Kamis, 02 Juni 2022

Tauhid Asma dan Sifat

 

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وأصحابه وَمَنْ وَالاَهُ أمَّا بعد
 
Saudara sekalian di grup whatsapp Belajar Islam yang semoga dirahmati oleh Allah rabbul 'alamin, setelah sebelumnya saya menyampaikan materi tentang Tauhid Rububiyyah, kemudian Tauhid Al-Uluhiyyah, maka pada kesempatan kali ini saya akan menjelaskan tentang Tauhid Asma dan Sifat.
 
Makna Tauhid Asma dan Sifat
 
Mentauhidkan Allah atau mengesakan Allah dalam asma dan sifat artinya, meyakini bahwa Allah subhanahu wa ta'ala disifati dengan sifat kesempurnaan dan dibersihkan dari segala kekurangan, demikian pula mengimani seluruh nama dan sifat yang Allah tetapkan bagi diri-Nya atau nama dan sifat yang ditetapkan oleh Nabi-Nya secara hakiki, apa adanya tanpa tamtsil (menyerupakan sifat tersebut dengan makhluk), tanpa ta'thil (atau menghilangkan sifat tersebut), dan tanpa tahrif (merubah maknanya) yang juga dikenal dengan istilah ta'wil.
 
Hal itu sebagaimana yang difirmankan oleh Allah subhanahu wa ta'ala:
 
لَيْسَ كَمِثْلِهِۦ شَىْءٌ ۖ وَهُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلْبَصِيرُ
 
"Tidak ada sesuatu apapun yang serupa dengan Allah, dan Allah maha mendengar dan melihat." (QS. Asy-Sura [42]: 11)
 
Kita menetapkan segala sifat yang Allah tetapkan, di dalam ayat ini Allah menetapkan sifatus sama' bahwa Allah mendengar, Allah pun menetapkan sifatul basar bahwa Allah melihat, tapi mendengarnya Allah, melihatnya Allah adalah tidak serupa dengan mendengarnya makhluk.
 
Karena itu di awal Allah berfirman 
 
لَيْسَ كَمِثْلِهِۦ شَىْءٌ
 
"Tidak ada sesuatu apapun yang serupa dengan-Nya."
 
Jadi kita tetapkan nama dan sifat untuk Allah sebagaimana yang Allah tetapkan di dalam Al-Qur'an tanpa menyamakannya dengan makhluk.
 
Dalam ayat yang lain Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:
 
وَلَمْ يَكُن لَّهُۥ كُفُوًا أَحَدٌۢ
 
"Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia." (QS. Al-Ikhlas [112]: 4)
 
Dalam ayat lain Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:
 
وَلِلَّهِ ٱلْأَسْمَآءُ ٱلْحُسْنَىٰ فَٱدْعُوهُ بِهَا ۖ وَذَرُوا۟ ٱلَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِىٓ أَسْمَٰٓئِهِۦ ۚ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ
 
"Hanya milik Allah al asmau'ul husna (nama-nama yang indah), maka berdoalah kalian kepada-Nya dengan menyebut nama-nama tersebut, dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam menyebut nama-nama-Nya." (QS. Al-A'raf [7]: 180)
 
Diantara orang-orang yang menyimpang adalah orang yang menghilangkan nama atau sifat Allah, orang yang menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk, demikian pula orang yang merubah makna sifat Allah subhanahu wa ta'ala.
 
Allah mengancam orang-orang yang seperti itu dalam firman-Nya:
 
سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ
 
"Nanti mereka akan mendapat balasan, terhadap apa yang telah mereka kerjakan." 
 
Perbedaan antara makna sifat dengan wujud nyata sifat
 
Makna sifat Allah diketahui oleh kita, karena Allah subhanahu wa ta'ala berbicara dengan kita melalui Al Qur'an dengan bahasa Arab yang jelas, bahkan memerintahkan kita untuk memahami dan mentadabburi firman-Nya yang di dalamnya disebutka sifat-sifat Allah.
 
Jadi kalau makna sifat kita bisa mengetahuinya, tapi untuk wujud nyata sifat atau kaifiyahnya, kita tidak bisa mengetahuinya sebagaimana pernyataan Al-Imam Malik rahimahullah, ketika beliau ditanya tentang istiwa (bersemayamnya Allah), beliau berkata:
 
الاِسْتِوَاءُ مَعْلُوْمٌ، وَاْلكَيْفُ مَجْهُوْلٌ، وَالإِيمَانُ بِهِ وَاجِبٌ، وَالسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ
 
"Istiwa itu diketahui maknanya (bersemayam),  wujud nyatanya bagi Allah kita tidak tahu, mengimaninya (bahwa Allah itu bersemayam) wajib hukumnya, dan bertanya tentangnya adalah bid'ah."
 
Zaman dulu tidak ada orang bertanya seperti itu, mereka mencukupkan diri dengan apa yang Allah firmankan dan dengan apa yang disabdakan oleh Rasulullahi shallallahu 'alaihi wa sallam.
 
Jadi kata istiwa diketahui maknanya, yakni ketinggian di atas Arsy, adapun wujud nyatanya tidak diketahui, dan bertanya tentangnya adalah perkara yang bid'ah.
 
Kita imani apa adanya, tentunya dengan meyakini bahwa sifat-sifat tersebut tidak sama dengan sifat makhluk.
 
Misalnya Allah subhanahu wa ta'ala sebagaimana dikabarkan oleh Rasulullahi shallallahu 'alaihi wa sallam turun ke Langit Dunia pada setiap sepertiga malam, maka kita imani sebagaimana yang disampaikan oleh Rasulullah bahwa Allah itu turun, tetapi wujud nyatanya bagi Allah rabbul 'alamin atau kaifiyahnya bagi Allah maka tidak ada yang tahu diantara kita.
 
Itulah makna beriman kepada nama dan sifat Allah subhanahu wa ta'ala. Saudara sekalian yang semoga dimuliakan oleh Allah rabbul 'alamin, demikian materi yang bisa saya sampaikan semoga bermanfaat.
 
Akhukum fillah
Abu Sumayyah Beni Sarbeni

0 komentar:

Posting Komentar