Rukun Agama Islam dalam Hadits #1


السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه وَمَنْ وَالاَهُ. أمَّا بعد
 
Saudara sekalian di grup whatsapp Belajar Islam yang semoga dimuliakan oleh Allah rabbul 'alamin, kita lanjutkan kajian kitab Tsalatsatul Ushul, kali ini saya akan membahas atau menjelaskan dalil semua tingkatan Agama di dalam hadits.
 
Sebagaimana kita ketahui tingkatan agama yaitu: 1. Islam, 2. Iman, 3. Ihsan.
 
Sebelumnya sudah dibawakan dalil-dalil di dalam Al-Quran, pada kesempatan ini saya akan menjelaskan dalil di dalam hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.
 
Penulis rahimahullah berkata:
 
وَالدَّلِيلُ مِنَ السُّنَّةِ: حَدِيثُ جِبْرِيلَ الْمَشْهُورُ: عَنْ عُمَرَ بنِ الْخَطَّابِ ـ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ ـ قَالَ: بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوسٌ عِنْدَ النَّبِيِّ ـ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ـ إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ، شَدِيدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ، شَدِيدُ سَوَادِ الشَّعْرِ، لا يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ، وَلا يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ، فَجَلَسَ إِلَى النَّبِيِّ ـ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ـ فَأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ، وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ، وَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ أَخْبِرْنِي عَنِ الإِسْلامِ  فَقَالَ: ( أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لا اله إِلا اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ، وَتُقِيمَ الصَّلاةَ، وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ، وَتَصُومَ رَمَضَانَ، وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنْ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيلا). قَالَ: صَدَقْتَ. فَعَجِبْنَا لَهُ يَسْأَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ.
 
"Adapun dalil dalam as-Sunnah adalah hadits Jibril yang masyhur, dari Umar bin Khattab radhiallahu 'anhu, beliau berkata:"
 
"Ketika kami duduk-duduk bersama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, tiba-tiba seorang lelaki datang dengan bajunya yang sangat putih dan rambutnya yang sangat hitam, tidak nampak darinya bekas perjalanan jauh dan tidak seorang pun dari kami mengenalnya."
 
"Lalu orang itu duduk di hadapan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, dia menempelkan kedua lututnya pada kedua lutut Nabi, dan meletakan kedua telapak tangannya pada kedua pahanya."
 
"Ia berkata: 'Wahai Muhammad, kabarkanlah kepadaku tentang Islam'."
 
"Lalu Nabi menjawab: 'Kamu bersaksi bahwa tidak ada Ilah (sesembahan) yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah dan bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasulullah, kamu mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, dan menunaikan ibadah haji jika kamu mampu melakukan perjalan (untuknya)'."
 
"Dia berkata: 'Benar apa yang kamu ucapkan'. Kami merasa aneh padanya, dia yang bertanya dia pula yang membenarkannya."
 
Saudara sekalian yang dimuliakan oleh Allah, itu baru sebagian hadits yang akan kita jelaskan. Hadits yang panjang ini bersumber dari shahabat mulia Umar bin Khattab radhiallahu 'anhu, dan dikenal dengan hadits Jibril karena di dalamnya ada malaikat Jibril yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,
 
Dari satu sisi beliau datang sebagai seorang pelajar yang datang kepada baginda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam untuk bertanya tentang urusan agama, dari sisi lain beliau datang sebagai pengajar untuk mengajarkan para Shahabat, karena pertanyaan itu ditujukan agar mereka (para Shahabat) mengambil ilmu dan faidah darinya.
 
Hadits ini pun dikenal dengan sebutan Ummus Sunnah (induknya ajaran yang dibawa oleh baginda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam) sebagaimana di dalam Al-Qur’an pun ada Ummul Qur’an yaitu surat Al-Fatihah sebagai induknya Al-Quran.
 
Hal itu karena hadits ini membawakan induk atau inti ajaran yang dibawa oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, di dalamnya ada penjelasan tentang Akidah yang dibangun di atas rukun Iman yang enam, di dalamnya ada penjelasan tentang Syariat, yang dibangun di atas rukun Islam yang lima, di dalamnya pun dijelaskan di antara perkara-perkara gaib, yakni tentang tanda-tanda kiamat, dan bahwa terjadinya kiamat itu hanya diketahui oleh Allah subhanahu wa ta'ala.
 
Selain itu, di dalamnya ada penjelasan tentang Adab atau etika seorang penuntut ilmu. Ada beberapa kalimat yang akan sedikit kami jelaskan:
 
Pertama, kalimat: “Ketika kami duduk-duduk bersama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.”
 
Kami disini tentunya para Shahabat dan demikianlah kedekatan mereka dengan baginda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, mereka biasa duduk dengan baginda Nabi untuk mengambil ilmu dan adab, mereka sebaik-baiknya murid untuk sebaik-baiknya guru, mereka adalah orang-orang mulia yang direkomendasikan oleh Allah subhanahu wa ta'ala dan Rasul-Nya agar kita selalu mengikuti mereka.
 
Kedua, kalimat:  “Tiba-tiba seorang lelaki datang dengan bajunya yang sangat putih dan rambutnya yang sangat hitam.”
 
Seorang lelaki ini adalah Malaikat Jibril, yang para Shahabat tidak mengetahuinya, hanya saja orang itu datang dengan penampilan yang sepertinya baru saja keluar dari rumahnya, rambutnya hitam dan bajunya putih tidak kotor.
 
Oleh karena itu Umar melanjutkan ceritanya: “Tidak nampak darinya bekas perjalanan jauh dan tidak seorang pun dari kami mengenalnya”, yakni tidak seorang pun dari kami mengenalnya sebagai penduduk Madinah. Dan Malaikat Jibril pun terkadang datang menjelma seperti seorang Shahabat yang bernama Dihyah al-Kalby.
 
Ketiga, kalimat: “Lalu orang itu duduk di hadapan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, dia menempelkan kedua lututnya pada kedua lutut Nabi, dan meletakan kedua telapak tangannya pada kedua pahanya.”
 
Meletakan kedua telapak tangan Jibril pada kedua paha Jibril, sebagian ulama mengatakan kedua paha malaikat Jibril itu sendiri, dan yang lain mengatakan kedua paha Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.
 
Saudara sekalian, dalam kalimat di atas menjelaskan tentang adab (etika) seorang penuntut ilmu, yakni keseriusan dan kesiapan untuk bertanya dan mendengarkan ilmu yang disampaikan, bahkan dalam kalimat sebelumnya pun seorang penuntut ilmu itu semestinya datang ke majlis dalam sebaik-baiknya keadaan dan penampilan, karena sungguh “orang yang menghormati layak untuk dihormati” sebagaimana pepatah.
 
Keempat, kalimat: “Wahai Muhammad, kabarkanlah kepadaku tentang Islam.”
 
Kata “Kabarkanlah”, ini menunjukan bahwa baginda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam hanya mengabarkan apa yang Allah wahyukan kepada dirinya, baginda hanya menyampaikan, karena tugas beliau adalah hanya menyampaikan syariat yang diwahyukan dari Allah subhanahu wa ta'ala.
 
Bahkan dalam sebagian hadits diungkapkan: “Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda tentang apa yang diriwayatkannya dari Rabnya”.
 
Lihat kalimat "tentang apa yang diriwayatkannya dari Rabnya”, jadi semata-mata hanya dikabarkan dari Allah subhanahu wa ta'ala.
 
Kemudian Nabi pun mengabarkan tentang rukun Islam yang lima, ia adalah Islam dalam arti amalan-amalan yang nampak.
 
Kelima, kalimat: “Benar apa yang kamu ucapkan.”
 
Jibril berkata: “Benar apa yang kamu ucapkan”. Dia sendiri yang bertanya dan dia sendiri yang membenarkan. Kalimat tersebut dirasakan aneh oleh para Shahabat ridhwanullah 'alaihim ajmain.
 
Bagaimana bisa demikian?, Hal itu karena malaikat Jibril datang sebagai pelajar dan pengajar, dan metode tanya jawab adalah diantara salah satu metode dalam pengajaran, yang memudahkan para pelajar dan menjadikan lebih kuat untuk diingat.
 
Jadi, kalimat Jibril yang bertanya pada Nabi itu dalam posisi malaikat Jibril sebagai pelajar, malaikat Jibril yang membenarkan apa yang disampaikan oleh Rasulullah itu posisi malaikat Jibril sebagai pengajar para Shahabar Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.
 
Saudara sekalian yang dimuliakan oleh Allah rabbul 'alamin, demikianlah materi yang bisa saya sampaikan semoga bermanfaat.
 
Akhukum fillah
Abu Sumayyah Beni Sarbeni

Penjelasan Dalil Ihsan #2

 Penjelasan Dalil Ihsan #2


السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه وَمَنْ وَالاَهُ. أمَّا بعد
 
Saudara sekalian yang dimuliakan oleh Allah rabbul 'alamin, kita lanjutkan kajian kitab Tsalatsatul Ushul, yang kali ini kami masih membahas tentang penjelasan dalil ihsan.
 
Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:
 
وَمَا تَكُونُ فِي شَأْنٍ وَمَا تَتْلُو مِنْهُ مِن قُرْآنٍ وَلاَ تَعْمَلُونَ مِنْ عَمَلٍ إِلاَّ كُنَّا عَلَيْكُمْ شُهُوداً إِذْ تُفِيضُونَ فِيهِ [يونس: 61]
 
“Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al Quran dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya.” (QS. Yunus [10]: 61)
 
Penjelasan:
 
Syaikh as-Sa’di rahimahullah menjelaskan ayat di atas:
 
“Allah subhanahu wa ta'ala mengabarkan bahwa Allah menyaksikan seluruh keadaan hamba-Nya, gerak maupun diamnya mereka."
 
"Tidaklah kalian ada dalam keadaan apapun, baik terkait dengan urusan agama maupun dunia, besar maupun kecil, tidak pula kalian membaca al-Qur’an yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam kecuali kami menjadi saksi kalian ketika kalian melakukannya."
 
"Maka teruslah senantiasa diawasi dalam amal-amal kalian, tunaikanlah semuanya dengan baik dan sungguh-sungguh, karena Allah subhanahu wa ta'ala senantiasa mengawasi zhahir maupun batin kalian.”
 
Jadi ayat di atas sangat jelas menunjukan bahwa Allah subhanahu wa ta'ala senantiasa mengawasi hamba-Nya, dan haq Allah untuk melakukan hal itu. Jika kita meyakininya maka timbulah rasa selalu diawasi oleh Allah subhanahu wa ta'ala, rasa selalu diawasi oleh Allah ini adalah muraqabah, dan itulah haqiqat Ihsan.
 
Saudara sekalian yang dimuliakan oleh Allah, demikianlah penjelasan ayat terakhir yang dibawakan oleh penulis tentang ihsan. Semoga apa yang saya sampaikan bisa dipahami dengan baik dan tentunya bermanfaat.
 
Akhukum fillah
Abu Sumayyah Beni Sarbeni

Penjelasan Dalil Ihsan #1

 Penjelasan Dalil Ihsan #1


السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه وَمَنْ وَالاَهُ. أمَّا بعد
 
Saudara sekalian di grup whatsapp Belajar Islam yang semoga dimuliakan oleh Allah rabbul 'alamin, kita lanjutkan kajian kitab Tsalatsatul Ushul, kali ini saya akan menjelaskan dalil-dalil Ihsan yang dibawakan oleh penulis.
 
Pertama, Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:
 
إِنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلَّذِينَ ٱتَّقَواْ وَّٱلَّذِينَ هُم مُّحۡسِنُونَ  ١٢٨
 
“Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan." (QS. An-Nahl [16]: 128)
 
Syaikh As-Sa’di rahimahullah dalam tafsirnya menjelaskan ayat di atas, beliau berkata:
 
“Allah senantiasa bersama orang-orang bertaqwa yang selalu berbuat kebaikan, yakni dengan pertolongan dan hidayah-Nya, mereka adalah orang-orang bertakwa, yang senantiasa menjaga diri dari kekufuran dan kemaksiatan,
 
"Mereka pun orang-orang yang senantiasa berbuat kebaikan dalam Ibadah kepada Allah, yakni mereka beribadah kepada Allah seolah-olah mereka melihat-Nya, dan jika mereka tidak melihat-Nya maka sungguh Allah melihat mereka,"
 
"Juga dengan berbuat kebaikan kepada mahluk, yakni dengan memberikan kemanfaatan bagi mereka dari berbagai sisi (kebaikan).”1  
 
Jadi Syaikh As-Sa'di menjelaskan bahwa firman Allah subhanahu wa ta'ala:
 
 مُّحۡسِنُونَ
 
Adalah orang-orang yang senantiasa berlaku ihsan dan berlaku baik dalam ibadah yang mereka lakukan.
 
Saudara sekalian, orang yang beribadah seperti itu, tentunya dia akan berusaha untuk beribadah dengan ikhlas dan sesuai dengan tuntunan baginda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.
 
Orang yang senantiasa merasa diawasi oleh Allah rabbul 'alamin, berusaha memaksimalkan ibadah yang dia lakukan, yaitu dengan ikhlas dan sesuai dengan tuntunan baginda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.
 
Dimana, ikhlas dan sesuai dengan tuntunan Nabi adalah syarat diterimanya ibadah yang kita lakukan.
 
Kedua, Allah subhanahu wa ta'ala berfiman:
 
وَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱلۡعَزِيزِ ٱلرَّحِيمِ  ٢١٧ ٱلَّذِي يَرَىٰكَ حِينَ تَقُومُ  ٢١٨ وَتَقَلُّبَكَ فِي ٱلسَّٰجِدِينَ  ٢١٩ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡعَلِيمُ  ٢٢٠
 
“Dan bertawakkallah kepada (Allah) Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang, Yang melihat kamu ketika kamu berdiri (untuk shalat), dan (melihat pula) perubahan gerak badanmu di antara orang-orang yang sujud. Sesungguhnya Dia adalah Allah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. As-Syu’ara [26]: 217-220)
 
Allah subhanahu wa ta'ala melihat semua gerak gerik kita, Allah melihat ibadah yang kita lakukan, Allah melihat ketika kita sujud, ruku dan melihat semua keadaan kita.
 
Syaikh As-Sa’di dalam kitab tafsirnya menjelaskan ayat di atas, kata beliau:
 
“Ketika seorang hamba menghadirkan dalam hatinya bahwa Allah subhanahu wa ta'ala melihat semua keadaannya, mendengar setiap ucapannya, mengetahui apa yang ada dalam hatinya berupa tekad, keinginan dan niat. Maka sungguh semua itu membantunya untuk mendapatkan tingkatan Ihsan.”2
 
Yaitu berbuat sebaik-baiknya ibadah kepada Allah rabbul alamin.
 
Saudara sekalian yang dimuliakan oleh Allah rabbul 'alamin, demikianlah penjelasan dalil-dalil Ihsan yang dibawakan oleh penulis #1, insyaAllah masih kita lanjutkan dengan penjelasan dalil Ihsan yang dibawakan oleh penulis.
 
Semoga apa yang saya sampaikan dipahami dengan baik dan bermanfaat.

Akhukum fillah
Abu Sumayyah Beni Sarbeni

[1] Tafsir as-sa’di 1/452.

[2] Tafsir as-sa’di 1/599

Rukun Ihsan

 Rukun Ihsan


السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه وَمَنْ وَالاَهُ. أمَّا بعد
 
Saudara sekalian yang dimuliakan Allah subhanahu wa ta'ala, kita lanjutkan kajian kitab Tsalatsatul Ushul, bahasan kali ini tentang Rukun Ihsan.
 
Saudara sekalian, Ihsan diambil dari kata Ahsana artinya melakukan sesuatu dengan baik, dalam hal ini Ihsan terbagi menjadi tiga:
 
Pertama, Seorang hamba melakukan hubungan antara dia dengan Allah secara baik, hubungan dia dengan Allah adalah Ubudiyyah (penghambaan diri), yang dilakukan secara ikhlas dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
 
Kedua, Ihsan (berbuat baik) antara dia dengan mahluk, yakni dengan memenuhi hak-hak mereka.
 
Ketiga, Ihsan dalam pekerjaannya, berbuat baik dalam setiap pekerjaannya. Yakni melakukan pekerjaan secara profesional atau itqan.
 
Adapun yang dimaksud dalam bahasan kita ini adalah Ihsannya (berbuat baiknya) seorang hamba dalam ibadah, oleh karena itu rukun Ihsan sebagaimana disebutkan oleh penulis dengan mengutip sebuah hadits:  
 
أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِن لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
 
“Kamu beribadah kepada Allah seolah-olah kamu melihat-Nya, jika kamu tidak bisa melihat-Nya maka sungguh Allah melihatmu.”
 
Jadi, Rukun Ihsan hanya ada satu, sebagaimana yang disabdakan oleh Rasul ini.
 
Hadits di atas menunjukan pula bahwa ihsan itu memiliki dua tingkatan:
 
1. Musyadahah, yakni kamu beribadah kepada Allah seolah-olah kamu melihat-Nya. Inilah tingkatan Ihsan paling tinggi.
 
2. Muroqobah, bahwa kita merasa senantiasa di awasi oleh Allah subhanahu wa ta'ala.
 
Kesimpulannya, Rukun Ihsan hanya satu yakni:
 
“Kamu beribadah kepada Allah seolah-olah kamu melihat-Nya, jika kamu tidak bisa melihat-Nya maka sungguh Allah melihatmu.”
 
Semoga apa yang saya sampaikan bisa dipahami dengan baik dan bermanfaat.

Akhukum fillah
Abu Sumayyah Beni Sarbeni



Senin, 12 September 2022

Tingkatan Agama yang Ketiga - Ihsan

 Tingkatan Agama yang Ketiga - Ihsan


السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه وَمَنْ وَالاَهُ. أمَّا بعد
 
Saudara sekalian di grup whatsapp Belajar Islam yang semoga dimuliakan oleh Allah rabbul 'alamin, kita lanjutkan kajian kitab Tsalatsatul Ushul, kali ini saya akan menyampaikan bahasan tentang tingkatana agama yang ketiga yaitu Al-Ihsan.
 
Sebelumnya sudah saya sampaikan tingkatan sebelumnya agama yang pertama yaitu Al-Islam, kemudian tingkatan agama yang kedua yaitu Al-Iman dan kali ini tingkatan agama yang ketiga yaitu Al-Ihsan.
 
Penulis rahimahullah berkata:
 
الْمَرْتَبَةُ الثَّالِثَةُ: الإِحْسَانُ
 وله رُكْنٌ وَاحِدٌ. كما فى الحديث: ( أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِن لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ ). وَالدَّلِيلُ قَوْلُهُ تَعَالَى: ( إِنَّ اللّهَ مَعَ الَّذِينَ اتَّقَواْ وَّالَّذِينَ هُم مُّحْسِنُونَ )[النحل: 128]. وقَوْلُهُ تَعَالَى: ( وَتَوَكَّلْ عَلَى الْعَزِيزِ الرَّحِيمِ * الَّذِي يَرَاكَ حِينَ تَقُومُ * وَتَقَلُّبَكَ فِي السَّاجِدِينَ * إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ )[الشعراء: 217 ـ 220]. وقَوْلُهُ تَعَالَى: ( وَمَا تَكُونُ فِي شَأْنٍ وَمَا تَتْلُو مِنْهُ مِن قُرْآنٍ وَلاَ تَعْمَلُونَ مِنْ عَمَلٍ إِلاَّ كُنَّا عَلَيْكُمْ شُهُوداً إِذْ تُفِيضُونَ فِيهِ ) [يونس: 61].
 
“Tingkatan yang ketiga adalah Ihsan, rukunnya hanya satu sebagaimana disebutkan dalam hadits: 'Kamu beribadah kepada Allah seolah-olah kamu melihat-Nya, jika kamu tidak bisa melihat-Nya maka sungguh Allah melihatmu',"
 
"Dalilnya adalah firman Allah subhanahu wa ta'ala: 'Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan (melakukan ihsan)', [An-Nahl: 128]."
 
"Demikian pula firman Allah subhanahu wa ta'ala: 'Dan bertawakkallah kepada (Allah) Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang, Yang melihat kamu ketika kamu berdiri (untuk shalat), dan (melihat pula) perubahan gerak badanmu di antara orang-orang yang sujud. Sesungguhnya Dia adalah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui', [Asy-Syu’ara: 217-220]."
 
"Demikian pula firman Allah subhanahu wa ta'ala: 'Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al Quran dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya', [Yunus: 61]."
 
Saudara sekalian yang semoga dirahmati oleh Allah rabbul 'alamin, tingkatan agama yang ketiga adalah Ihsan, Ibnu Daqiq al-Ied rahimahullah berkata:
 
حاصله راجع إلى إتقان العبادات ومراعاة حقوق الله ومراقبته واستحضار عظمته حال العبادات
 
“Walhasil Ihsan itu kembali kepada melakukan ibadah dengan sangat baik, menjaga hak-hak Allah, senantiasa merasa diawasi dan menghadirkan keagungan Allah dalam setiap ibadah." (Syarah Arbain, hal. 43]
 
Jadi, Ihsan kepada Allah adalah dengan melakukan ibadah secara sempurna, tentunya dengan memenuhi dua syaratnya, yakni ibadah secara ikhlas dan mengikuti tuntunan baginda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.
 
Ayat-ayat yang dibawakan oleh penulis yang pertama adalah surat An-Nahl ayat 128, menjelaskan tentang orang-orang yang Ihsan yang senantiasa berlaku baik:
 
إِنَّ اللّهَ مَعَ الَّذِينَ اتَّقَواْ وَّالَّذِينَ هُم مُّحْسِنُونَ
 
"Bahwasannya Allah senantiasa bersama orang-orang yang bertakwa dan berbuat ihsan (baik)." (QS. An-Nahl [16]: 128)
 
Kemudian ayat yang kedua adalah surat Asy-Syu’ara, menunjukkan bahwasannya Allah subhanahu wa ta'ala senantiasa melihat kita, bahkan mengetahui gerak gerik kita, dan sesungguhnya Allah maha mendengar juga maha mengetahui.
 
Demikian pula dalam surat Yunus, bahwa Allah subhanahu wa ta'ala senantiasa menyaksikan apa yang kita perbuat.
 
Oleh karena itu, rukun daripada ihsan itu adalah satu: Kita beribadah pada Allah seolah-olah kita melihat Allah, jika kita tidak merasakannya sungguh Allah subhanahu wa ta'ala melihat kita. Dengan seperti itu tentunya seseorang akan melakukan ibadah dengan semaksimal mungkin, sebaik mungkin.
 
Ketika seseorang selalu merasa diawasi oleh Allah subhanahu wa ta'ala (muraqabah) tentunya dia akan melakukan ibadah itu secara sempurna, dengan keikhlasan dan melakukannya sesuai tuntunan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
 
Hal itu dikarenakan tidak akan ada keikhlasan dan kesempurnaan dalam ibadah tanpa adanya muraqabah (merasa diawasi) yang merupakan rukun daripada Ihsan itu sendiri.
 
Sudara sekalian yang dimuliakan oleh Allah rabbul 'alamin, demikianlah tingkatan agama yang ketiga yaitu Al-Ihsan, semoga apa yang saya sampaikan bisa dipahami dan bermanfaat.
 
Akhukum fillah
Abu Sumayyah Beni Sarbeni

Dalil Rukun Iman dalam Al-Quran

 Dalil Rukun Iman dalam Al-Quran


السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه وَمَنْ وَالاَهُ. أمَّا بعد
 
Saudara sekalian di grup whatsapp Belajar Islam yang semoga dijaga oleh Allah rabbul 'alamin, kita lanjutkan kajian kitab Tsalatsatul Ushul. Bahasan kali ini adalah tentang dalil semua rukun iman di dalam Al-Qur'an.
 
Penulis rahimahullah berkata:
 
وَالدَّلِيلُ عَلَى هَذِهِ الأَرْكَانِ السِّتَةِ: قَوْلُهُ تَعَالَى: (لَّيْسَ الْبِرَّ أَن تُوَلُّواْ وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَالْمَلآئِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ) [البقرة: 177]. ودليل القدر: قَوْلُهُ تَعَالَى: (إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ) [القمر: 49].

"Dan dalil rukun Iman yang enam di atas adalah firman Allah subhanahu wa ta'ala (yang artinya): 'Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, Malaikat-Malaikat, kitab-kitab, Nabi-Nabi', adapun dalil takdir adalah firman Allah subhanahu wa ta'ala (yang artinya): 'Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran'.”
 
 
Saudara sekalian yang dimuliakan oleh Allah rabbul 'alamin, dalil rukun Iman dalam Al-Qur’an diantaranya firman Allah subhanahu wa ta'ala dalam surat Al-Baqarah ayat 177 di atas, dalam ayat tersebut disebutkan lima rukun Iman, dan banyak sekali ayat-ayat yang serupa dengannya.
 
Adapun dalil tentang rukun iman yang keenam (takdir), penulis membawakan firman Allah subhanahu wa ta'ala dalam surat Al-Qamar ayat 49, ini adalah dalil tentang takdir secara umum. Adapun dalil secara rinci yang menjelaskan tingkatan-tingkatan takdir adalah sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.
 
Tingkatan takdir mulai dari ilmu, kemudian al-kitabah (penulisan takdir), al-masyiah (kehendak Allah), al-khalqu (penciptaan Allah untuk makhluknya).
 
Dalil dalam surat al-Baqarah ayat ke-177 pada asalnya bantahan kepada orang-orang Yahudi, yakni ketika mereka mengingkari perubahan Kiblat dari Baitul Maqdis ke arah Ka’bah.
 
Kemudian Allah subhanahu wa ta'ala menjelaskan bahwa inti dari kebajikan itu bukan masalah menghadap ke barat atau timur, akan tetapi taatnya kita kepada perintah Allah subhanahu wa ta'ala. Ketika Allah memerintahkan kita untuk menghadap ke Ka’bah, maka kita pun mengikuti-Nya.  
 
Firman Allah subhanahu wa ta'ala:
 
“Akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah …”
 
Maksudnya inti dari kebajikan adalah beriman kepada Allah, hari akhir dan seterusnya.
 
Ayat ini serupa dengan hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam:
 
الحج عرفة
 
"Haji adalah Arafah."
 
Padahala rangkaian ibadah haji bukan hanya wukuf di arafah. Ada tawaf, da sa'i, ada mabit di Mina, dan seterusnya. Maksudnya inti ibadah haji itu wuquf di Arafah.
 
Firman Allah subhanahu wa ta'ala:
 
“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.”
 
Syaikh As-Sa’di rahimahullah dalam tafsirnya menjelaskan:
 
“Dan Takdir (ketetapan) tersebut mencakup seluruh mahluk-Nya yang ada di atas maupun di bawah; hanya Allah yang menciptakan semuanya dan tidak ada pencipta selain Allah, tidak ada juga yang berserikat dengan Allah dalam penciptaan mahluk dan penciptaan Allah itu dengan takdir yang terlebih dahulu dalam ilmu-Nya, tetap dalam pena-Nya dengan waktu dan ukurannya, juga dengan sifat-sifatnya. Semua itu mudah bagi Allah subhanahu wa ta'ala.”
 
Intinya Syaikh As-Sa'di ingin menjelaskan bahwa firman Allah dalam surat Al-Qamar:
 
إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ
 
Itu menjelaskan tentang rukum iman yang keenam yaitu takdir, yang takir itu urutan atau rinciannya adalah ilmu Allah, penulisan Allah, kehendak Allah, dan penciptaan Allah terhadap makhluknya.
 
Saudara sekalian yang dimuliakan oleh Allah rabbul 'alamin, demikianlah materi yang bisa saya sampaikan, semoga bermanfaat.

Akhukum fillah
Abu Sumayyah Beni Sarbeni

Iman Kepada Takdir #3

 Iman Kepada Takdir #3


السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه وَمَنْ وَالاَهُ. أمَّا بعد
 
Saudara sekalian di grup whatsapp Belajar Islam yang semoga dirahmati Allah rabbul 'alamin, kita lanjutkan kajian Tsalatsatul Ushul, masih membahas iman kepada takdir.
 
Saudara sekalian, mungkin muncul sebuah pertanyaan, "Jika semuanya telah ditentukan, maka untuk apa kita beramal?".
 
Jawabannya adalah sebuah hadits yang bersumber dari Shahabat mulia Ali bin Abi Thalib radhiallahu ta'ala anhu, beliau berkata:
 
“Kita sedang mengurusi jenazah di pemakaman Baqi1, ketika itu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam datang, lalu beliau duduk dan kami pun duduk di sekelilingnya, beliau membawa semacam tongkat kecil, beliau menundukkan kepala sambil membuat garis-garis dengan tongkatnya, kemudian beliau bersabda:
 
مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ مَا مِنْ نَفْسٍ مَنْفُوسَةٍ إِلَّا كُتِبَ مَكَانُهَا مِنَ الْجَنَّةِ وَالنَّارِ وَإِلَّا قَدْ كُتِبَ (كُتِبَتْ) شَقِيَّةً أَوْ سَعِيدَةً
 
“Tidak seorang pun diantara kalian, yakni tidak seorang jiwa pun kecuali telah ditentukan tempatnya di surga atau neraka, telah ditentukan apakah dia celaka atau bahagia.”
 
Lalu seseorang bertanya:
 
“Wahai Rasulullah, kenapa kita tidak bersandar kepada ketentuan kita dan meninggalkan amal?” 2
 
Lalu Rasul menjawab:
 
“Barang siapa termasuk orang-orang yang bahagia, maka ia akan bersegera melakukan amal-amal orang yang bahagia, dan barang siapa termasuk orang-orang yang sengsara, maka dia segera melakukan amal-amal orang yang sengsara,"
 
Lalu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melanjutkan sabdanya:
 
اعملوا فكل ميسر أما أهل السعادة فييسرون لعمل أهل السعادة وأما أهل الشقاوة فييسرون لعمل أهل الشقاوة
 

“Beramallah, karena setiap orang akan dimudahkan (untuk apa dia diciptakan), orang-orang yang berbahagia akan dimudahkan untuk melakukan amal-amalan orang yang berbahagia, dan orang-orang yang sengsara akan dimudahkan dengan amalan-amalan orang yang sengsara.” (Shahih, HR. Bukhari dan Muslim)

Jadi jawabannya adalah hadits ini, yang penting bagi kita adalah beramal, karena kita tidak tahu apa nasib yang akan kita dapatkan nanti.

Yang jelas setiap orang yang diciptakan oleh Allah sebagai orang-orang yang berbahagia nanti, maka Allah akan mudahkan untuknya jalan-jalan kebahagiaan, jalan-jalan kebaikan.

Sebaliknya, orang yang akan mendapatkan kesengsaraan nanti, Allah akan mudahkan untuknya jalan-jalan kesengsaraan.

Saudara sekalian yang dimuliakan oleh Allah, demikianlah materi yang bisa saya sampaikan, semoga bermanfaat.

Akhukum fillah
Abu Sumayyah Beni Sarbeni

[1] Pemakaman di dekat Masjid Nabawi Madinah
[2] Maksudnya jika semua telah ditentukan, yasudah bersandar saja pada ketentuan tersebut tidak usah kita sibuk-sibuk untuk melakukan amal

Sifat dan Akhlaq Imam Abu Hanifah

  بسم الله الرحمن الرحيم

Sifat dan Akhlaq Imam Abu Hanifah

Sebelum menjelaskan sifat dan akhlaq beliau, termasuk yang sangat penting adalah mengetahui guru-guru beliau juga murid-muridnya.

Imam Abu Hanifah berguru kepada banyak ulama bahkan ada yang mengatakan sampai empat ribu guru. Imam Abu Hanifah pun berjumpa dengan beberapa shahabat, dan karena itulah beliau dimasukan pada generasi Tabiin, hanya saja para ulama berbeda pendapat apakah dalam perjumpaannya itu beliau meriwayatkan hadits dari mereka atau tidak ? diantara shahabat yang pernah beliau jumpai adalah Anas bin Malik dan Abdullah bin Harits bin Jaz’u az-Zubaidi.

Diantara guru-guru beliau adalah Ibrahim an-Nakhai, Hammad bin Abi Sulaiman, Atha bin Abi Rabah, Ikrimah, Amir as-Sya’bi, dan yang lainnya.

Selanjutnya tentang murid-muridnya:

Al-Khatib al-Bagdadi menyebutkan dalam kitab Tarikhnya dengan sanadnya sampai kepada Abu Karomah, beliau berkata: Pernah aku berada di majlis Waqi bin Jarrah (guru Imam asy-Syafii), lalu seseorang berkata: ‘Abu Hanifah keliru’, lalu Waqi berkata: “Bagaimana Abu Hanifah keliru bersalah sementara bersamanya ada orang seperti Abu Yusuf , Muhammad Ibnul Hasan, dan Zufar dalam Qiyas dan Ijtihadnya, bersamanya ada Yahya bin Zakaria Ibni Abi Zaidah, Hafhs bin Gayyats, juga Hibban dan Mandal keduanya putra Ali dalam masalah hadits, bersamanya adalah al-Qasim bin Ma’an bin Abdirrahman  bin Abdillah bin Mas’ud yang ahli dalam ilmu bahasa dan Nahwu, bersamanya ada Dawud ath-Thai dan Fudhail bin Iyad dalam masalah kewara’an, bersamanya ada Abdullah Ibnul Mubarak dalam masalah Tafsir, hadits dan sejarah. Bagaimana beliau keliru sementara orang-orang seperti mereka ada di sekelilingnya, mereka semuanya memujinya, dan kalau lah keliru niscaya mereka akan meluruskannya”[1].

Imam Abu Hanifah kulitnya coklat keputih-putihan, badannya kurus dan agak tinggi dengan wajahnya yang tampan. Berbicara sangat baik dan fasih, pilih-pilih dalam berpakain dan senang memakai minyak wangi, diketahui ketika dia datang dan pergi.

Hammad putra Imam Abu Hanifah berkata: “Sungguh Abu Hanifah rahimahullah, orangnya tinggi, berkulit coklat, bagus pakaiannya[2], tampan wajahnya, indah penampilannya, banyak pakai minyak wangi yang diketahui ketika dia datang dan keluar dari rumah sebelum terlihat orangnya”[3].

Adapun terkait dengan akhlaq beliau, maka sungguh akhlaq adalah cerminan hati dan akidah seseorang. Beliau seorang ulama besar yang pernah berjumpa dengan beberapa shahabat, juga belajar dari ulama-ulama besar dari kalangan Tabiin, murid senior beliau, yakni Abu Yusuf pernah ditanya oleh Khalifah ar-Rasyid tentang akhlaq Abu Hanifah, beliau menjawab:

“Demi Allah, beliau orang yang sangat membela aturan-aturan Allah, menjauhi Ahli Dunia, sering diam banyak berfikir, dan bukan orang yang banyak ngomong. Jika beliau ditanya dan bersamanya ilmu maka beliau jawab. Aku tidak mengetahuinya – wahai Amirul Mu’minin – kecuali orang yang sangat menjaga diri dan agamanya, sibuk dengan dirinya sendiri daripada orang lain, beliau tidak pernah menyebut seseorang kecuali kebaikan”.

Lalu ar-Rasiyd berkata: “Itulah Akhlaq orang-orang shalih”[4].

Al-Muwaffaq membawakan riwayat dengan sanadnya sampai kepada Imam Ahmad bin Hanbal, al-Muwaffaq berkata, “Nama Abu Hanifah di sebutkan di hadapan Ahmad bin Hanbal, lalu beliau berkata: ‘Semoga Allah merahmatinya, beliau adalah orang yang sangat wara, dipaksa untuk menjadi hakim sampai dicampuk sebanyak 21 kali, akan tetapi beliau tetap menolaknya'"[5].

 

---------------------------------

[1] Tarikh Bagdad (14/ 250)

[2] Yakni pakaiannya bagus dan mahal, demikianlah jika kita mampu untuk membelinya maka lakukanlah.

[3] Qalaid Uqudid Durar (27-29)

[4] lihat kitab Abu Hanifah an-Nu’man Imamul Aimmah al-Fuqaha karya Wahby Sulaiman Gawiji, hal. 82

[5] Manaqib al-Muwaffaq al-Makki (2/ 148)

Senin, 15 Agustus 2022

Sifat dan Akhlaq Imam Abu Hanifah

 بسم الله الرحمن الرحيم

Sifat dan Akhlaq Imam Abu Hanifah

Sebelum menjelaskan sifat dan akhlaq beliau, termasuk yang sangat penting adalah mengetahui guru-guru beliau juga murid-muridnya.

Imam Abu Hanifah berguru kepada banyak ulama bahkan ada yang mengatakan sampai empat ribu guru. Imam Abu Hanifah pun berjumpa dengan beberapa shahabat, dan karena itulah beliau dimasukan pada generasi Tabiin, hanya saja para ulama berbeda pendapat apakah dalam perjumpaannya itu beliau meriwayatkan hadits dari mereka atau tidak ? diantara shahabat yang pernah beliau jumpai adalah Anas bin Malik dan Abdullah bin Harits bin Jaz’u az-Zubaidi.

Diantara guru-guru beliau adalah Ibrahim an-Nakhai, Hammad bin Abi Sulaiman, Atha bin Abi Rabah, Ikrimah, Amir as-Sya’bi, dan yang lainnya.


Selanjutnya tentang murid-muridnya:

Al-Khatib al-Bagdadi menyebutkan dalam kitab Tarikhnya dengan sanadnya sampai kepada Abu Karomah, beliau berkata: Pernah aku berada di majlis Waqi bin Jarrah (guru Imam asy-Syafii), lalu seseorang berkata: ‘Abu Hanifah keliru’, lalu Waqi berkata: “Bagaimana Abu Hanifah keliru bersalah sementara bersamanya ada orang seperti Abu Yusuf , Muhammad Ibnul Hasan, dan Zufar dalam Qiyas dan Ijtihadnya, bersamanya ada Yahya bin Zakaria Ibni Abi Zaidah, Hafhs bin Gayyats, juga Hibban dan Mandal keduanya putra Ali dalam masalah hadits, bersamanya adalah al-Qasim bin Ma’an bin Abdirrahman  bin Abdillah bin Mas’ud yang ahli dalam ilmu bahasa dan Nahwu, bersamanya ada Dawud ath-Thai dan Fudhail bin Iyad dalam masalah kewara’an, bersamanya ada Abdullah Ibnul Mubarak dalam masalah Tafsir, hadits dan sejarah. Bagaimana beliau keliru sementara orang-orang seperti mereka ada di sekelilingnya, mereka semuanya memujinya, dan kalau lah keliru niscaya mereka akan meluruskannya”[1].

Imam Abu Hanifah kulitnya coklat keputih-putihan, badannya kurus dan agak tinggi dengan wajahnya yang tampan. Berbicara sangat baik dan fasih, pilih-pilih dalam berpakain dan senang memakai minyak wangi, diketahui ketika dia datang dan pergi.

Hammad putra Imam Abu Hanifah berkata: “Sungguh Abu Hanifah rahimahullah, orangnya tinggi, berkulit coklat, bagus pakaiannya[2], tampan wajahnya, indah penampilannya, banyak pakai minyak wangi yang diketahui ketika dia datang dan keluar dari rumah sebelum terlihat orangnya”[3].

Adapun terkait dengan akhlaq beliau, maka sungguh akhlaq adalah cerminan hati dan akidah seseorang. Beliau seorang ulama besar yang pernah berjumpa dengan beberapa shahabat, juga belajar dari ulama-ulama besar dari kalangan Tabiin, murid senior beliau, yakni Abu Yusuf pernah ditanya oleh Khalifah ar-Rasyid tentang akhlaq Abu Hanifah, beliau menjawab:

“Demi Allah, beliau orang yang sangat membela aturan-aturan Allah, menjauhi Ahli Dunia, sering diam banyak berfikir, dan bukan orang yang banyak ngomong. Jika beliau ditanya dan bersamanya ilmu maka beliau jawab. Aku tidak mengetahuinya – wahai Amirul Mu’minin – kecuali orang yang sangat menjaga diri dan agamanya, sibuk dengan dirinya sendiri daripada orang lain, beliau tidak pernah menyebut seseorang kecuali kebaikan”.


Lalu ar-Rasiyd berkata: “Itulah Akhlaq orang-orang shalih”[4].


Al-Muwaffaq membawakan riwayat dengan sanadnya sampai kepada Imam Ahmad bin Hanbal, al-Muwaffaq berkata, “Nama Abu Hanifah di sebutkan di hadapan Ahmad bin Hanbal, lalu beliau berkata: ‘Semoga Allah merahmatinya, beliau adalah orang yang sangat wara, dipaksa untuk menjadi hakim sampai dicampuk sebanyak 21 kali, akan tetapi beliau tetap menolaknya'"[5].


 

---------------------------------

[1] Tarikh Bagdad (14/ 250)

[2] Yakni pakaiannya bagus dan mahal, demikianlah jika kita mampu untuk membelinya maka lakukanlah.

[3] Qalaid Uqudid Durar (27-29)

[4] lihat kitab Abu Hanifah an-Nu’man Imamul Aimmah al-Fuqaha karya Wahby Sulaiman Gawiji, hal. 82

[5] Manaqib al-Muwaffaq al-Makki (2/ 148)

Manhaj dan Aqidah Imam Abu Hanifah

 بسم الله الرحمن الرحيم


Manhaj dan Akidah Imam Abu Hanifah


Bahasan tentang Manhaj dan Akidah adalah bahasan paling penting dalam sejarah hidup seorang Imam, karena dia adalah panutan para pengikut dan murid-muridnya.


Sebagaimana disampaikan sebelumnya Imam Abu Hanifah adalah seorang Imam dari para Imam Ahlus Sunnah wal Jama’ah, dan beliau meninggalkan Ilmu Kalam juga melarangnya, oleh karena itu Muhammad Ibnul Hasan – salah seorang murid beliau – pernah berkata: “Abu Hanifah senantiasa mendorong kami untuk mempelajari Fiqih dan melarang kami dari Ilmu kalam”[1].


Ibnu Abdil Barr meriwayatkan dalam kitabnya al-Intiqa, bahwa Imam Abu Hanifah berkata:


آخذ بِكِتَاب الله فمالم أَجِدْ فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عَلَيْهِ وَسلم فَمَا لَمْ أَجِدْ فِي كِتَابِ اللَّهِ ولافى سُنَّةُ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عَلَيْهِ وَسلم أَخَذْتُ بِقَوْلِ أَصْحَابِهِ آخُذُ بِقَوْلِ مَنْ شِئْتُ مِنْهُمْ وَأَدَعُ مَنْ شِئْتُ مِنْهُمْ وَلا أَخْرُجُ مِنْ قَوْلِهِمْ إِلَى قَوْلِ غَيْرِهِمْ


“Aku mengambil dari Kitabullah, jika tidak aku dapatkan maka dari Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, jika aku tidak mendapatkannya dalam Kitabullah dan Sunnah Rasulullah maka aku ambil dari perkataan shahabatnya, aku mengambil perkataan siapa saja yang aku mau diantara mereka, dan aku meninggalkan perkataan siapa saja yang aku mau diantara mereka, aku tidak keluar dari perkataan mereka menuju perkataan selain mereka”[2].


Demikianlah manhaj (cara beragama) Imam Abu Hanifah yang sangat jelas. Adapun perkataan bahwa Imam Abu Hanifah mendahulukan Qiyas daripada Nash, maka itu adalah tuduhan yang tidak disertai bukti, bahkan beliau sendiri berkata:


كذب والله وافترى علينا من يقول إننا نقدم القياس على النص وهل يحتاج بعد النص إلى القياس


“Demi Allah, dia berdusta dan mengatakan sesuatu atas nama kami tanpa bukti. Siapa yang mengatakan bahwa kami mendahulukan Qiyas di atas nash? dan apakah seseorang butuh Qiyas setelah adanya Nash?”[3].


Beliau pun berkata:


ليس لأحد أن يقول برأيه مع كتاب الله تعالى ولا مع سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم ولا مع ما أجمع عليه الصحابة


“Tidak seorang pun berbicara dengan pendapatnya sendiri sementara masalah tersebut ada dalam al-Qur’an, tidak pula sementara ada dalam Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, tidak pula sementara ada dalam kesepakatan para shahabat”[4]. 


Diantara perkara yang menunjukan akidah beliau adalah sebagai berikut:


لا ينبغي لأحد أن يدعو الله إلا به والدعاء المأذون فيه ، المأمور به ما استفيد من قوله تعالى : ولله الأسماء الحسنى فادعوه بها وذروا الذين يلحدون في أسمائه سيجزون ما كانوا يعملون


“Tidak dibenarkan bagi seseorang berdo’a kepada Allah kecuali dengan menyebut-Nya, dan do’a yang diizinkan bahkan diperintah adalah yang diambil dari firman-Nya (Hanya milik Allah asmaa-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan)”[5].


Ini masuk dalam bahasan Tauhid Uluhiyyah, yakni bahwa berdo’a hanya dibenarkan dengan menyebut nama-Nya bukan nama mahluk seperti sebagian orang yang bertawassul dengan yang sudah meninggal.


Beliau pun berkata:


لا يوصف الله تعالى بصفات المخلوقين ، وغضبه ورضاه صفتان من صفاته بلا كيف ، وهو قول أهل السنة والجماعة ، وهو يغضب ويرضى ، ولا يقال : غضبه عقوبته ، ورضاه ثوابه ، ونصفه كما وصف نفسه


“Allah ta’ala tidak disifati dengan sifat mahluk. Marah dan ridho-Nya adalah dua sifat diantara sifat-sifat-Nya tanpa kita harus menetapkan Kaifiyyah (wujud nyatanya bagi Allah), inilah pendapat Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Allah marah dan ridha, dan tidak boleh dikatakan bahwa yang dimaksud dengan marah adalah hukuman-Nya dan yang dimaksud dengan ridha adalah pahala dari-Nya, kita hanya mensifati-Nya sebagaimana Allah mensifati diri-Nya”[6].


Perkataan di atas menunjukan akidah beliau dalam masalah asma was sifat, yakni mensifati Allah sebagaimana yang Allah dan Rasul-Nya sifati tanpa mentakwil, tanpa mentasybih, tanpa menentukan kaifiyyah (wujud nyatanya bagi Allah), juga tanpa menta’thil.


Bahkan beliau pun berkata:


من قال لا أعرف ربي في السماء أم في الأرض فقد كفر ، وكذا من قال إنه على العرش ولا أدري العرش أفي السماء أم في الأرض


“Barang siapa mengatakan, aku tidak tahu Rabku apakah dia di langit atau di bumi, maka sungguh dia telah kafir. Demikian pula orang yang berkata, Allah ada di atas arasy akan tetapi aku tidak tahu dimana Arasy, apakah di langit atau di bumi”[7].


 


-----------------------------------


[1] Dzammul Kalam karya Imam al-Harawi ( 5/221)


[2] Al-Intiqa karya Imam Ibnu abdil Barr (hal. 142)


[3] Al-Mizanul Kubra karya as-Sya’rani (1/ 65)


[4] Ukudul Juman Fi Manakibil Imam al-A’zham karya Muhammad ash-Shalihi (hal. 175)


[5] Ad-Durrul Mukhtar (6/ 396)


[6] Al-Fiqhul Absath (hal 56)


[7] Al-Fiqhul Absath (46), disebutkan pula oleh ad-Dzahabi dalam kitabnya al-Uluw (101-102)


1. Muhammad Ibnul Hasan – salah seorang murid Abu Hanifah – pernah berkata: “Abu Hanifah senantiasa mendorong kami untuk mempelajari Fiqih dan melarang kami dari ..........” (Dzammul Kalam karya Imam al-Harawi, 5/221)

A. Ilmu debat

B. Ilmu aqidah

C Ilmu kalam 

D. Ilmu ushul fiqih


2. Abu Hanifah pernah berkata:

“Tidak dibenarkan bagi seseorang berdo’a kepada Allah kecuali dengan menyebut-Nya." (Ukudul Juman Fi Manakibil Imam al-A’zham karya Muhammad ash-Shalihi, hal. 175)

Perkataan beliau menjelaskan bahwa berdo’a hanya dibenarkan dengan menyebut nama Allah, bukan nama mahluk seperti sebagian orang yang bertawassul dengan orang yang sudah meninggal. Perkataan ini masuk dalam bahasan .........

A. Tauhid Rububiyyah

B Tauhid Uluhiyyah 

C. Tauhid Asma' wa Sifat

D. Semua jawaban salah


3. Abu Hanifah pernah berkata:

“Allah ta’ala tidak disifati dengan sifat mahluk. Marah dan ridho-Nya adalah dua sifat diantara sifat-sifat-Nya tanpa kita harus menetapkan Kaifiyyah (wujud nyatanya bagi Allah), inilah pendapat Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Allah marah dan ridha, dan tidak boleh dikatakan bahwa yang dimaksud dengan marah adalah hukuman-Nya dan yang dimaksud dengan ridha adalah pahala dari-Nya, kita hanya mensifati-Nya sebagaimana Allah mensifati diri-Nya” (Al-Fiqhul Absath, hal 56)

A. Tauhid Rububiyyah

B. Tauhid Uluhiyyah

C Tauhid Asma' wa Sifat 

D. Semua jawaban salah


4. Kita wajib mensifati Allah sebagaimana yang Allah dan Rasul-Nya sifati tanpa mentakwil, tanpa mentasybih, tanpa mentakyif, juga tanpa menta’thil.

Kita dilarang menta'thil sifat Allah, makna dari ta'thil adalah .........

A Meniadakan 

B. Merubah maknanya

C. Menyerupakan dengan makhluk

D. Menentukan wujud nyatanya


5. Abu Hanifah berkata:

“Barang siapa mengatakan, aku tidak tahu Rabku apakah dia di langit atau di bumi, maka sungguh dia telah ........." (Al-Fiqhul Absath, hal. 46, disebutkan pula oleh ad-Dzahabi dalam kitabnya al-Uluw, hal. 101-102)

A. Beriman

B. Bertambah imannya

C. Berkurang imannya

D Kafir 




Selasa, 07 Juni 2022

Rabb Adalah yang Berhak Diibadahi

Rabb Adalah yang Berhak Diibadahi


بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين أمَّا بعد
 
Ikhwah di grup whatsApp Belajar Islam yang semoga dimuliakan oleh Allah subhanahu wa ta'ala, kita lanjutkan kajian kitab Tsalatsatul Ushul, kajian kali ini saya beri judul “Rabb Adalah yang Berhak Diibadahi”. Penulis rahimahullah berkata :
 
والرب هو المعبود، والدليل قوله تعالى: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ 21 الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ فِرَاشًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَأَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَكُمْ ۖ فَلَا تَجْعَلُوا لِلهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ 22
قال ابن كثير رحمه الله تعالى: الخالق لهذه الأشياء هو المستحق للعبادة
 
Rabb itu Dialah yang berhak Diibadahi, dalilnya adalah firman Allah subhanahu wa ta'ala : "Hai manusia, beribadahlah kalian kepada Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang sebelummu, agar kamu bertakwa. Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu; karena itu janganlah kalian mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kalian mengetahui. (QS. Al-Baqarah : 21-22)
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata : Yang menciptakan semua ini adalah yang berhak untuk diibadahi.
 
Penjelasan :
 
Penulis mengabarkan kepada kita bahwa Rabb adalah yang berhak diibadahi, maksudnya Allah itu sebagai Rabb yang mengatur, yang menciptakan dan yang memiliki alam semesta. Karena itu maka Dia pula yang semestinya diibadahi, tidak kepada yang lainnya, dalilnya adalah firman Allah subhanahu wa ta'ala pada ayat di atas, khususnya firman Allah berikut ini "Hai manusia, beribadahlah kalian kepada Rabb (Tuhan) yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian".
 
Artinya yang berhak diibadahi hanyalah Allah, yang memiliki Rububiyah yaitu yang memiliki kemampuan untuk menciptakan alam semesta, mengatur alam semesta dan memiliki alam semesta. Karena itulah Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: Yang menciptakan semua ini adalah yang berhak untuk diibadahi.
 
Hanya Allah subahanahu wa ta'ala yang berhak untuk diibadahi, karena Allah-lah yang telah menciptakan alam semesta, mengatur alam semesta dan seterusnya. Ini pun berkaitan dengan kaidah dalam ilmu tauhid, yang artinya bahwa tauhid rububiyah melahirkan tauhid uluhiyah atau tauhid ibadah. Artinya kalau seseorang sudah mengakui kekuasaan Allah, mestinya dia beribadah hanya kepada Allah.
 
Syaikh Sulaiman bin Abdillah rahimahullah berkata: "Ini adalah perintah pertama dalam al-Quran, yakni perintah untuk beribadah hanya kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun"
 
Ikhwah sekalian demikianlah materi yang bisa saya sampaikan, semoga bermanfaat.
 
Akhukum fillah,
Abu Sumayyah Beni Sarbeni


1.     "Hai manusia, beribadahlah kalian kepada Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang sebelummu, agar kamu ..... " (QS. Al-Baqarah : 21)
    A     bertakwa
    B.     bersabar
    C.     berlomba
    D.     bertawakal
    
Kunci Jawaban : A

2.     "Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu; karena itu janganlah kalian mengadakan ................. bagi Allah, padahal kalian mengetahui."  (QS. Al-Baqarah : 22)
    A.     janji
    B.     durhaka kepada
    C     sekutu-sekutu
    D.     maksiat
    
Kunci Jawaban : C

3.     Penulis membawakan perkataan Imam Ibnu Katsir rahimahullah, yakni ....
    A.     Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap
    B.     Allah itu sebagai Rabb yang mengatur, yang menciptakan dan yang memiliki alam semesta
    C.     Yang menciptakan semua ini adalah yang berhak untuk dihormati
    D     Yang menciptakan semua ini adalah yang berhak untuk diibadahi
    
Kunci Jawaban : D

4.     Pada materi ini Ustadz menyampaikan sebuah kaidah dalam Ilmu Tauhid, yaitu ...
    A     tauhid rububiyah melahirkan tauhid uluhiyah
    B.     tauhid uluhiyah melahirkan tauhid rububiyah
    C.     tauhid rububiyah melahirkan tauhid rububiyah
    D.     tauhid uluhiyah melahirkan tauhid uluhiyah
    
Kunci Jawaban : A

5.     Perintah pertama dalam Al-Qur'an adalah ...
    A.     keluarga sakinah
    B.     dakwah meraih kekuasaan
    C.     perintah untuk beribadah hanya kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun
    D.     berjihad
    
Kunci Jawaban : C