Manfaat Mengingat Mati

“Perbanyaklah mengingat pemutus segala kelezatan (dunia), yakni kematian.” (HR. Ibnu Hibban dan Al-Baihaqi. Dan di-Hasan-kan oleh syeikh Al-Albani).

Keuatamaan Berinfaq Sadaqah

Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji.

Hati yang Bersih

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Lisan Cermin Seseorang

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Tathayyur

Jika mempercayai kupu2 yang masuk rumah itu akan ada tamu yang datang, atau ketika cicak berbunyi saat selesai berbicara artinya perkataannya benar, atau kepercayaan2 lain yang menyerupai hal di atas apakah digolongkan syirik ?.

Minggu, 10 November 2019

Bersuci pada Bejana yang Terbuat dari Kulit Bangkai


بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين أمَّا بعد

Ikhwan sekalian di grup whatsApp Belajar Islam yang dimuliakan oleh Allah subhanahu wa ta'ala kita lanjutkan kajian kitab Al-Fiqhul Muyassar, kali ini kita masih membahas Thaharah (bersuci), yakni tentang bersuci pada bejana yang terbuat dari kulit bangkai.

Penulis berkata: Masalah keempat, Bersuci pada bejana yang terbuat dari kulit bangkai:
Kulit bangkai jika disamak, maka ia menjadi suci dan boleh digunakan, hal itu berdasarkan sabda baginda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam

 أيما إهاب دبغ فقد طهر

“Kulit apa saja jika disamak, maka ia menjadi suci”. (Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (1650), Muslim (366) dengan lafazh (إذا دبغ الإهاب فقد طهر) dari hadits Abdullah bin Abbas)

Tentunya yang dimaksud dengan kulit di sini adalah kulit bangkai hewan yang jika dia bukan dalam bentuk bangkai yaitu disembelih secara syariat halal dimakan seperti kulit bangkai kambing, kulit bangkai sapi misalnya, demikian pula karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah melewati bangkai kambing,

Beliau berkata: “Kenapa mereka tidak mengambil kulitnya, lalu mereka samak dan mengambil manfaat darinya?” jawaban para shahabat: “Itu adalah bangkai”, kemudian kata Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam : “Yang diharamkan hanya memakannya”

Tentunya yang dimaksud dengan bangkai disini adalah bangkai hewan yang halal jika disembelih sesuai dengan syariat, adapun bulunya maka suci, maksudnya bulu bangkai hewan yang halal dimakan, sementara dagingnya najis dan haram dimakan, hal itu berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta'ala:

إِلَّآ أَن يَكُونَ مَيۡتَةً أَوۡ دَمٗا مَّسۡفُوحًا أَوۡ لَحۡمَ خِنزِيرٖ فَإِنَّهُۥ رِجۡسٌ

“Kecuali kalau makanan itu adalah bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi, karena sesungguhnya semuanya itu kotor”. (Al-An’am [6]: 145)

Menyamak itu artinya membersihkan kotoran yang menempel pada kulit, yakni dengan material yang ditambahkan pada air seperti garam dan yang lainnya, atau dengan tumbuhan yang dikenal dengan al-Qaradh, Ur’ur atau yang lainnya.

Kemudian penulis mengatakan: Sementara hewan yang tidak halal walau dengan disembelih maka sama sekali tidak bisa disucikan (kulitnya), karena itulah kulit kucing dan yang serupa dengannya tidak bisa suci dengan disamak, walaupun ketika hidup ia suci.

Ringkasnya, setiap hewan yang mati (menjadi bangkai) yang pada asalnya halal dimakan -jika disembelih secara syariat- maka kulitnya bisa disamak, adapun hewan yang mati dan bukan termasuk yang halal dimakan dagingnya, maka kulitnya tidak bisa disamak.

Ikhwah sekalian demikianlah materi yang bisa saya sampaikan, mudah-mudahan dipahami dengan baik dan tentunya bermanfaat.

Akhukum fillah,
Abu Sumayyah Beni Sarbeni

Tidak boleh berloyal kepada orang yang memusuhi Allah dan Rasul-Nya



بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين أمَّا بعد

Ikwah sekalian di grup whatsapp Belajar Islam, yang semoga dimuliakan oleh Allah subhanahu wa ta'ala, pada pertemuan ini kita masih membahas tiga perkara yang wajib dipelajari dan diamalkan, kali ini adalah bagian yang ketiga:

Penulis rahimahullah berkata:

الثالثة: أن من أطاع الرسول ووحد الله لا يجوز له موالاة من حاد الله ورسوله، ولو كان أقرب قريب. والدليل قوله تعالى: {لا تَجِدُ قَوْماً يُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ

“Ketiga: sungguh, orang yang taat kepada Rasul dan mentauhidkan Allah, tidak boleh bagi mereka berloyal kepada orang yang memusuhi Allah dan Rasul-Nya, walaupun dia adalah sedekat-dekatnya kerabat, dalilnya adalah firman Allah subhanahu wa ta'ala (yang artinya): “Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka (QS Al-Mujadilah : 22).

Ikhwah sekalian, Inilah masalah ketiga yang wajib dipelajari dan wajib diamalkan bahwa, tidak boleh memberikan loyalitas kepada orang yang memusuhi Allah dan Rasul-Nya, walaupun dia adalah kerabat yang sangat dekat.

Dalam pernyataan penulis di atas ada beberapa penjelasan penting:

Pertama, kalimat: “Sungguh, orang yang taat kepada Rasul dan mentauhidkan Allah, tidak boleh bagi mereka berloyal kepada orang yang memusuhi Allah dan Rasul-Nya, walaupun dia adalah sedekat-dekatnya kerabat”.

Ikhwah sekalian, loyalitas secara umum terbagi menjadi dua, yakni Tawalli dan Muwalah:

Pertama, Tawalli.

Tawalli adalah loyalitas dalam bentuk mencintai kesyirikan dan pelaku kesyirikan, atau seseorang tidak mencintai kesyirikan akan tetapi dia membela pelaku kesyirikan melawan muslim dengan tujuan menangnya kesyirikan di atas Islam. Hukum Tawalli adalah kekufuran yang bisa menjadikan pelakunya keluar dari Islam. (Syarah Tsalatsatul Ushul oleh Syaikh Shalh Alu Syaikh, hal: 41)

Dalilnya adalah firman Allah subhanahu wa ta'ala:

۞يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَتَّخِذُواْ ٱلۡيَهُودَ وَٱلنَّصَٰرَىٰٓ أَوۡلِيَآءَۘ بَعۡضُهُمۡ أَوۡلِيَآءُ بَعۡضٖۚ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمۡ فَإِنَّهُۥ مِنۡهُمۡۗ إِنَّ ٱللهَ لَا يَهۡدِي ٱلۡقَوۡمَ ٱلظَّٰلِمِينَ ٥١

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim”. (QS. Al-Maidah : 51)

Yang Kedua adalah muwalah.

Yakni mencintai seorang musyrik karena dunia mereka tanpa ada unsur membela mereka (Syarah Tsalatsatul Ushul oleh Syaikh Shalh Alu Syaikh, hal: 41 – cetakan Maktabah Darul Hijaz 1433 H), hukumnya haram dan merupakan kemaksiatan. Dalilnya adalah firman Allah subhanahu wa ta'ala:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَتَّخِذُواْ عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمۡ أَوۡلِيَآءَ تُلۡقُونَ إِلَيۡهِم بِٱلۡمَوَدَّةِ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kalian sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang…..” (Al-Mumtahanah [60]: 1)

Misalnya : mencintai seorang pemain sepakbola yang kafir karena kemampuannya dalam bermain sepakbola, nah ini hukumnya haram dan merupakan kemaksiatan. Adapun mencintai seseorang karena kekerabatannya, maka itu tidak termasuk muwalah yang diharamkan.

Asy-syaikh Shalih alu Syaikh dalam kitabnya Ithafus Sa’il, beliau berkata:

“Hendaklah diketahui bahwa loyalitas kepada orang kafir itu ada tiga tingkatan: Pertama, berloyal dan mencintai kafir karena kekufurannya. Tentunya ini adalah kekufuran. Kedua, berloyal kepada kafir, mencintai dan memuliakannya karena urusan dunia (secara mutlak), ini tidak boleh dan diharamkan. Ketiga, loyalitas yang diberikan karena membalas kebaikan atau kekerabatan, maka cinta yang tumbuh dan perbuatan baik atau yang serupa dengannya untuk yang bukan kafir harbi adalah sebuah rukhshah (keringanan yang dibolehkan)”. (Ithafus Sa’il bima fit Thahawiyah min Masail, hal: 583 – al-Maktabah asy-Syamilah)

Ikhwah sekalian inilah materi yang bisa saya sampaikan, mudah-mudahan dipahami dengan baik dan bermanfaat.

Akhukum fillah,
Abu Sumayyah Beni Sarbeni