Manfaat Mengingat Mati

“Perbanyaklah mengingat pemutus segala kelezatan (dunia), yakni kematian.” (HR. Ibnu Hibban dan Al-Baihaqi. Dan di-Hasan-kan oleh syeikh Al-Albani).

Keuatamaan Berinfaq Sadaqah

Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji.

Hati yang Bersih

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Lisan Cermin Seseorang

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Tathayyur

Jika mempercayai kupu2 yang masuk rumah itu akan ada tamu yang datang, atau ketika cicak berbunyi saat selesai berbicara artinya perkataannya benar, atau kepercayaan2 lain yang menyerupai hal di atas apakah digolongkan syirik ?.

Senin, 27 Januari 2020

Macam-macam Ibadah

بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين أمَّا بعد

Ikhwah di grup whatsApp Belajar Islam yang semoga dimuliakan oleh Allah subhanahu wa ta'ala, kita lanjutkan kajian kitab Tsalatsatul Ushul, kajian kali ini saya beri judul “Macam-macam Ibadah”

Penulis rahimahullah berkata:

وَأَنْوَاعُ الْعِبَادَةِ الَّتِي أَمَرَ اللهُ بِهَا مِثْلُ الإِسْلامِ وَالإِيمَانِ، وَالإِحْسَانِ، وَمِنْهُ الدُّعَاءُ وَالْخَوْفُ وَالرَّجَاءُ وَالتَّوَكُّلُ وَالرَّغْبَةُ، وَالرَّهْبَةُ، وَالْخُشُوعُ، وَالْخَشْيَةُ، وَالإِنَابَةُ، وَالاسْتِعَانَةُ، والاستعاذة، والاستغاثة، والذبح، والنذر، وغير ذلك من الْعِبَادَةِ الَّتِي أَمَرَ اللهُ بِهَا (كُلُّهَا للهِ) ، وَالدَّلِيلُ قَوْلُهُ تَعَالَى: {وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلهِ فَلَا تَدْعُوا مَعَ اللهِ أَحَدًا} [الجن: 18]

Dan macam-macam ibadah yang diperintahkan oleh Allah, seperti Islam, Iman, Ihsan, demikian pula berdo’a, Khauf, Roja, Tawakkal, Ragbah, Rahbah, Khusyu, Inabah, Isti’adzah, Istigatsah, menyembelih, bernadzar dan yang lainnya, yang diperintahkan oleh Allah untuk dilakukan semuanya hanya untuk-Nya. Dalilnya adalah firman Allah: “Dan sesungguhnya mesjid-mesjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorangpun di dalamnya di samping (menyembah) Allah”.

Terkait dengan macam-macam ibadah yang disebutkan oleh penulis di atas, akan saya jelaskan nanti pada tempatnya, kami hanya akan menjelaskan berapa kata saja yang diungkapkan oleh penulis di atas:

Pertama, Penulis rahimahullah berkata:
“Yang diperintahkan oleh Allah untuk dilakukan semuanya hanya untuk-Nya”.

Yakni seluruh ibadah yang kita lakukan hanya untuk Allah subhanahu wa ta'ala, karena itulah dalam setiap shalat kita membaca kalimat dalam surat al-Fatihah:

إِيَّاكَ نَعۡبُدُ وَإِيَّاكَ نَسۡتَعِينُ 

“Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan”. (QS. Al-Fatihah [1]: 5).

Kedua, Penulis berkata:
Dalilnya adalah firman Allah: “Dan sesungguhnya mesjid-mesjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorangpun di dalamnya di samping (menyembah) Allah”.

Penulis membawakan dalil bahwa, ibadah hanya untuk Allah subhanahu wa ta'ala, yakni surat Al-Jinn ayat 18:

وَأَنَّ ٱلۡمَسَٰجِدَ لِلهِ فَلَا تَدۡعُواْ مَعَ ٱللهِ أَحَدٗا 

“Dan sesungguhnya mesjid-mesjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorangpun di dalamnya di samping (menyembah) Allah”. (QS. Al-Jinn [72]: 18).

Ikhwah sekalian inilah yang bisa saya sampaikan, mudah-mudahan bisa dipahami dengan baik.

Akhukum fillah,
Abu Sumayyah Beni Sarbeni

Apa Itu Ibadah ?

بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين أمَّا بعد

Ikhwah di grup whatsApp Belajar Islam yang semoga dimuliakan oleh Allah subhanahu wa ta'ala, kita lanjutkan kajian kitab Tsalatsatul Ushul, kajian kali ini saya beri judul “Apa itu Ibadah?”

Apa yang akan saya sampaikan ini adalah muqaddimah (pendahuluan) untuk memahami pernyataan penulis selanjutnya ketika membahas tentang macam-macam Ibadah. Ibadah itu sebagaimana disampaikan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah:

الْعِبَادَةُ هِيَ اسْمٌ جَامِعٌ لِكُلِّ مَا يُحِبُّهُ اللهُ وَيَرْضَاهُ, مِنْ الْأَقْوَالِ وَالْأَعْمَالِ الْبَاطِنَةِ وَالظَّاهِرَةِ

“Ibadah adalah nama yang mencakup segala hal yang dicintai dan diridhai oleh Allah subhanahu wa ta'ala, baik dalam bentuk ucapan maupun perbuatan, baik yang tersembunyi maupun yang nampak”. (Majmu’ul Fatawa, Darul Wafa, 2005) Jilid 10, hal. 149)

Dari definisi di atas bisa katakan bahwa, ibadah itu terbagi menjadi empat macam:

(1) Ucapan batin (tidak nampak), ia sama dengan keyakinan, misalnya kita meyakini bahwa hanya Allah subhanahu wa ta'ala adalah yang berhak diibadahi, kita meyakini bahwa Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam adalah Rasul utusan Allah.

(2) Ucapan yang nampak, misalnya membaca al-Qur’an, berdzikir dan yang lainnya, termasuk juga mengatakan sesuatu yang baik jika diniatkan sebagai ibadah maka ia merupakan ibadah. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَليَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُت

"Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka katakanlah yang baik atau diam." (Muttafaq ‘alaih: Al-Bukhari, no. 6018; Muslim, no.47)

(3) Amalan yang batin (tidak nampak), misalnya al-Khauf (rasa takut) kita kepada Allah, bertawakkal kepada Allah, berharap kepada Allah dan yang lainnya.

(4) Amalan yang nampak, misalnya shalat, puasa dan yang lainnya.

Demikianlah definisi ibadah sebagaimana yang disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. Ikhwah sekalian ini yang bisa saya sampaikan, mudah-mudahan bisa dipahami dengan baik dan tentunya bermanfaat.

Akhukum fillah,
Abu Sumayyah Beni Sarbeni

Sebab-sebab Tazkiyatun Nufus (bag. 1)

بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين أمَّا بعد

Ikhwah sekalian di grup whatsApp Belajar Islam yang semoga dimuliakan oleh Allah subhanahu wa ta'ala, kita lanjutkan kajian kitab Tazkiyatun Nufus, kali ini saya akan menyampaikan materi tentang sebab tazkiyatun nufus, yang di antaranya adalah tawakkal dan memahami agama.

Penulis hafidzhahullahu ta'ala berkata:
Tazkiyatun Nufus atau sucinya jiwa, itu terwujud dengan beberapa sebab, jika seorang hamba melakukannya niscaya Allah subhanahu wa ta'ala akan memberikan untuknya hidayah dan taufik sehingga jiwanya menjadi suci. Di antara sebab-sebab tersebut adalah yang pertama, tawakkal dan berdo'a.

Tawakkal artinya bersandar kepada Allah dan berdo'a, awal dari tahapan seseorang dalam mensucikan jiwanya adalah dengan tunduk kepada Allah 'azza wa jalla, berserah diri kepada Allah 'azza wa jalla, diapun memohon kepada-Nya sehingga Allah mengilhami dan memberikan untuknya petunjuk juga membantu agar dia senantiasa ta'at kepada Allah subhanahu wa ta'ala, dan dalam hal ini Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:

وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ فَهُوَ حَسْبُهُ

"Barangsiapa yang dia bertawakkal kepada Allah, Allah akan memberikan untuknya kecukupan." (QS. Ath-Thalaq [65] : 3)

Kita butuh sucinya jiwa lalu kita bersandar, bertawakkal kepada Allah, maka Allah akan memberikan untuk kita kecukupan.

Sebab yang kedua, yang di sebutkan oleh penulis adalah memahami agama
Yakni, seorang hamba berusaha untuk memahami syari'at dan agama Allah, karena sungguh sucinya jiwa tidak akan terwujud kecuali dengan menta'ati Allah subhanahu wa ta'ala dan tidak mungkin kita ta'at kecuali dengan agama dan syari'at, demikian pula tidak mungkin kita mengamalkan agama kecuali kita memahami agama tersebut, memahami syari'at tersebut.

Oleh karena itu para ulama lebih mulia dari pada yang lain, dikarenakan ilmu yang Allah subhanahu wa ta'ala berikan kepada mereka. Tidaklah ibadah seorang 'alim (seorang yang berilmu) itu sama dengan ibadah yang lainnya. Ketika orang 'alim diberikan pertolongan oleh Allah untuk mengamalkan ilmu.

Baginda Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sebuah hadits yang shahih diriwayatkan oleh al Imam al-Bukhari dan Muslim, beliau bersabda,

 مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِى الدِّينِ

"Barangsiapa dikehendaki baik nasibnya oleh Allah, niscaya Allah akan memberikan untuknya pemahaman dalam masalah agama."

Ikhwah sekalian, Allah subhanahu wa ta'ala menjadikan paham dalam agama sebagai sebab untuk segala kebaikan, ilmu maupun amal, karenanya belajar ilmu agama merupakan sebab paling utama sucinya jiwa.

Hal itu karena ibadah menjadi baik dengan dua perkara penting yakni ikhlas dalam niat dan dengan mengikuti petunjuk baginda Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam dalam pengamalan, dan oleh karena itu pula di antara sebab paling penting keutamaan amal adalah ikhlas dan mutaba'ah, artinya semakin amal itu ikhlas, semakin amal itu sesuai dengan tuntunan nabi, maka dia akan semakin lebih utama dibanding dengan amal yang lainnya.

Jika seorang muslim mengetahui agamanya maka dia tahu bagaimana sholatnya itu bisa menjadi baik, diapun tahu bagaimana puasanya bisa menjadi lebih baik, demikian pula dengan shadaqah, dzikir dan amar ma'ruf nahi munkar, semua itu harus dibangun di atas ilmu.

Selanjutnya ikhwah sekalian, jika orang yang beramal sadar akan sebab sebab keutamaan amal, maka dia akan mendapati bahwa amal itu sendiri berbeda-beda keutamaannya dengan banyak sebab. Sholat yang menyempurnakan sunnah-sunnahnya tentu setelah menjaga rukun, kewajiban dan syarat-syaratnya, itu tidak akan seperti sholat yang tidak sempurna.

Jika demikian sholat seorang hamba pada setiap waktu dan keadaan maka tidak diragukan ia termasuk orang yang paling baik sholatnya untuk Allah yang dengan sebabnya ia mendapatkan ketinggian derajat dan kesucian jiwa di sisi Allah. Sebagaimana ibadahpun menjadi lebih utama dari yang lain dengan sebab-sebab lainnya.

Misalnya lebih utama karena dikerjakan secara terus-menerus, bisa lebih utama karena dilakukan sesederhana mungkin (maksudnya tidak berlebihan), bisa lebih utama karena memberikan manfaat kepada manusia, bisa lebih utama karena dilakukan di waktu atau tempat yang utama dan sebab sebab lainnya.

Karena itulah ketika baginda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ketika ditanya tentang amal yang paling utama, maka beliau menjawabnya dengan jawaban yang beragam, dan para ulamapun menjelaskan makna-maknanya. Dan dalam hal ini penulis hafidzhahullahu ta'ala menulis kitab khusus yang berjudul tajridul ittiba' fii asbab at-tafadhul fil a'mal yakni buku yang membahas tentang sebab sebab keutamaan amal.

Kenapa satu amal  lebih utama dengan yang lainnya, itu bisa lebih utama karena waktu, karena tempat dan seterusnya dan yang paling penting adalah tadi, lebih utama, karena dilakukan lebih ikhlas dan lebih mutaba'ah, lebih mutaba'ah itu artinya lebih sesuai dengan tuntunan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, yang ini tentunya membutuhkan ilmu.

Karena itulah penulis di sini menyebutkan bahwa sebab tazkiyatun nufus (sucinya jiwa) yang kedua adalah memahami agama. Dengan memahami agama kita bisa melaksanakan ibadah semaksimal mungkin, seutama mungkin yang dengan sebabnya jiwa kita akan lebih suci.

Ikhwah sekalian, inilah materi yang bisa saya sampaikan, mudah-mudahan apa yang saya sampaikan ini bisa dipahami dengan baik dan tentunya bermanfaat.

Akhukum fillah,
Abu Sumayyah Beni Sarbeni

Tazkiyatun Nufus Adalah Taufiq dari Allah (bag.3)

بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين أمَّا بعد

Ikhwah sekalian di grup whatsApp Belajar Islam yang semoga dimuliakan oleh Allah subhanahu wa ta'ala, kita lanjutkan kajian Tazkiyatun Nufus, kali ini saya masih membahas tentang tentang bahwa “Tazkiyatun nufus itu adalah Taufik dari Allah subhanahu wa ta'ala”. Yang akan saya sampaikan adalah kesimpulan penting dari bahasan sebelumnya bahwa :

(1) Yang melakukan Tazkiyatun nufus, atau yang membersihkan jiwa itu sendiri adalah seorang hamba (dia yang melakukannya) sesuai dengan firman Allah subhanahu wa ta'ala :

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّىٰ

"Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri" (QS. Al-A'la :14)

(2) Hanya saja ia merupakan Taufik (pertolongan) dari Allah, jika bukan karenanya maka hamba tidak akan pernah mampu untuk melakukannya. Karena itu ketika ada panggilan adzan "Hayya 'Alash Shalah" jawaban kita "Laa Haula wa Laa Quwwata Illa Billah" (ayo kita sholat maka jawaban kita: Tidak ada daya, tidak ada upaya kecuali dari Allah subhanahu wa ta'ala).

(3) Maka disini kita harus menggabungkan antara usaha dan do’a. Ketika kita ingin mensucikan jiwa ini harus berusaha dan tentunya diiringi dengan do'a kita kepada Allah.

(4) Hidayah itu ada dua, Irsyad dan Taufik. Hidayah Irsyad dalam bentuk ilmu, adapun Taufik adalah hidayah Allah dalam bentuk kemampuan kita untuk melaksanakan ilmu.

(5) Memberikan hidayah Irsyad bisa dilakukan oleh siapapun dengan syarat dia berilmu, adapun memberikan hidayah dalam bentuk Taufik hanya bisa dilakukan oleh Allah subhanahu wa ta'ala.

(6) Sebab hidayah Taufik adalah berusaha melaksanakan perintah dan membenarkan janji Allah subhanahu wa ta'ala. Karena tentunya kebaikan akan melahirkan kebaikan sebagaimana keburukan bisa membuka jalan keburukan.

(7) Demikian pula senantiasa kita harus bergantung kepada Allah, bahkan dalam ibadah yang kita lakukan. Oleh karena itu dalam surat Al-Fatihah kita baca إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ hanya kepada-Mu kami beribadah ya Allah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan. Di antaranya memohon pertolongan bagaimana kita mampu ibadah kepada Allah rabbul 'alamin. Jadi dalam ibadah ini kita bertawakal kepada Allah rabbul 'alamin.

Inilah kesimpulan-kesimpulan penting dari bahasan sebelumnya tentang bahwa Tazkiyatun Nufus merupakan Taufiq dari Allah subhanahu wa ta'ala. Mudah-mudahan apa yang saya sampaikan dapat dipahami dengan baik dan tentunya bermanfaat.

Akhukum fillah,
Abu Sumayyah Beni Sarbeni

Tazkiyatun Nufus Adalah Taufiq dari Allah (bag.2)

بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين أمَّا بعد

Ikhwan sekalian di grup whatsApp Belajar Islam yang semoga dimuliakan oleh Allah subhanahu wa ta'ala, kita lanjutkan kajian Tazkiyatun Nufus, kali ini saya akan melanjutkan bahasan tentang “Tazkiyatun Nufus itu adalah Taufik dari Allah subhanahu wa ta'ala” yang merupakan pertolongan dari Allah subhanahu wa ta'ala.

Pada bahasan sebelumnya sudah kita bisa menarik sebuah kesimpulan bahwa,
(1) Hamba itu sendiri yang mensucikan dirinya dengan ketaatan.
(2) Hanya saja itu merupakan Taufik (pertolongan) dari Allah subhanahu wa ta'ala, maka kita seorang hamba sangat membutuhkan Allah subhanahu wa ta'ala dalam hal ini, tentunya bahkan dalam segala kebutuhan kita.

Ikhwah sekalian, selanjutnya penulis mengatakan:
Maka seorang hamba membutuhkan Allah, agar Allah memberikan kemampuan sehingga dia bisa mensucikan jiwanya, membantunya untuk melakukan ketaatan. Sebaliknya, tidak sepantasnya bagi seorang hamba bersandar kepada kemampuan dirinya dalam Tazkiyatun Nufus ini, karena itulah seorang muadzin mengucapkan Hayya 'alash shalah, ketika seorang muadzin mengatakan Hayya 'alal falah maka yang kita ucapkan adalah La Haula Wala Quwwata Illa Billah (tidak ada daya dan upaya kecuali dari Allah subhanahu wa ta'ala).

Ikhwah sekalian, ini adalah perkara besar yang karena buruknya pemahaman, ahli bid’ah seperti kaum Qadariyyah itu menyimpang, yakni mereka yang mengatakan bahwa, seorang hamba mampu melakukan perbuatannya sendiri (baca: tanpa pertolongan dari Allah), dan seseorang itu mensucikan dirinya sendiri dengan daya dan upayanya sendiri, bahkan mereka meyakini bahwa Allah subhanahu wa ta'ala tidak memiliki peran dalam keshalihan dirinya.

Tentunya ini merupakan kebatilan, karena seseorang hamba itu bisa istiqamah dengan Taufik dari Allah subhanahu wa ta'ala, Allah yang memberikan untuknya pertolongan dan rahmat sehingga dia bisa melakukan beragam ketaatan, Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:

وَلَٰكِنَّ ٱللهَ حَبَّبَ إِلَيۡكُمُ ٱلۡإِيمَٰنَ وَزَيَّنَهُۥ فِي قُلُوبِكُمۡ

“Tetapi Allah menjadikan kamu "cinta" kepada keimanan dan menjadikan keimanan itu indah di dalam hatimu”. (Al-Hujurat [49]: 7).

Ikhwah sekalian, Allah subhanahu wa ta'ala yang pertama kali memberikan kepada kita hidayah Irsyad (hidayah dalam bentuk ilmu), yakni dengan diutusnya seorang Rasul, kemudian Allah subhanahu wa ta'ala memberikan kepada kita hidayah Taufik (pertolongan) sehingga kita mencintai ketaatan dan membernci kemaksiatan.

Selanjutnya penulis mengatakan, Taufik ini pun ada sebabnya dari seorang hamba, hal itu sebagaimana difirmankan oleh Allah subhanahu wa ta'ala:

فَأَمَّا مَنۡ أَعۡطَىٰ وَٱتَّقَىٰ  ٥ وَصَدَّقَ بِٱلۡحُسۡنَىٰ  ٦ فَسَنُيَسِّرُهُۥ لِلۡيُسۡرَىٰ  ٧ وَأَمَّا مَنۢ بَخِلَ وَٱسۡتَغۡنَىٰ  ٨ وَكَذَّبَ بِٱلۡحُسۡنَىٰ  ٩ فَسَنُيَسِّرُهُۥ لِلۡعُسۡرَىٰ  ١٠

“Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar”. (Al-Lail [92]: 5-10).

Maka jika seorang hamba mengharap kepada Allah dan menunaikan perintah Allah, ia pun membenarkan segala pahala yang telah disiapkan untuk orang-orang yang taat, tentunya Allah subhanahu wa ta'ala memberikan untuknya Hidayah dan Taufik, sebaliknya adapun jika dia berpaling dan lalai, maka hal itu menjadi sebab Taufik itu tidak datang. 

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitabnya Madarijus Saalikin, beliau berkata: “Orang-orang yang mengenal Allah subhanahu wa ta'ala telah sepakat bahwa, kerugian adalah ketika Allah subhanahu wa ta'ala menyerahkanmu kepada dirimu sendiri dan membiarkanmu bersamanya, adapun Taufik adalah ketika Allah subhanahu wa ta'ala tidak menyerahkanmu kepada dirimu sendiri. (Madarijus Salikin (1/ 180), dan lihat kitab Syifaul Alil (1/ 261))

Ketika Allah subhanahu wa ta'ala menyerahkan seseorang kepada dirinya sendiri berarti dia merasa cukup dengan dirinya sendiri dan ini adalah takabur (kesombongan), karena sejatinya kita tidak akan pernah bisa berdiri sendiri, kita pasti membutuhkan Allah rabbul 'alamin.

Maka disini Imam Ibnul Qayyim mengatakan kerugian/ketertipuan adalah ketika Allah subhanahu wa ta'ala menyerahkanmu kepada dirimu sendiri maksudnya orang itu sudah merasa tidak membutuhkan Allah, adapun Taufik (pertolongan) Allah adalah ketika Allah subhanahu wa ta'ala tidak menyerahkanmu kepada dirimu sendiri.

Kemudian penulis rahimahullah berkata, Ini saya sampaikan agar kita sadar -betul-betul sadar- bahwa asas atau dasar Tazkiyatun Nufus merupakan Taufik (pertolongan) dari Allah subhanahu wa ta'ala. Walaupun tazkiyatun Nufus itu sendiri kita yang melakukannya tapi asasnya (dasarnya) adalah pertolongan dari Allah subhanahu wa ta'ala. maka teruslah kita berdoa kepada Allah agar Allah subhanahu wa ta'ala senantiasa memberikan pertolongan kepada kita sehingga kita mampu untuk melakukan Tazkiyatun Nufus, mensucikan jiwa dan mensucikan hati kita.

Ikhwah sekalian, inilah materi yang bisa saya sampaikan. Mudah-mudahan apa yang saya sampaikan ini dipahami dengan baik dan tentunya bermanfaat.

Akhukum fillah,
Abu Sumayyah Beni Sarbeni

Tazkiyatun Nufus Adalah Taufiq dari Allah (bag.1)


بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين أمَّا بعد

Ikhwah sekalian di Grup whatsApp Belajar Islam yang semoga dimuliakan oleh Allah subhanahu wa ta'ala. Kita lanjutkan kajian Tazkiyatun Nufus, kali ini saya akan sampaikan satu masalah, yakni bahwa Tazkiyatun Nufus Adalah Taufik dari Allah subhanahu wa ta'ala

Jadi, Tazkiyatun Nufus merupakan pertolongan dari Allah subhanahu wa ta'ala. Penulis mengatakan: ini masalah lain yang mesti dipahami dengan baik, yakni: Apakah Tazkiyatun Nufus termasuk ke dalam perbuatan Allah subhanahu wa ta'ala atau perbuatan hamba ?

Para Ulama berbeda pendapat tentang firman Allah subhanahu wa ta'ala dalam QS. Asy-Syams: 9,

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا

"Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa"

Dalam kalimat Aflaha (أَفْلَحَ), Apakah Allah yang mensucikan jiwa seorang hamba ataukah hamba itu sendiri yang mensucikan dirinya ?
Dalam hal ini ada 2 pendapat ulama. Adapun Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menguatkan bahwa yang dimaksud dari ayat tersebut, seorang hamba mensucikan dirinya sendiri, yakni dengan melakukan ketaatan kepada Allah. Ayat ini semakna dengan firman Allah dalam QS. Al-A'la :14, Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّىٰ

"Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri"

Membersihkan diri dengan keimanan. Jadi Attazkiyah (pensucian jiwa) itu dilakukan seorang hamba dengan melakukan ketaatan kepada Allah. Hanya saja jangan lupa bahwa pensucian hamba atas dirinya sendiri adalah taufiq (pertolongan) dari Allah subhanahu wa ta'ala.

Karena itulah Allah subhanahu wa ta'ala berfirman dalam ayat yang lain, yaitu dalam QS. An-Nuur : 21

وَلَوْلَا فَضْلُ اللهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ مَا زَكَىٰ مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ أَبَدًا وَلَٰكِنَّ اللهَ يُزَكِّي مَنْ يَشَاءُ ۗ وَاللهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

"Jika bukan karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu sekalian. Niscaya tidak ada seorang pun dari kalian bersih dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar selama-lamanya. Tapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui"

Maka tidak diragukan lagi bahwa seorang hamba memiliki peran dalam mensucikan dirinya sendiri, akan tetapi hal itu tidak berdiri sendiri. Ia hanya akan terjadi dengan taufiq (pertolongan) dari Allah subhanahu wa ta'ala. Seandainya tidak ada karunia dan kasih sayang-Nya, niscaya tidak seorang pun dari hamba-Nya yang mampu mensucikan jiwa.

Masalah ini menyadarkan kita akan satu masalah besar, yakni bahwa manusia sangat membutuhkan Allah dalam setiap hembusan nafasnya. Karena itulah diantara do'a yang diajarkan dalam hadits yang shahih adalah do'a berikut ini:

اللَّهُمَّ آتِ نَفْسِي تَقْوَاهَا، وَزَكِّهَا أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا

"Ya Allah berikanlah ketaqwaan dalam diriku dan bersihkanlah, karena Engkau adalah sebaik-baik yang mensucikan" (HR. Muslim)

Jadi kesimpulannya,
1. Manusia memiliki peran dalam mensucikan jiwanya, yakni dengan melakukan segala ketaatan kepada Allah
2. Tapi jangan dilupakan, bahwa kemampuan seorang hamba untuk mensucikan dirinya itu merupakan taufiq (pertolongan) dari Allah subhanahu wa ta'ala.

Ikhwah sekalian, inilah materi yang bisa saya sampaikan. Mudah-mudahan dipahami dengan baik dan bermanfaat.

Akhukum fillah,
Abu Sumayyah Beni Sarbeni

Minggu, 26 Januari 2020

Tingkatan Tazkiyatun Nufus (bag.3)


بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين أمَّا بعد

Ikhwah sekalian di grup whatsapp Belajar Islam yang semoga dimuliakan oleh Allah subhanahu wa ta'ala kita lanjutkan kajian Tazkiyatun Nufus, dan kita masih membahas tentang tingkatan Tazkiyatun Nufus.

Sebelumnya sudah saya sampaikan tingkatan Tazkiyatun Nufus yang pertama, yakni Tazkiyatun Nufus dengan melaksanakan syariat, adapun kali ini akan saya sampaikan tingkatan Tazkiyatun Nufus yang kedua, yakni pensucian jiwa dengan meninggalkan larangan Allah atau larangan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, penulis - hafidzhahullahu - berkata :

Tingkatan yang kedua, yakni Tazkiyatun Nufus dengan meninggalkan larangan.

Jelasnya pensucian jiwa dengan meninggalkan segala perkara yang diharamkan oleh Allah subhanahu wa ta'ala atau meninggalkan segala perbuatan maksiat dan dosa, baik itu dosa besar maupun dosa kecil.

Takzkiyatun Nufus tingkatan yang kedua ini disebut oleh para ulama dengan istilah at-Takhliyah (dengan huruf خ) artinya melepaskan, melepaskan diri dari segala perbuatan dosa, adapun yang pertama yaitu Tazkiyatun Nufus dengan melaksanakan syariat dinamakan oleh para ulama dengan istilah at-Tahliyah (dengan huruf ح) yaitu menghiasi diri dengan melaksanakan segala perintah atau ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta'ala. Jadi seorang hamba melepaskan dirinya dari segala perbuatan dosa dan maksiat, demikian pula menghiasi dirinya dengan ketaatan.

Penulis mengatakan tingkatan yang kedua ini adalah dengan meninggalkan segala larangan, meninggalkan segala maksiat dan dosa baik dosa besar maupun dosa kecil. Para ulama mendefinisikan dosa besar diantaranya, definisi paling masyhur adalah:

ما ترتب عليها حد في الدنيا أو توعد عليها بالنار أو اللعنة أوالغضب

"Dosa yang mengakibatkan adanya hukuman secara khusus di dunia (contohnya pelaku zina,dihukum secara khusus, baik dengan dirajam ataupun dengan dicambuk, dirajam bagi yang mukhson, dicambuk bagi yang ghairu mukhson) atau dosa yang diancam dengan api neraka, atau dosa yang diungkapkan dalam bentuk pelakunya dilaknat atau dosa yang diungkapkan dalam bentuk bahwasannya Allah subhanahu wa ta'ala marah”.

Misalnya dosa yang diungkapkan dalam bentuk laknat adalah apa yang disebutkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits yang shahih riwayat Imam Ahmad, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

لَعَنَ اللهُ الْمُتَشَبِّهِينَ مِنَ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ، وَالْمُتَشَبِّهَاتِ مِنَ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ

"Allah melaknat laki-laki yang menyerupai perempuan demikian pula perempuan yang menyerupai laki-laki".

Berarti menyerupai laki-laki atau menyerupai perempuan termasuk dosa besar. karena Nabi mengungkapkannya dengan kalimat laknat لَعَنَ اللهُ (semoga Allah melaknatnya).

Ikhwah sekalian demikianlah materi yang bisa saya sampaikan pada pagi hari ini. mudah-mudahan bisa dipahami dengan baik dan tentunya bermanfaat.

Akhukum fillah,
Abu Sumayyah Beni Sarbeni



 NURFIZAL

Rabu, 15 Januari 2020

Hukum Menghadap dan Membelakangi Kiblat ketika Buang Hajat



بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين أمَّا بعد
 
Ikhwah sekalian di grup whatsApp Belajar Islam yang dimuliakan oleh Allah subhanahu wa ta'ala kita lanjutkan kajian kitab Fiqih Muyassar, kali ini kita masih membahas Thaharah (bersuci), masih bab ke-3 tentang buang hajat.
 
Penulis berkata:
Masalah kedua, hukum menghadap dan membelakangi kiblat ketika buang hajat.
 
Tidak diperbolehkan menghadap atau membelakangi kiblat ketika buang hajat di tempat terbuka tanpa ada penghalang, hal itu berdasarkan hadits Abu Ayyub al-Anshari radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : 
 
إذا أتيتم الغائط فلا تستقبلوا القبلة، ولا تستدبروها، ولكن شَرِّقوا أو غَرِّبوا
 
“Jika kalian buang hajat maka janganlah kalian menghadap kiblat dan jangan pula kalian membelakanginya, akan tetapi menghadaplah ke timur atau ke barat”. (menghadap ke Timur atau ke Barat maksudnya bagi penduduk Madinah, akan tetapi bagi kita di Indonesia ke Barat itu justru ke kiblat)
 
Selanjutnya Abu ayyub al-Anshari berkata: aku pergi Syam, kudapati kamar-kamar kecil di sana dibangun dengan menghadap ke Ka’bah, lalu kami pun menjauhinya dan beristigfar kepada Allah (artinya berusaha untuk tidak menghadap ke Ka'bah). (Diriwayatkan oleh al-Bukhari (144), dan Muslim (264))
 
Adapun jika ada di dalam bangunan atau ada penutup antara dia dengan Kiblat, maka tidak masalah. Jadi kalau wc-nya di dalam bangunan bukan tempat terbuka atau ada penutup antara dia dengan kiblat itu maka itu tidak masalah. Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Umar radhiyallahu anhuma bahwa beliau melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam buang air kecil di rumahnya dengan menghadap ke Syam dan membelakangi Ka’bah. (Diriwayatkan oleh al-Bukhari (148), dan Muslim (266))
 
Demikian pula berdasarkan hadits Marwan al-Ashgar, bahwa beliau berkata: Suatu hari Abdullah bin Umar menderumkan untanya dengan menghadap kiblat, kemudian beliau duduk kencing dengan menghadap kiblat. Aku pun bertanya: “Wahai Abu Abdirrahman, bukankah terlarang melakukan hal seperti ini?” jawab beliau: “Terlarang jika dilakukan di tempat terbuka, adapun jika ada penghalang antara kamu dengan kiblat, maka hal itu tidak mengapa”. (Diriwayatkan oleh Abu Dawud (11), ad-Daruqutni (158), al-Hakim (1/ 154) dan dishahihkan oleh ad-Daruqutni, demikian pula oleh al-Hakim dan disepakati oleh ad-Dzahabi, dihasankan oleh Ibnu Hajar, al-Hazimi dan al-Albani (al-Irwa, no. 61))
 
Kemudian penulis memberikan catatan, hanya saja yang paling utama meninggalkan itu semua walaupun di dalam bangunan, wallahu a’lam. Karena memang ada perselisihan di antara para ulama terkait dengan buang hajat menghadap kiblat atau membelakangi kiblat yang ada di dalam bangunan. makanya, ihtiyat yang paling bagus dan hati-hati adalah meninggalkan semua itu, baik di dalam bangunan maupun di tempat yang terbuka.
 
Demikianlah ikhwah sekalian materi yang bisa saya sampaikan, mudah-mudahan dapat dipahami dengan baik.
 
Akhukum fillah,
Abu Sumayyah Beni Sarbeni


Selasa, 14 Januari 2020

Sunnah-sunnah ketika Buang Hajat




بسم الله الرحمن الرحيم 
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين أمَّا بعد 
 
Ikhwah sekalian di grup whatsApp Belajar Islam yang semoga dimuliakan oleh Allah subhanahu wa ta'ala. Kita lanjutkan kajian kitab Fiqih Muyassar, kali ini kita masih membahas Thaharah (bersuci), bab ke-3 tentang sunnah-sunnah masuk WC.
 
Masalah ketiga, Sunnah-sunnah masuk WC. Disunnahkah bagi orang yang masuk WC untuk membaca do’a berikut ini terlebih dahulu:
 
بسم الله اللهم إني أعوذ بك من الخبث والخبائث
 
“Dengan menyebut nama Allah, Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari setan laki-laki maupun setan perempuan”.
 
adapun ketika keluar dari WC membaca do’a berikut:
 
غفرانك
 
“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu ampunan”.
 
Demikian pula disunnahkan untuk mendahulukan kaki yang kiri ketika masuk WC, adapun ketika keluar maka mendahulukan kaki kanan. Selanjutnya di antara Sunnah ketika buang hajat adalah tidak membuka aurat (celana) sehingga dia benar-benar jongkok mendekat ke lantai. Maksudnya agar tidak terlihat orang lain auratnya.
 
Kemudian jika seseorang buang hajat di tempat terbuka, maka dianjurkan menjauh sehingga sampai tidak terlihat oleh orang lain. Dalil semua anjuran di atas adalah hadits Jabir radhiyallahu anhu, beliau berkata: “Aku pernah pergi beserta Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sebuah perjalanan, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah buang hajat kecuali pergi jauh sampai tidak terlihat”. (Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2), dan Ibnu Majah (no. 335) dengan lafazh hadits beliau, sanadnya shahih, lihat Shahih Ibni Majah (1/ 60)
 
Demikian pula hadits Ali radhiyallahu anhu, beliau berkata: Bahwasannya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: 
 
ستر ما بين الجن وعورات بني آدم إذا دخل الخلاء، أن يقول: بسم الله
 
“Penutup antara Jin dan aurat manusia ketika masuk WC adalah membaca Bismillah”. (Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (no. 297), at-Tirmidzi (no. 606), dihasankan oleh Ahmad Syakir dalam Hasyihah at-Tirmidzi, dan dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahihul Jami ash-Shagir (no. 3611))
 
Demikian pula hadits Anas radhiyallahu anhu bahwa, baginda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam jika hendak masuk WC, beliau membaca:  
 
اللهم إني أعوذ بك من الخبث والخبائث
 
“Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari setan laki-laki maupun setan perempuan”. (Diriwayatkan oleh al-Bukhari (142), dan Muslim (375))
 
Dan hadits Aisyah radhiyallahu anha:
 
كان - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - إذا خرج من الخلاء قال: غفرانك
 
“Adalah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam jika hendak keluar dari WC selalu membaca ghufranak (غفرانك)”.  (Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 17), at-Tirmidzi (no. 7), beliau berkata: “Hasan Garib”. Dan dihasankan oleh al-Albani dalam Shahihul Jami ash-Shagir (no. 4707))
 
Juga hadits Abdullah bin Umar radhiyallahu anhuma:
 
أن النبي - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - كان إذا أراد الحاجة لا يرفع ثوبه حتى يدنو من الأرض
 
“Sungguh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam jika hendak buang hajat, beliau tidak mengangkat pakaiannya sehingga sudah mendekat di lantai (jongkok)”. (Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 14), at-Tirmidzi (no. 14), dan dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahihul Jami ash-Shagir (no. 4652))
 
Ikhwah sekalian demikianlah materi yang bisa saya sampaikan mudah-mudahan bermanfaat dan tentunya bisa dipahami dengan baik.
 
Akhukum fillah,
Abu Sumayyah Beni Sarbeni

Istinja dan Istijmar





بسم الله الرحمن الرحيم 
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين أمَّا بعد 
Ikhwan sekalian di grup whatsApp Belajar Islam yang dimuliakan oleh Allah subhanahu wa ta'ala kita lanjutkan kajian kitab Al-Fiqhul Muyassar, kali ini kita masih membahas Thaharah (bersuci), bab ke-3 tentang buang hajat.
Penulis berkata:
Masalah pertama, Istinja dan Istijmar, salah satu di antara keduanya bisa menggantikan yang lain. Artinya bisa bersuci dengan istinja, bisa bersuci dengan istijmar. Lalu apa itu istinja dan apa itu istijmar?
penulis berkata:
Istinja adalah membersihkan kotoran yang keluar dari dua lubang dengan air (dua lubang yang dimaksud adalah qubul dan dubur), nah istinja ini bersuci dengan menggunakan air. Adapun istijmar yaitu bersuci dengan mengusap tempat keluar kotoran menggunakan benda suci, yang mubah digunakan lagi memiliki daya membersihkan, seperti batu dan yang lainnya.
Istinja bisa mewakili istijmar dan sebaliknya (artinya bisa cukup dengan istinja saja -bersuci dengan air- atau bersuci dengan istijmar saja) hal itu sebagaimana pernah dilakukan oleh baginda Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam. Diriwayatkan dari Anas radhiyallahu ta'ala anhu, beliau berkata: 
كان النبي - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - يدخل الخلاء، فأحمل أنا وغلام نحوي إداوة من ماء وعنزة، فيستنجي بالماء
“Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah masuk kamar kecil, lalu aku dan seorang anak seusiaku membawa Idawah (bejana yang terbuat dari kulit) berisi air dengan sebuah tongkat, lalu beliau beristinja dengan air itu”. (Diriwayatkan oleh Muslim (271))
Dalam hadits yang lain yaitu hadits Aisyah radhiyallahu anha, dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:   
إذا ذهب أحدكم إلى الغائط، فليستطب بثلاثة أحجار، فإنها تُجزئ عنه
“Jika salah seorang diantara kalian pergi ke kamar kecil (untuk buang hajat), maka bersucilah dengan tiga batu, sungguh itu sudah cukup baginya”. (Diriwayatkan oleh Ahmad (6/ 108), ad-Daruqutni (144), beliau berkata: “Sanadnya shahih”)
Adapun bersuci dengan cara menggabungkan keduanya (istinja dan istijmar) adalah lebih utama. Selanjutnya penulis mengatakan :
Istijmar itu bisa dilakukan dengan batu atau yang mewakilinya, yakni setiap benda suci, mensucikan dan mubah digunakan, seperti dengan tisu, kayu atau yang serupa dengannya, hal itu karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah beristijmar dengan tiga batu, maka disamakan dengannya segala hal yang serupa dengan batu dalam hal mampu membersihkan.
Kemudian penulis mengatakan: Istijmar tidak cukup jika dilakukan kurang dari tiga usapan, hal itu berdasarkan hadits Salman radhiyallahu anhu,
نهانا -يعني النبي (صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) - أن نستنجي باليمين، وأن نستنجي بأقل من ثلاثة أحجار، وأن نستنجي برجيع أو عظم
“Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melarang kami bersuci dengan tangan kanan, atau bersuci dengan kurang dari tiga batu, demikian pula bersuci dengan kotoran binatang atau tulang”. (Diriwayatkan oleh Muslim (262))
Ikhwah sekalian demikianlah materi yang bisa saya sampaikan, mudah-mudahan yang saya sampaikan bisa dipahami dengan baik.
Akhukum fillah,
Abu Sumayyah Beni Sarbeni


Bersuci pada Bejana yang Terbuat dari Kulit Bangkai




بسم الله الرحمن الرحيم 
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين أمَّا بعد 
 
Ikhwan sekalian di grup whatsApp Belajar Islam yang dimuliakan oleh Allah subhanahu wa ta'ala kita lanjutkan kajian kitab Al-Fiqhul Muyassar, kali ini kita masih membahas Thaharah (bersuci), yakni tentang bersuci pada bejana yang terbuat dari kulit bangkai.
 
Penulis berkata: Masalah keempat, Bersuci pada bejana yang terbuat dari kulit bangkai: 
Kulit bangkai jika disamak, maka ia menjadi suci dan boleh digunakan, hal itu berdasarkan sabda baginda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
 
 أيما إهاب دبغ فقد طهر
 
“Kulit apa saja jika disamak, maka ia menjadi suci”. (Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (1650), Muslim (366) dengan lafazh (إذا دبغ الإهاب فقد طهر) dari hadits Abdullah bin Abbas)
 
Tentunya yang dimaksud dengan kulit di sini adalah kulit bangkai hewan yang jika dia bukan dalam bentuk bangkai yaitu disembelih secara syariat halal dimakan seperti kulit bangkai kambing, kulit bangkai sapi misalnya, demikian pula karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah melewati bangkai kambing,
 
Beliau berkata: “Kenapa mereka tidak mengambil kulitnya, lalu mereka samak dan mengambil manfaat darinya?” jawaban para shahabat: “Itu adalah bangkai”, kemudian kata Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam : “Yang diharamkan hanya memakannya”
 
Tentunya yang dimaksud dengan bangkai disini adalah bangkai hewan yang halal jika disembelih sesuai dengan syariat, adapun bulunya maka suci, maksudnya bulu bangkai hewan yang halal dimakan, sementara dagingnya najis dan haram dimakan, hal itu berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta'ala: 
 
إِلَّآ أَن يَكُونَ مَيۡتَةً أَوۡ دَمٗا مَّسۡفُوحًا أَوۡ لَحۡمَ خِنزِيرٖ فَإِنَّهُۥ رِجۡسٌ 
 
“Kecuali kalau makanan itu adalah bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi, karena sesungguhnya semuanya itu kotor”. (Al-An’am [6]: 145)
 
Menyamak itu artinya membersihkan kotoran yang menempel pada kulit, yakni dengan material yang ditambahkan pada air seperti garam dan yang lainnya, atau dengan tumbuhan yang dikenal dengan al-Qaradh, Ur’ur atau yang lainnya.
 
Kemudian penulis mengatakan: Sementara hewan yang tidak halal walau dengan disembelih maka sama sekali tidak bisa disucikan (kulitnya), karena itulah kulit kucing dan yang serupa dengannya tidak bisa suci dengan disamak, walaupun ketika hidup ia suci.
 
Ringkasnya, setiap hewan yang mati (menjadi bangkai) yang pada asalnya halal dimakan -jika disembelih secara syariat- maka kulitnya bisa disamak, adapun hewan yang mati dan bukan termasuk yang halal dimakan dagingnya, maka kulitnya tidak bisa disamak.
 
Ikhwah sekalian demikianlah materi yang bisa saya sampaikan, mudah-mudahan dipahami dengan baik dan tentunya bermanfaat.
 
Akhukum fillah,
Abu Sumayyah Beni Sarbeni

Hukum Menggunakan Bejana Orang Kafir




بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين أمَّا بعد
 
Ikhwah sekalian di grup whatsApp Belajar Islam yang dimuliakan oleh Allah subhanahu wa ta'ala kita lanjutkan kajian kitab Fiqih Muyassar, kali ini kita masih membahas Thaharah (bersuci), yakni tentang bejana orang-orang kafir.
 
Penulis berkata: Masalah ketiga, Hukum Menggunakan Bejana milik orang kafir:
Pada asalnya menggunakan bejana milik orang kafir adalah halal (boleh), kecuali jika diketahui bahwa wadah tersebut najis, maka tidak boleh digunakan sehingga bejana tersebut dicuci, dasarnya adalah hadits Abu Tsa’labah al-Khusyani radhiyallahu anhu, beliau berkata: “Wahai Rasulullah kami ada di negeri Ahli Kitab (yakni Yahudi dan Nasrani), bolehkah kami makan pada bejana-bejana milik mereka?” jawaban Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam:   
 
لا تأكلوا فيها إلا أن لا تجدوا غيرها فاغسلوها، ثم كلوا فيها
 
“Janganlah kalian makan dengannya kecuali jika kalian tidak mendapatkan bejana lainnya, maka cucilah kemudian makanlah darinya”. (Shahih, diriwayatkan oleh al-Bukhari (5478), dan Muslim (1930))
 
Adapun jika tidak diketahui najis, misalnya pemilik bejana tersebut dikenal sebagai orang yang tidak berinteraksi dengan benda najis (misalnya, mereka dikenal sebagai orang yang tidak biasa makan daging babi, dirumahnya pun tidak ada anjing), kata penulis: maka kita boleh menggunakannya, dasarnya adalah hadits yang menceritakan bahwa, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan para shahabatnya pernah mengambil air wudhu dari Mazadah (bejana yang terbuat dari kulit binatang) seorang wanita musyrikah (Shahih, diriwayatkan oleh al-Bukhari (344), dan Muslim (682)),
 
Dan karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menghalalkan makanan Ahli kitab, sementara mereka biasa menyajikan makanan tersebut pada bejana-bejana milik mereka, hal itu sebagaimana seorang anak Yahudi pernah mengajak Nabi untuk makan roti gandum dan minyak yang telah berubah baunya, lalu Nabi pun shallallahu 'alaihi wa sallam makan darinya. (Shahih, diriwayatkan oleh Ahmad, dan dishahihkan oleh al-Albani dalam al-Irwa (1/ 71))   
 
Ketika kita kumpulkan dalil-dalil dalam masalah ini, maka kesimpulannya adalah sebagai berikut: 
(1) Jika diketahui bejana tersebut milik orang kafir yang biasa berinteraksi dengan benda najis, maka tidak boleh menggunakannya kecuali setelah dicuci.
(2) Jika pemiliknya diketahui tidak biasa berinteraksi benda najis, atau tidak diketahui apakah biasa berinteraksi dengan benda najis atau tidak, maka pada asalnya kita boleh menggunakannya.
 
Ikhwah sekalian inilah materi yang bisa saya sampaikan mudah-mudahan bisa dipahami dengan baik dan bermanfaat.
 
Akhukum fillah,
Abu Sumayyah Beni Sarbeni

Rabb Adalah yang Berhak Diibadahi





بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين أمَّا بعد
 
Ikhwah di grup whatsApp Belajar Islam yang semoga dimuliakan oleh Allah subhanahu wa ta'ala, kita lanjutkan kajian kitab Tsalatsatul Ushul, kajian kali ini saya beri judul “Rabb Adalah yang Berhak Diibadahi”. Penulis rahimahullah berkata : 
 
والرب هو المعبود، والدليل قوله تعالى: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ 21 الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ فِرَاشًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَأَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَكُمْ ۖ فَلَا تَجْعَلُوا لِلهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ 22
قال ابن كثير رحمه الله تعالى: الخالق لهذه الأشياء هو المستحق للعبادة 
 
Rabb itu Dialah yang berhak Diibadahi, dalilnya adalah firman Allah subhanahu wa ta'ala : "Hai manusia, beribadahlah kalian kepada Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang sebelummu, agar kamu bertakwa. Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu; karena itu janganlah kalian mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kalian mengetahui. (QS. Al-Baqarah : 21-22)
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata : Yang menciptakan semua ini adalah yang berhak untuk diibadahi.
 
Penjelasan :
 
Penulis mengabarkan kepada kita bahwa Rabb adalah yang berhak diibadahi, maksudnya Allah itu sebagai Rabb yang mengatur, yang menciptakan dan yang memiliki alam semesta. Karena itu maka Dia pula yang semestinya diibadahi, tidak kepada yang lainnya, dalilnya adalah firman Allah subhanahu wa ta'ala pada ayat di atas, khususnya firman Allah berikut ini "Hai manusia, beribadahlah kalian kepada Rabb (Tuhan) yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian".
 
Artinya yang berhak diibadahi hanyalah Allah, yang memiliki Rububiyah yaitu yang memiliki kemampuan untuk menciptakan alam semesta, mengatur alam semesta dan memiliki alam semesta. Karena itulah Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: Yang menciptakan semua ini adalah yang berhak untuk diibadahi.
 
Hanya Allah subahanahu wa ta'ala yang berhak untuk diibadahi, karena Allah-lah yang telah menciptakan alam semesta, mengatur alam semesta dan seterusnya. Ini pun berkaitan dengan kaidah dalam ilmu tauhid, yang artinya bahwa tauhid rububiyah melahirkan tauhid uluhiyah atau tauhid ibadah. Artinya kalau seseorang sudah mengakui kekuasaan Allah, mestinya dia beribadah hanya kepada Allah.
 
Syaikh Sulaiman bin Abdillah rahimahullah berkata: "Ini adalah perintah pertama dalam al-Quran, yakni perintah untuk beribadah hanya kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun" 
 
Ikhwah sekalian demikianlah materi yang bisa saya sampaikan, semoga bermanfaat.
 
Akhukum fillah,
Abu Sumayyah Beni Sarbeni

Senin, 13 Januari 2020

Rabb Adalah yang Berhak Diibadahi




بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين أمَّا بعد

Ikhwah di grup whatsApp Belajar Islam yang semoga dimuliakan oleh Allah subhanahu wa ta'ala, kita lanjutkan kajian kitab Tsalatsatul Ushul, kajian kali ini saya beri judul “Rabb Adalah yang Berhak Diibadahi”. Penulis rahimahullah berkata :

والرب هو المعبود، والدليل قوله تعالى: يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ 21 الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ فِرَاشًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَأَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَكُمْ ۖ فَلَا تَجْعَلُوا لِلهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ 22
قال ابن كثير رحمه الله تعالى: الخالق لهذه الأشياء هو المستحق للعبادة

Rabb itu Dialah yang berhak Diibadahi, dalilnya adalah firman Allah subhanahu wa ta'ala : "Hai manusia, beribadahlah kalian kepada Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang sebelummu, agar kamu bertakwa. Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu; karena itu janganlah kalian mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kalian mengetahui. (QS. Al-Baqarah : 21-22)
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata : Yang menciptakan semua ini adalah yang berhak untuk diibadahi.

Penjelasan :

Penulis mengabarkan kepada kita bahwa Rabb adalah yang berhak diibadahi, maksudnya Allah itu sebagai Rabb yang mengatur, yang menciptakan dan yang memiliki alam semesta. Karena itu maka Dia pula yang semestinya diibadahi, tidak kepada yang lainnya, dalilnya adalah firman Allah subhanahu wa ta'ala pada ayat di atas, khususnya firman Allah berikut ini "Hai manusia, beribadahlah kalian kepada Rabb (Tuhan) yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian".

Artinya yang berhak diibadahi hanyalah Allah, yang memiliki Rububiyah yaitu yang memiliki kemampuan untuk menciptakan alam semesta, mengatur alam semesta dan memiliki alam semesta. Karena itulah Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: Yang menciptakan semua ini adalah yang berhak untuk diibadahi.

Hanya Allah subahanahu wa ta'ala yang berhak untuk diibadahi, karena Allah-lah yang telah menciptakan alam semesta, mengatur alam semesta dan seterusnya. Ini pun berkaitan dengan kaidah dalam ilmu tauhid, yang artinya bahwa tauhid rububiyah melahirkan tauhid uluhiyah atau tauhid ibadah. Artinya kalau seseorang sudah mengakui kekuasaan Allah, mestinya dia beribadah hanya kepada Allah.

Syaikh Sulaiman bin Abdillah rahimahullah berkata: "Ini adalah perintah pertama dalam al-Quran, yakni perintah untuk beribadah hanya kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun"

Ikhwah sekalian demikianlah materi yang bisa saya sampaikan, semoga bermanfaat.

Akhukum fillah,
Abu Sumayyah Beni Sarbeni

Dengan Apa Engkau Mengenal Rabbmu ?




بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين أمَّا بعد

Ikhwah di grup whatsApp Belajar Islam yang semoga dimuliakan oleh Allah subhanahu wa ta'ala, kita lanjutkan kajian kitab Tsalatsatul Ushul, kajian kali ini saya beri judul “Dengan apa engkau mengenal Rabb-mu ?”

Penulis rahimahullah berkata:

(فَإِذَا قِيلَ لَكَ) : بِمَ عَرَفْتَ رَبَّكَ؟
فَقُلْ: بِآيَاتِهِ وَمَخْلُوقَاتِهِ وَمِنْ آيَاتِهِ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ وَمِنْ مَخْلُوقَاتِهِ السَّمَاوَاتُ السَّبْعُ وَالأَرَضُونَ السَّبْعُ وَمَنْ فِيهِنَّ وَمَا بَيْنَهُمَا، وَالدَّلِيلُ قَوْلُهُ تَعَالَى: {وَمِنْ آيَاتِهِ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ لَا تَسْجُدُوا لِلشَّمْسِ وَلَا لِلْقَمَرِ وَاسْجُدُوا لِلهِ الَّذِي خَلَقَهُنَّ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ} [فصلت: 37]، وقوله تعالى: {إِنَّ رَبَّكُمُ اللهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يُغْشِي اللَّيْلَ النَّهَارَ يَطْلُبُهُ حَثِيثًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُومَ مُسَخَّرَاتٍ بِأَمْرِهِ أَلَا لَهُ الْخَلْقُ وَالْأَمْرُ تَبَارَكَ اللهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ} [الأعراف: 54]

Jika anda ditanya: “Dengan apakah anda mengenal Rabbmu ?”

Maka katakanlah: “Dengan tanda-tanda-Nya dan makhluk-makhluk-Nya, di antara tanda-tanda (kekuasaan-Nya) adalah malam dan siang, demikian pula matahari dan bulan, dan di antara makhluk-makhluk-Nya adalah langit yang tujuh, bumi yang tujuh dan segala sesuatu yang ada di dalamnya, juga yang ada di antara keduanya.

Dalilnya adalah firman Allah subhanahu wa ta'ala (yang artinya): “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam, siang, matahari dan bulan. Janganlah sembah matahari maupun bulan, tapi sembahlah Allah Yang menciptakannya, Jika Ialah yang kamu hendak sembah.” (QS. Fushshilat [41]: 37),

demikian pula firman Allah subhanahu wa ta'ala (yang artinya): “Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas 'Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam”. (QS. Al-A’raf [7]: 54).

Penjelasan:

Sebagaimana sering kami jelaskan bahwa, makna kalimat Rabb pada asalnya adalah yang menciptakan, yang mengatur dan yang memiliki alam semesta, dalam kalimat di atas penulis menjelaskan tentang ‘dengan apa kita mengenal Rabb kita’, jawabnya – tentu – dengan tanda-tanda kekuasaan Allah dan dengan makhluk (ciptaan-Nya).

Dalam kalimat di atas penulis membedakan antara tanda-tanda kekuasaan Allah dan makhluk-Nya, padahal setiap makhluk-Nya adalah tanda kekuasaan Allah, kenapa penulis membedakannya ?

Jawab, ini diantara kalimat yang sangat daqiq (teliti) dari penulis, beliau membedakan antara ayat (tanda-tanda kekuasaan) dengan makhluk, hal itu karena yang dimaksud dengan ayat adalah tanda kekuasaan Allah subhanahu wa ta'ala yang berubah-ubah sehingga terasa lebih jelas bagi seorang hamba, karena manusia lebih merasakan perkara yang berubah-ubah, berbeda dengan sesuatu yang tetap, maka kurang terasa dalam rasa manusia sebagai sesuatu kebesaran. Penulis mengatakan: “Diantara tanda-tanda (kekuasaan-Nya) adalah malam dan siang, demikian pula matahari dan bulan, dan diantara makhluk-makhluk-Nya adalah langit yang tujuh”.

Selanjutnya, tanda kekuasaan Allah subhanahu wa ta'ala – sebenarnya – bisa dibagi menjadi dua, yakni ayat kauniyah, tanda kekuasaan Allah di alam semesta, dan ayat maqru’ah, tanda kekuasaan Allah subhanahu wa ta'ala yang dibaca, jelasnya adalah al-Qur’an. 
Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:

إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَذِكۡرَىٰ لِمَن كَانَ لَهُۥ قَلۡبٌ أَوۡ أَلۡقَى ٱلسَّمۡعَ وَهُوَ شَهِيدٞ 

“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya”. (QS. Qaaf [50]: 37).

Dalam ayat lainnya Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:

وَفِيٓ أَنفُسِكُمۡۚ أَفَلَا تُبۡصِرُونَ 

“Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?” (QS. Ad-Dhariyat [51]: 21).

Selanjutnya penulis menyebutkan dalil tentang ayat dan makhluk Allah yang dengan keduanya kita mengenal Allah subhanahu wa ta'ala sebagai Rabb, yakni surat QS. Fushshilat [41]: 37 dan QS. Al-A’raf [7]: 54.

Ikhwah sekalian, demikianlah materi yang bisa saya sampaikan semoga bermanfaat.

Akhukum fillah,
Abu Sumayyah Beni Sarbeni