Selasa, 14 Januari 2020

Hukum Menggunakan Bejana Orang Kafir




بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين أمَّا بعد
 
Ikhwah sekalian di grup whatsApp Belajar Islam yang dimuliakan oleh Allah subhanahu wa ta'ala kita lanjutkan kajian kitab Fiqih Muyassar, kali ini kita masih membahas Thaharah (bersuci), yakni tentang bejana orang-orang kafir.
 
Penulis berkata: Masalah ketiga, Hukum Menggunakan Bejana milik orang kafir:
Pada asalnya menggunakan bejana milik orang kafir adalah halal (boleh), kecuali jika diketahui bahwa wadah tersebut najis, maka tidak boleh digunakan sehingga bejana tersebut dicuci, dasarnya adalah hadits Abu Tsa’labah al-Khusyani radhiyallahu anhu, beliau berkata: “Wahai Rasulullah kami ada di negeri Ahli Kitab (yakni Yahudi dan Nasrani), bolehkah kami makan pada bejana-bejana milik mereka?” jawaban Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam:   
 
لا تأكلوا فيها إلا أن لا تجدوا غيرها فاغسلوها، ثم كلوا فيها
 
“Janganlah kalian makan dengannya kecuali jika kalian tidak mendapatkan bejana lainnya, maka cucilah kemudian makanlah darinya”. (Shahih, diriwayatkan oleh al-Bukhari (5478), dan Muslim (1930))
 
Adapun jika tidak diketahui najis, misalnya pemilik bejana tersebut dikenal sebagai orang yang tidak berinteraksi dengan benda najis (misalnya, mereka dikenal sebagai orang yang tidak biasa makan daging babi, dirumahnya pun tidak ada anjing), kata penulis: maka kita boleh menggunakannya, dasarnya adalah hadits yang menceritakan bahwa, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan para shahabatnya pernah mengambil air wudhu dari Mazadah (bejana yang terbuat dari kulit binatang) seorang wanita musyrikah (Shahih, diriwayatkan oleh al-Bukhari (344), dan Muslim (682)),
 
Dan karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menghalalkan makanan Ahli kitab, sementara mereka biasa menyajikan makanan tersebut pada bejana-bejana milik mereka, hal itu sebagaimana seorang anak Yahudi pernah mengajak Nabi untuk makan roti gandum dan minyak yang telah berubah baunya, lalu Nabi pun shallallahu 'alaihi wa sallam makan darinya. (Shahih, diriwayatkan oleh Ahmad, dan dishahihkan oleh al-Albani dalam al-Irwa (1/ 71))   
 
Ketika kita kumpulkan dalil-dalil dalam masalah ini, maka kesimpulannya adalah sebagai berikut: 
(1) Jika diketahui bejana tersebut milik orang kafir yang biasa berinteraksi dengan benda najis, maka tidak boleh menggunakannya kecuali setelah dicuci.
(2) Jika pemiliknya diketahui tidak biasa berinteraksi benda najis, atau tidak diketahui apakah biasa berinteraksi dengan benda najis atau tidak, maka pada asalnya kita boleh menggunakannya.
 
Ikhwah sekalian inilah materi yang bisa saya sampaikan mudah-mudahan bisa dipahami dengan baik dan bermanfaat.
 
Akhukum fillah,
Abu Sumayyah Beni Sarbeni

0 komentar:

Posting Komentar