Minggu, 07 Juni 2020

Sebab-sebab Tazkiyatun Nufus (bag.5)

Sebab-sebab Tazkiyatun Nufus (bag.5)

Sebab-sebab Tazkiyatun Nufus (bag.5)



بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه وَمَنْ وَالاَهُ
Ikhwah sekalian di grup whatsApp Belajar Islam yang semoga dimuliakan oleh Allah subhanahu wa ta'ala, kita lanjutkan kajian Tazkiyatun Nufus, kita masih membahas tentang sebab-sebab Tazkiyatun Nufus, kali ini adalah sebab yang kelima yaitu bersyukur kepada Allah atas nikmat taufiq untuk melakukan ketaatan, yakni nikmat dalam bentuk pertolongan dari Allah sehingga kita mampu melakukan ketaatan.
Penulis hafidzahullah ta'ala berkata :
Diantara sebab tazkiyatun nufus adalah memuji Allah atas nikmat taufiq yang Allah telah berikan untuk seorang hamba. Dalam sebuah hadits kudsi Allah subhanahu wa ta'ala berfirman :
فَمَنْ وَجَدَ خَيْرًا فَلْيَحْمَدِ اللَّهَ وَمَنْ وَجَدَ غَيْرَ ذَلِكَ فَلَا يَلُومَنَّ إِلَّا نَفْسَهُ
"Barangsiapa mendapati kebaikan maka memujilah kepada Allah, dan barang siapa yang mendapati selain itu maka janganlah ia mencela kecuali pada dirinya sendiri."1
Ketika seorang hamba mampu melakukan ketaatan, hendaklah ia menyakini itu merupakan taufiq dari Allah subhanahu wa ta'ala, itu merupakan pertolongan dari Allah subhanahu wa ta'ala, iapun merupakan karunia dari Allah.
Keadaan seperti itu memberikan banyak faidah, diantaranya : 
⇒ Jika seorang hamba memuji Allah atas ketaatan yang ia lakukan maka sungguh dengannya dia telah bersyukur atas nikmat tesebut, dan syukur adalah pengikat nikmat. Artinya semakin kita bersyukur pada Allah semakin nikmat itu akan kekal dalam diri kita.
⇒ Jika seorang hamba bersyukur atas nikmat taufiq yang Allah berikan untuknya, seraya berkata: "ya Allah amal ini mampu aku lakukan atas taufiq dari-Mu, maka terimalah amal ini di sisimu ya Allah."
Sungguh sikap seperti itu merupakan sebesar-besarnya sebab hingga amalan tersebut diterima disisi Allah, ia merupakan sebab sehingga hamba tersebut bisa istiqomah di atas amal itu, karena ia telah memuji Allah dan ia meyakini bisa melakukan hal itu karena pertolongan dari-Nya. 
Sebaliknya, jika dia menisbatkan (mengaitkan) ketaatan hanya kepada dirinya, ia meyakini bahwa melakukan ketaatan itu karena kemampuannya maka sungguh itu adalah sebab kehancuran, bahkan dengannya ia tidak akan mendapatkan taufiq, dan sangat dihawatirkan nikmat tersebut dicabut oleh Allah subhanahu wa ta'ala.
⇒ Demikian pula pujian seorang hamba kepada Allah, dengan meyakini bahwa ketaatan itu merupakan karunia dari Allah, hal itu melahirkan ketundukan di hadapan-Nya. Sikap seperti itu bisa memadamkan ujub, sehingga dia tidak berbangga-bangga dengan amal, sikap seperti itu akan membuat dia lebih tinggi disisi Allah.
Karena itulah Allah subhanahu wa ta'ala lebih mengutamakan ibadah seorang hamba, dalam keadaan penuh rasa kehinaan.
Mutharrif bin ‘Abdillah Shikhkhir beliau berkata :
لأن أبيت نائما وأصبح نادما أحب إلى من أن أبيت قائما وأصبح معجبا
"Bermalam dengan tidur (tidak qiyamullail) dan dipagi hari dalam keadaan menyesal hal itu lebih aku cintai, daripada aku bermalam dengan shalat sementara dipagi hari merasa bangga dengan nya."2
Hal itu karena ubudiyah tempatnya adalah ketundukan dan kehinaan di hadapan Allah, semakin kita merasa hina dihadapan Allah dalam ibadah, itu semakin menunjukan kualitas ibadah kita di hadapan Allah.
Adapun orang yang sombong dan merasa tinggi dengan ibadahnya, ia tidak ada dalam tingkatan ibadah sebenarnya, ia hanyalah perangkap syaitan.
Ketika seorang hamba meyakini, mengakui, bahwa ketaatannya adalah taufiq dari Allah, iapun memuji Allah karena nya. Sebagaimana ia pun meyakini bahwa dosa adalah perbuatan dirinya sendiri maka sungguh ini adalah diatara sebab jiwanya menjadi bersih, barang siapa yang keadaanya seperti itu maka sangat diharapkan ia akan senantiasa mendapatkan hidayah dan taufiq serta istiqamah di atas nya. 
Hal itu karena ia sangat berbaik sangka kepada Allah, dan senantiasa menuduh dirinya yang lalai akan hak Allah. 
Ikhwah sekalian demikianlah materi yang bisa saya sampaikan, semoga bermanfaat.
Akhukum fillah
Abu Sumayyah Beni Sarbeni
________________________
[1] Diriwayatkan oleh Imam Muslim (no.4674)
[2] Diriwayatkan oleh Abu Nu'aim dalam kitabnya Hilyatul Auliya' (II/200).

0 komentar:

Posting Komentar