Kamis, 02 Juni 2022

Orang yang Mencapai Usia 60 Tahun

 Orang yang Mencapai Usia 60 Tahun


بسم اللّه الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه وَمَنْ وَالاَهُ أمَّا بعد
 
Para pendengar di grup whatsapp Belajar Islam yang semoga dirahmati oleh Allah rabbul 'alamin, kita lanjutkan kajian kitab Ar-Riqaq dari
Kitab Shahih Al-Bukhari rahimahullah, Imam al-Bukhari rahimahullah berkata:
 
<بَابُ مَنْ بَلَغَ سِتِّينَ سَنَةً، فَقَدْ أَعْذَرَ اللَّهُ إِلَيْهِ فِي العُمُرِ لِقَوْلِهِ: {أَوَلَمْ نُعَمِّرْكُمْ مَا يَتَذَكَّرُ فِيهِ مَنْ تَذَكَّرَ وَجَاءَكُمُ النَّذِيرُ} [فاطر: 37]: <يَعْنِي الشَّيْبَ
 
"Bab tentang orang yang mencapai usia enam puluh tahun, Allah memberikan udzhur kepadanya sampai usia tersebut, hal itu berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta'ala: 'Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berfikir bagi orang yang mau berfikir, dan (apakah tidak) datang kepada kamu pemberi peringatan?' (Fathir [35]: 37), yang dimaksud dengan peringatan adalah uban."
 
 
Diantara bentuk kasih sayang Allah subhanahu wa ta'ala, bahwa Dia memberikan kelapangan bagi hamba-Nya agar senantiasa kembali kepada-Nya, senantiasa memberikan peluang kepada hamba-Nya agar menjadikan akhirat sebagai tujuan utama.
 
Dalam hal ini penulis membawakan satu ayat Al-Qur’an dan beberapa hadits, yang intinya adalah memberikan pesan agar kembali kepada Allah subhanahu wa ta'ala, apalagi bagi mereka yang sampai pada usia 60 tahun, usia itu merupakan peringatan bagi manusia akan dekatnya kematian. Sekalipun – tentunya – kematian itu tidak pernah mengenal usia. Demikian pula uban merupakan peringatan bagi manusia akan tutup usia.
 
Perkataan penulis: “Allah memberikan udzhur kepadanya sampai usia tersebut”, yakni sampai usia enam puluh tahun. Setelah itu, tidak ada alasan lagi baginya untuk tidak kembali kepada Allah subhanahu wa ta'ala, tidak ada alasan lagi untuk tidak taat dan tidak ada alasan lagi untuk tidak banyak istigfar.
 
Sebaliknya, jika sudah sampai usia enam puluh tahun masih sibuk dengan kemaksiatan, tidak ingat kematian dan akhirat, maka sangat dikhawatirkan dia mati dalam keadaan buruk, hanya kepada Allah kita memohon perlindungan.
 
Firman Allah subhanahu wa ta'ala:
 
عُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
 
وَهُمۡ يَصۡطَرِخُونَ فِيهَا رَبَّنَآ أَخۡرِجۡنَا نَعۡمَلۡ صَٰلِحًا غَيۡرَ ٱلَّذِي كُنَّا نَعۡمَلُۚ أَوَ لَمۡ نُعَمِّرۡكُم مَّا يَتَذَكَّرُ فِيهِ مَن تَذَكَّرَ وَجَآءَكُمُ ٱلنَّذِيرُۖ فَذُوقُواْ فَمَا لِلظَّٰلِمِينَ مِن نَّصِيرٍ  ٣٧
 
“Dan mereka berteriak di dalam neraka itu: 'Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami niscaya kami akan mengerjakan amal yang saleh berlainan dengan yang telah kami kerjakan'. (Lalu Allah subhanu wa ta'ala berfirman): 'Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berfikir bagi orang yang mau berfikir, dan (apakah tidak) datang kepada kamu pemberi peringatan? maka rasakanlah (azab Kami) dan tidak ada bagi orang-orang yang zalim seorang penolongpun'." (QS. Fathir [35]: 37)
 
Firman Allah subhanahu wa ta'ala
 
أَوَ لَمۡ نُعَمِّرۡكُم مَّا يَتَذَكَّرُ فِيهِ مَن تَذَكَّرَ وَجَآءَكُمُ ٱلنَّذِيرُۖ
 
Jika disambungkan ayat ini dengan hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang dijadikan judul oleh penulis, maka waktu tersebut diantaranya adalah 60 tahun,
 
Sudah dipanjangkan umur sampai 60 tahun waktu yang sangat cukup untuk berfikir bagi orang yang mau berfikir, dimana Allah subhanahu wa ta'ala telah memberikan kepada manusia waktu, kelapangan hidup, dan Allah subhanahu wa ta'ala telah memberikan banyak peringatan kepada mereka.   
 
Maka tercelalah bagi mereka yang tidak menjadikan waktu-waktu tersebut untuk kembali kepada-Nya, karena itulah istifham (pertanyaan) dalam ayat tersebut:
 
أَوَ لَمۡ نُعَمِّرۡكُم
 
"Apakah Kami tidak memanjangkan umur kalian?"
 
Adalah pertanyaan untuk mencela bagi orang yang keadaannya demikian. Sudah dikasih waktu yang cukup bagi mereka untuk berfikir, tapi juga tidak berfikir!.
 
Hidup kita ini untuk ibadah kepada Allah, dan ibadah itu bukan sebatas rakaat yang kita lakukan, bukan pula zakat yang kita tunaikan, juga bukan haji yang kita laksanakan. Ibadah itu meliputi setiap gerak dan diam, tidaklah seorang muslim mengangkat kaki dan meletakannya kecuali dia berfikir, apakah ada aturan Allah dalam hal ini?
 
Para pendengar yang dimuliakan Allah rabbul 'alamin, demikianlah beberpa faidah yang bisa saya sampaikan, semoga bermanfaat.
 
Akhukum fillah
Abu Sumayyah Beni Sarbeni

0 komentar:

Posting Komentar